Peran Sayyidah Aisyah ra. dalam Memerangi Paham Misoginis

Mulia indah cantik berseri
Kulit putih bersih merah di pipimu
Dia Aisyah, putri Abu Bakr
Istri Rasulullah
Sungguh sweet Nabi mencintaimu
Hingga Nabi minum di bekas bibirmu
Bila dia marah, Nabi kan bermanja
Mencubit hidungnya, dst.

Barangkali di antara para pembaca masih ada yang ingat dengan baik penggalan lirik lagu di atas. Lagu tersebut sempat sangat fenomenal di negeri +62 pada 2019. Bahkan, sempat kontroversi hanya gara-gara sebagian masyarakat memandang liriknya terlalu fulgar. Entah apa yang menjadi pertimbangan, kontroversi itu pun sempat ramai dan memunculkan lirik tandingan di kala itu.

Masyarakat +62 sepertinya memang masih gemar mempermasalahkan hal-hal sepele dalam kehidupannya. Sebagai contoh, warga +62 bisa tenggelam dan larut untuk urusan kisah cinta dua remaja selebritis, Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, atau Risky Billar dan Lesty Kejora. Kehebohan semacam ini sepertinya masih akan terus berulang, dan berlanjut dalam kasus artis-artis berikutnya.

Peristiwa Fitnah dalam Rumah Tangga Rasul

Pada kesempatan ini, saya tak ingin membahas tentang fenomena lagu Aisyah dan kontroversi seputarnya. Saya ingin lebih menyoroti isi dan makna liriknya. Sekilas, nada dan liriknya membuat pendengar membayangkan romantisme kehidupan Rasul dengan ‘Aisyah. Tentu tak ada yang salah. Walaupun, sebagai pasangan suami istri, keduanya juga pernah mengalami urusan rumah tangga yang cukup pelik. Contoh kongkretnya diabadikan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an, yaitu peristiwa ifki (QS. al-Nur: 11).

Peristiwa ifki menjadi salah satu yang paling mengerikan dalam sejarah kehidupan rumah tangga ‘Aisyah bersama Rasul. Dalam hal ini, muncul tuduhan, fitnah, dan kecurigaan di mata beberapa sahabat di kala itu, terlebih orang-orang munafik. Beberapa riwayat menyebutkan peristiwa ini menjadikan umat Islam minimal terpecah menjadi dua kubu, yaitu kelompok yang percaya dengan tuduhan, dan kelompok yang meyakini ‘Aisyah suci dari tuduhan dan fitnah. Fenomena ini adalah sisi kemanusiaan Nabi yang harus disadari oleh umatnya, sehingga ia menjadi pelajaran dan hikmah berharga untuk di-tadabburi.

Kembali pada lirik lagu di atas. Gambaran dan deskripsi ‘Aisyah yang bersifat fisik sebenarnya berpeluang memunculkan persoalan. Kecantikan paras dan raut wajah, kulit putih, hingga muka atau wajah yang kemerahan akan dianggap sebagai standart baku kecantikan perempuan. Padahal, deskriptif kecantikan sangat melekat dengan faktor budaya. Bahkan, standart tersebut bisa sangat berbeda antara satu suku, daerah, dan negara tertentu.  Di sisi lain, panggilan humaira pun tidak menggambarkan tentang kecantikan.

Baca juga:  Terong atau Solanum Melongena dan Ketergesaan dalam Menilai Sesuatu

Kata humaira menggambarkan ‘Aisyah yang pemalu, sehingga mukanya seringkali berubah jadi kemerahan. Secara bahasa, ia adalah panggilan kasih sayang Rasul pada ‘Aisyah, seperti panggilan seorang ayah kepada anaknya ‘ya bunayya’. Yaitu, panggilan al-tashgir li al-isyfaq wa al-tahabbub (memanjakan, cinta dan kasih sayang). Oleh sebab itu, Rasul juga sering memanggil ‘Aisyah dengan ‘ya ‘Uwaisy’.

Selanjutnya, gambaran kemanjaan sedemikian apik dikemas dalam lirik tersebut. Seolah, kemanjaan adalah sifat dan sikap paling menonjol dari ‘Aisyah, sehingga berpeluang mengiring opini bahwa romantisme keluarga hanya akan selalu muncul dalam kemanjaan seorang istri pada suami. Tak seorang pun yang memungkiri, dan tak perlu diperdebatkan bahwa kemanjaan suami, maupun istri adalah salah satu di antara bumbu romantisme keluarga. Hanya saja, kemanjaan yang digambarkan dalam lirik lagu di atas seakan menenggelamkan sisi maskulinitas, dan kecerdasan ‘Aisyah yang seringkali menjadi rujukan dalam memahami hadis dan al-Qur’an.

Seandainya banyak membaca tentang sejarah ‘Aisyah, umat muslim akan paham betapa besar dan kuat kiprahnya terhadap kemajuan Islam. ‘Aisyah adalah sosok perempuan cerdas, pemberani, dan sangat vokal dalam menyampaikan kritik kepada para sahabat. Ia tidak segan menegur sahabat yang serampangan dalam menafsirkan ayat, dan menyampaikan hadis.

Baca juga:  Sudahkah Sampeyan Menjebak Setan Hari ini?

Pertanyaan kritisnya adalah, kenapa lirik lagu tersebut sangat menonjolkan sisi feminitas, baik wajah cantik atau kemanjaan? Barangkali, karena yang menciptakannya adalah orang yang hidup dan bercokol dalam budaya patriarkhi. Sehingga, superioritas seorang lelaki tetap menjadi hal yang diutamakan. Asumsi berikutnya adalah, agar pendengar dan penikmatnya juga bisa beromantisme, karena ini yang sangat digandrungi oleh masyarakat secara umum.

Praktik Hidup Patriarkhis dan Misogonis

Persis seperti yang diungkapkan oleh Farag Faudah dalam bukunya al-Haqiqah al-Gha’ibah. Kecenderungan manusia adalah mendengar sesuatu yang mereka suka dan cintai. Jiwanya selalu tenang dan bahagia ketika mendengar hal yang emosional dan menyentuh, sekaligus merasa nyaman dengan sesuatu yang sudah dianggap mapan. Kira-kira seperti itulah tujuan pembuatan lirik lagu di atas.

Dalam pada itu, sangat urgen untuk membongar praktik hidup patriakrhis, dan misoginis, sehingga budaya ini tidak sampai tumbuh dan berkembang dalam praktik keagamaan. Hakikatnya, praktik hidup patriarkhis dan misoginis tidak hanya bercokol dalam diri laki-laki, namun juga sangat kuat mencengkram pola pikir dan gaya hidup perempuan. Sehingga, para perempuan terkesan sangat permisif dengan realitas kehidupan yang memprihatinkan, dan mengkhawatirkan ini.

Untuk menganulir keadaan di atas, penulis memberikan dua contoh nalar kritis ‘Aisyah atas paham misoginis yang disarikan dari kitab Al-Saiyyidah ‘A’isyah wa Tautsiquha li al-Sunnah karya Jihan Raf’at Fauzi.

عَنْ أَبِي ذَرْ و َابْنٌ عَبَّاسٍ قَالَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَقْطَعُ الصَّلاَةَ الْمَرْأَةُ وَ الْحِمَارُ وَ الْكَلْبُ.

Dari Abu Dzar dan Ibn ‘Abbas berkata: “Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Perempuan, Keledai, dan Anjing memutus atau membatalkan salat.”

Sanggahan ‘Aisyah atas hadis ini sangat keras dan tegas. Ia berkata: “Bagaimana bisa kalian menyamakan kami dengan Keledai dan Anjing? Demi Allah, sungguh aku telah melihat Rasul saw. sedang salat, sementara aku berada di atas tempat tidur yang posisinya berada di antara Rasul dan Kiblat.” Baginya, jika hadis ini diterima secara tekstual, akan bertentangan dengan prinsip keislaman, yaitu; bahwa perempuan adalah makhluk dan ciptaan Allah yang mulia. Menyamakan kedudukan perempuan dengan Keledai dan Anjing adalah salah satu bentuk penafian atas kemuliaan makhluk Allah.

Baca juga:  Sejarah Kodifikasi Hadis pada Masa Umar bin Abdul Aziz

Kritik keras juga dilakukan oleh ‘Aisyah atas Abu Hurairah:

إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: الشُّؤْمُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الدَّارِ وَ الْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ

        Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: “Rasul saw bersabda: Kesialan ada pada tiga hal, di rumah, perempuan, dan kuda.”

Menyikapi hadis ini, ‘Aisyah mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak hafal hadis tersebut secara utuh. Ia hanya menyampaikan penggalan akhir hadis, karena tak mendengar awalnya. Redaksi lengkap hadis ini menurut ‘Aisyah sebagai berikut:

قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدُ يَقُوْلُوْنَ الشُّؤْمُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الدَّارِ وَ الْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ

            Allah mengutuk kaum Yahudi yang berkata: “Kesialan ada pada tiga hal, di rumah, perempuan, dan kuda.”

Melihat realitas di atas, sangat perlu mengangkat sisi kecerdasan dan nalar kritis ‘Aisyah, sehingga bisa memengaruhi pola pikir dan semangat perempuan zaman sekarang untuk bebas dari paham patriarkhis dan misoginis. Dalam waktu yang sama, lak-laki tak perlu sungkan dan ragu untuk mengakui keunggulan dan kecerdasan perempuan sebagaimana sanjungan seorang Abu Salmah bin Abd al-Rahman atas ‘Aisyah;

“Sungguh aku tak pernah melihat seseorang yang lebih paham sunnah Rasul, dan tak ada yang lebih cerdas dalam berargumen kecuali ‘Aisyah. Demikian pula tak seorang pun yang paling mengerti tentang satu ayat yang diturunkan dan paham hukumnya melebihi ‘Aisyah.”

Penyunting: Qowim Musthofa

Komentar Facebook
0