Ruang Baca Pembaca “Hati Suhita” (Bag. 2) Akhiriyati Sundari Esai 4 November 2019 0 2 min read Penulis Akhiriyati Sundari AS(Editor novel “Hati Suhita”. Tinggal di Gejayan Yogyakarta) Sekira dalam waktu dua hingga tiga bulan, akhirnya naskah HS berhasil dilahirkan dalam bentuk fisik sebagaimana dinanti-nanti oleh ribuan pembaca. Di sini, HS melompat sendiri. Lompatan yang tinggi bahkan. Menciptakan ‘pasar’ bagi para pembaca yang memburunya lengkap dengan euforia luar biasa riuh. HS seakan-akan menjadi bukan milik penulis (apalagi saya sebagai editornya). Tapi sah menjadi milik pembaca. Gegap gempita para pembaca itu bahkan terekam sebagai ‘prestise’ tersendiri manakala mereka berhasil menjadi pembaca pertama atau pemilik novel ‘gelombang pertama’. Mengapa disebut demikian? Lantaran HS dicetak dengan pola ‘gelombang’ sebagai penanda urutan. Misal gelombang pertama adalah novel yang dicetak sebagai cetakan pertama. Gelombang pertama ini jumlah eksemplar lima ribu langsung ludes terpesan. Bahkan sejak gelombang pertama dibuka ‘semacam’ pre-order (saya katakan ‘semacam’ karena tidak bisa dikatakan sebagai pre-order konvensional sebagaimana lazimnya), gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya sudah tertib mengantri. Rata-rata setiap gelombang mencetak 5 sampai 10 ribu eksemplar. Baca juga: Bagaimana Proses Persalinan Novel Hati Suhita? (Bag. 1)Jika dibuat urutan ‘cetakan’, per seribu eksemplar adalah satu cetakan. Jadi cetakan pertama seribu eksemplar, dua ribu kedua dikategorikan cetakan kedua, dan seterusnya [wahai percetakan, kalau keliru silakan diklarifikasi]. Saya tidak begitu mengikuti perkembangan euforia ini dengan baik. Terkadang hanya sekali dua atau sepintas dua pintas saya mendengar. Selebihnya saya ‘off’. Saya kemudian melakukan pembacaan ulang atas novel HS yang berbentuk fisik tersebut. Senang karena akhirnya ada yang berkenan menuliskan masukan dan kritik, menyasar kekeliruan demi kekeliruan yang masih banyak terdapat di dalam buku itu. Sebagai evaluasi untuk kepenulisan mendatang bagi penulisnya, perlu dihadirkan seorang pemeriksa aksara. Khusus untuk memperbaiki tulisan yang sifatnya teknis. Hal ini sangat penting dan tidak bisa dikesampingkan. Seorang pembaca tekun akan merasa ‘terusik kenyamanannya’ tatkala menjumpai kesalahan penulisan. Bahkan semisal hanya satu huruf pun! Saya mendengar dan mendapati ruang pembaca yang seakan dengan sendirinya terbentuk. Mereka, para pembaca yang sebelumnya tidak pernah/jarang membaca buku atau bahkan membaca karya sastra, pada akhirnya kesengsem lalu membaca HS hingga khatam. Bahkan ada yang sampai memelototi telepon pintar mereka untuk membaca naskah itu. Baca juga: Perjodohan Seperti Alina Suhita dan Gus Birru akan Tetap Ada, dan Terus Berlipat GandaRuang pembaca HS juga terjadi secara alami melalui penyebaran massif tautan episode HS ke grup-grup whatsapp atau akun-akun media sosial dari ragam kelompok masyarakat. Di kala iklim membaca di negeri ini belum terbentuk baik dan dikeluhkan banyak pihak, kabar ini menjadi sesuatu yang menggembirakn bagi dunia literasi. HS muncul setelah sebelumnya didahului oleh novel Wigati karya penulis yang sama. Novel HS menjadi novel yang diperbincangkan di mana-mana, kendati ruang perjumpaan ke tangan pembaca tetap hanya mengandalkan ‘jalur indie’. Secara kebetulan pembaca didominasi para perempuan, terutama entitas perempuan dewasa dan para ibu muda. Tak kalah menarik untuk dikulik bahwa para pembaca memiliki ragam latar belakang. Tidak hanya berasal dari kalangan pondok pesantren dan lembaga pendidikan keislaman tertentu, sebagaimana selama ini kuat terlihat dan diklaim, tetapi juga berasal dari latar sosialita hingga kalangan Islam menengah perkotaan/urban. Beberapa kawan sempat berseloroh bahwa dilihat dari segi muatan novel memang sarat khasanah pondok pesantren yang khas, persoalan yang lazim terjadi, serta segudang konflik yang khas pesantren pula. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa entitas di luar pesantren pun bisa turut menikmatinya. Baca juga: Mempelajari Cara Belajar Imam Ghazali Dalam Kitab Minhaj Al Muta'allimHal inilah yang kerapkali menjadi pertanyaan dalam kajian-kajian terkait budaya dan literasi keislaman masa kini. Kemajuan medium yang menggelar bahasa menjadi penopang tak kalah besar jasanya. Bagaimana zaman dengan kemajuan digital memberikan ruang-ruang perjumpaan yang jauh di luar prediksi. Bagaimana terjadi persilangan dan persalingan wacana dan nilai-nilai yang terbentuk sendiri. Tampak betul dari bagaimana ruang pembaca itu riuh oleh ragam komentar. Komentar Facebook 0