sumber gambar dari Pixabay

Pentingnya Ilmu Sebelum Menjadi Sufi; Kisah Imam Junaid al-Baghdadi

Suatu hari, Imam Junaid al-Baghdadi ditanya oleh gurunya Syaikh Sari as-Saqathi “Kelak, jika engkau boyong dari sini, sampeyan mau mondok di mana lagi?”

“Hmmm… Insyaallah mau mondok di tempatnya Syaikh Haris al-Muhasibi,” Jawab Imam Junaid.

“Ooo. Bagus. Tapi saya punya pesan, ini penting saya utarakan,” Syaikh Sari tampak serius. Imam Junaid mencoba mendengarkan.

“Jadi gini, ambil keilmuan dan kealiman Syaikh Haris al-Muhasibi, begitu pula adab dan tata kramanya. Ambil, sebab beliau orang alim,” lanjut syaikh Sari As-Saqathi. “Tapi…,” sambungnya.

“Tapi apa, Syaikh?” susul Imam Junaid al-Baghdadi.

“Tapi, tinggalkan pembahasan mengenai ilmu kalam dari beliau secara mendalam, begitu pula kritikan beliau kepada para ulama-ulama ilmu kalam” Jelas syaikh Sari.

“Nggih, Syaikh…” jawab Imam Junaid al-Baghdadi.

Ketika Imam Junaid berpaling, ia mendengarkan Syaikh Sari mendoakannya. “Semoga Allah menjadikan engkau sebagai ahli hadis yang sufi, bukan sufi yang ahli hadis”

***

Kisah di atas diceritakan oleh Imam Ghazali di kitab Ihya’nya juz 1 halaman 21-22. Imam Ghazali menceritakan kisah di atas untuk menekankan bahwa ilmu tasawuf sangat penting, namun harus didahului dengan ilmu, seperti ilmu fikih. Ilmu fikih merupakan ilmu praktis yang batasan-batasannya sudah jelas di dalam al-Quran dan hadis, oleh sebab itu harus dipahami terlebih dahulu sebelum menekuni bidang tasawuf.

Jika dibalik; menekuni tasawuf lalu fikih, kata Imam Ghazali dapat mencelakakan diri sendiri (khathara bi nafsih).

Baca juga:  Tips Agar Uang Tidak Habis-Habis Sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad

Alasan dari hal tersebut. Setidaknya ada dua hal yang paling mendasar. Pertama, ilmu tasawuf tidak mempunyai tolok ukur yang jelas dan pasti. Batas-batas yang dimilikinya sangat kabur bahkan membingungkan. Misalnya persoalan khusyuk di dalam salat. Di dalam QS. Al-Mu’minun; 2 Allah berfirman “(sungguh beruntung orang yang beriman) yaitu orang-orang yang khusyuk di dalam salatnya”

Pengertian tentang khusyuk yang lazim ditemukan adalah menyadari bahwa ia sedang salat, mulai dari gerakannya, bacaannya hingga fokus hanya kepada Allah. Saya kira pengertian ini sangat membingungkan, sebab diksi ‘menyadari’ itu tidak bisa dipastikan secara empiris, ia hanya dipahami oleh pelakunya sendiri. Oleh sebab itu, masing-masing dari kita tidak bisa mengukur kekhusyukan orang lain di dalam salatnya, kecuali orang itu sendiri.

Hal ini tentu berbeda dengan fikih yang, penilaiannya berbasis empiris dan faktual. Misalnya orang yang sedang salat, salah satu rukunnya adalah membaca al-fatihah, jika tidak maka otomatis salatnya tidak sah. Dan, masing-masing dari kita bisa menilai hal ini, baik untuk orang lain maupun diri kita sendiri. Implikasi hukum yang diciptakan pun jelas yakni; halal-haram, sah-batal, dan lain-lain.

Kedua, ilmu tasawuf bukanlah wilayah kognitif manusia, melainkan aspek afektif dan psikomotorik yang sangat berkaitan dengan ihsan dan spiritualitas. Aspek-aspek tersebut jika tidak didasari dengan ilmu yang mapan dan kokoh, meniscayakan adanya kesalahpahaman, bahkan kecelakaan beragama.

Baca juga:  Kisah Habib Ali Al-Jufri Menyesal karena Poligami, dan Bagaimana Menyikapinya dengan Luwes

Mari kita ambil contoh sederhana.

Allah berfirman “Dirikanlah salat agar kalian mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14). Jika bicara soal hakikat, tujuan salat adalah mengingat Allah, jadi salat adalah penghubung manusia dengan Allah. Namun, bagaimana jika dengan alasan tersebut, orang tidak perlu salat lalu dengan mudahnya mengatakan “yang penting ingat kepada Allah”? – Percuma salat jika tidak khusyuk dan tidak mengingat Allah. Hal ini merupakan akibat dari pemahaman ilmu tasawuf secara kognitif belaka, alih-alih afektif dan psikomotorik.

Ranah afektif dalam ilmu tasawuf lebih mengedepankan tentang minat-minat dan semangat manusia di dalam menjalankan ibadah, sedangkan aspek psikomotoriknya berkaitan dengan kemampuan bertindak dan bertingkah laku sebagai implikasi ketaatan kepada Allah subhnahu wa ta’ala.

Contoh lagi yang paling sederhana.

Guru saya, Gus Rumaizijat pernah menceritakan (jika tidak salah ingat, mengutip dari kitab Manhajus Sawi) ada orang yang meletakkan bangkai di atas kepalanya ketika salat, ketika ditanya mengapa melakukan hal demikian? jawabnya agar melatih kekhusyukan dalam beribadah. Ia mencoba fokus dan khusyuk mengingat Allah meskipun ada distraksi di sekelilingnya yaitu bangkai. Padahal, kita tahu salat dalam keadaan membawa najis hukumnya adalah batal?

Kedua hal di atas, paling tidak menjadi proses pemahaman bahwa -mengutip dawuhnya KH. Zainal Munawwir (alm.)- “kabeh laku kudu dingilmoni” – semua aktivitas yang kita lakukan harus berdasar dan bersandar pada keilmuan.

Baca juga:  Ustaz Felix Siauw Hadir Di Pengajian Gus Baha, Kami tak Suka Khilafah tapi Kami Tetap Ramah

Meninggalkan Pembahasan Ilmu Kalam secara Mendalam?

Hal yang penting lagi untuk saya tuliskan di sini adalah tentang saran dari Syaikh Sari kepada Imam Junaid al-Bagdadi di atas tentang meninggalkan pemabahsan ilmu kalam secara mendalam. Kalau dipahami secara tekstual, ini bahaya untuk perkembangan studi ilmu kalam. Dikhawatirkan akan menjadi kujumudan dalam memahami realitas kekinian.

Di era Imam Junaid al-Baghdadi, Imam Haris al-Muhasibi (salah satu tokoh yang sering dikutip oleh Imam Ghazali), Imam al-Juwaini, hingga di era Imam Ghazali sendiri, salah satu keilmuan yang paling diminati adalah ilmu fikih dan ilmu kalam.

Kritik Imam Ghazali terhadap para ahli fikih karena banyaknya ulama fikih yang mempelajari fikih hanya untuk mencari jabatan hakim, mufti di pemerintahan, baik daerah maupun nasional. Sedangkan Ilmu Kalam dipelajari untuk memperdebatkan hakikat Allah secara mendalam sehingga kadang-kadang keluar dari batas-batas teks baik al-Quran maupun hadis.

Ilmu Kalam hanya dipakai untuk saling beradu argumentasi secara kognitif manusia, tanpa melirik sisi-sisi afektif dan psikomotorik untuk memajukan umat Islam.

Dari sini, saya sering meragukan asumsi-asumsi inteleketual islam, bahwa Imam Ghazali adalah salah satu ulama yang menyebabkan peradaban islam menjadi mundur dan terbelakang.

Komentar Facebook
0