Tiga Kitab Tipis Yang Wajib Dikaji Sebelum Sampeyan Boyong dari Pesantren



Warisan kitab dan naskah-naskah islam itu sangat banyak jumlahnya: ada yang tebal-tebal ada juga yang tipis-tipis. Ada yang berumur panjang, ada juga yang berumur pendek. Ada yang selalu dibaca hingga berulang-ulang tanpa merasa bosan, ada juga yang dibaca hanya dalam keadaan butuh saja. Dan lain-lain. 

Kesempatan ini saya akan memberikan kitab-kitab kecil saja yang selalu dikaji berulang-ulang di pesantren. Apa saja itu, simak berikut ini:

1. Safinah 

Kitab Safinah ini tipis dan kecil, biasanya dikaji untuk pemula atau santri baru. Kitab yang ditulis oleh Syekh Salim dari Yaman ini merupakan kitab fikih bermazhab Syafii, isinya bermuatan tentang ibadah-ibadah praktis sehari-hari. 

Meskipun tipis, kitab ini ternyata mendapatkan tempat tersendiri di jagat pesantren Nusantara. Safinah menjadi pintu pertama sebelum membuka kitab fikih-fikih yang lain. Kenapa demikian?.

Mungkin, karena Syekh Salim ini memilih tinggal dan wafat di Batavia pada saat itu kira-kira tahun 1853 M., konon katanta ada yang mengatakan makamnya di daerah Tanah Abang tepatnya di belakang Masjid Al Makmur. Ini yang pertama.

Kedua, hal ini karena kitab ini banyak sekali ulama yang mensyarahinya, memberikan komentar dan penjelasan lebih mendalam. Salah satunya adalah kitab syarah safinah dengan bentuk nazam yang, ditulis oleh Syekh Ahmad Qusyairi bin Shidiq Pasuruan. Nazam tersebut diberi judul Tanwir al Hija Nazham Safinahun Naja

Menariknya lagi, syarah tersebut kemudian disyarahi kembali oleh Ulama terkemuka dari mazhab Malikiyyah yang menjadi mufti Makkah, yakni Syaikh Muhammad Ali bin Husain al Maliki al-Makki yang diberi judul Inarah al Duja Syarah nazam Tanwir al Hija

Menarik, kan?. atau lucu mungkin. Kitab mazhab Syafiiyyah kok disyarahi oleh ulama Malikiyyah. Begitu. 

Komentar ini saya dapatkan dari guru saya; Gus Rum, ketika membaca kitab Inaratudduja pada saat ngaji pasanan

2. Alala

Siapa yang tidak mengenal kitab ini?. Jika ada yang belum pernah mendengar, terutama santri jawa dan sumatera, sungguh memang kebangetan. 

Kitab ini merupakan kitab pemula bagi yang ingin menjadi santri. Ditulis dengan bentuk nazam sekaligus terjemahannya

Sewaktu masih kecil nazam ini didendangkan dengan cara yang meriah dan penuh semangat di pesantren, langgar-langgar kecil di desa, di sekolah dasar, dan tidak jarang yang mengiringi nazam dengan cara klotekan di meja. 

Elingo dak hasil ilmu anging nem perkoro, bakal tak ceritaake temtune kanti pertelo

Rupane limpat lobo sabar ono sangune, lan piwulange guru lan sing suwe mangsane

Kitab ini unik, sebab jika ditanya siapa pengarang kitab Alala?. 

Tiba-tiba hening. (hmm hmm hmmm mmmm hmmmm hmmm, diiringi nisa sabyan)

Nihil. Di sampul asli kitab Alala tidak dicantumkan nama pengarang kitab tersebut, alih-alih hanya menyebutkan “Untung sebagian santri agung Lirboyo” Hal ini menunjukkan, bukan bukan menunjukkan, melainkan hanya mengindikasikan bahwa penulis adalah salah satu santri dari Lirboyo. 

Jika sampeyan menemukan nama di sampul kitab Alala, dimungkinkan adalah penerjemahnya. Misalnya Muhammad Abu Basyir ad-Dimawi Demak dan Muhammad Hasanuddin Hafid al-Marhum al-Haj Masyhadi.

Baca juga:  Kisah Menulis KH Bisri Mustofa dan Sejarah Pegon Jawa

Kitab ini mendapatkan tempat di hati para santri, misalnya menjadi bahan untuk mengingatkan teman. Ketika ada seorang teman yang berbuat tidak baik, ghasab misalnya dan ketahuan. Serentak akan teriak woooy ghasab. 


Kemudian bersorak mengutip nazaman “Yen ono konco olo tingkahe dang dohono, yen ono konco bagus enggal-enggal konconono.” 

3. Jurumiyah

Nah ini, kitab legendaris tentang ilmu gramatika Bahasa Arab; Nahwu. Kitab ini keren bagi santri yang sabar dan telaten dengan ilmu nahwu, sebab sebelum beranjak ke kitab seperti Imrithi dan Alfiyah ibnu Malik, santri harus hafal di luar kepala matan jurumiyah ini. 

Kitab ini cerita keramatnya banyak. Ada yang mengatakan penulis Jurumiyah adalah ahli bahasa dari Maroko bernama Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji. 

Suatu hari ketika menyelesaikan menulis kitab tersebut, Kiai Shanhaji ingin menguji keikhlasannya dengan melempar naskah kitab tersebut di sungai sambil berteriak juruu almiyah … yang artinya mengalirlaah mengalirlah air … 

Alhasil, kitab tersebut masih utuh, tintanya sama sekali tidak luntur. Akhirnya kitab tersebut diberi judul jurumiyah. Gitu kira-kira.

Untuk mengakhiri ini, kok saya teringat dawuhnya KH. Maksum Jauhari Lirboyo. “Jadi santri harus alim, kalau tidak bisa alim, ya harus sugih, kalau tidak bisa sugih ya harus jadug. Kalau tidak bisa semuanya ya boyong saja, menikah lalu bikin anak yang banyak terus dipondokkan semuanya.”

Baca tulisan menarik lainnya tentang PESANTREN atau yang ditulis oleh Qowim Musthofa
Komentar Facebook
0