Menengok Kembali Koneksi Ulama Nusantara dan India Qowim Musthofa Esai 29 Desember 2020 0 13 min read Madrasah Shaulatiyah, Makkah, pada suatu siang, di tahun 1934. Zulkifli, seorang pelajar, menerima kiriman Majalah Berita Nahdlatoel Oelama dari Indonesia. Sebagaimana biasanya, adik KH. Zubair (Salatiga, kelak menjadi Rektor Pertama IAIN Walisongo) ini membacanya dengan antusias bersama kawan-kawannya sesama orang Indonesia. Tak disangka, gurunya tahu lalu memaksa mengambil majalah tersebut, merobek-robeknya dan membuangnya ke arah jendela di lantai tiga lembaga pendidikan tersebut. Gambar dari Pixabay Peristiwa ini membuat para siswa sewot. Namun yang lebih membuat muntab mereka adalah kalimat penghinaan yang dilontarkan guru tersebut: “Kalian orang-orang Jawa [Indonesia] adalah bangsa yang berbudi rendah!” Kejadian di siang hari itu benar-benar menyakiti hati para pelajar. Mereka dengan kompak mogok belajar. Kegiatan di madrasah pun lumpuh. Sebab, 95% siswa di Shaulatiyah berasal dari Indonesia. Demikian juga sebagian pengajarnya. Karena sudah terlanjur sakit hati, maka aksi ini berlanjut dengan tindakan yang tak kalah mencengangkan: para pengajar asal Indonesia memutuskan mendirikan sebuah madrasah sendiri. Para orangtua siswa menghimpun dana, dibantu oleh para “syekh haji Indonesia” yang ada di Makkah. Syekh Abdul Manan ditunjuk sebagai penggerak proyek pendidikan ini. Hingga pada akhirnya, rencana ini berhasil diwujudkan. Lokasinya ada di Suq al-Layl. Gedungnya disediakan oleh Syekh Ya’qub, yang berasal dari Perak, Malaysia. Lembaga gres ini diberi nama Madrasah Darul Ulum, siswanya merupakan pindahan dari Shaulatiyah, dan Sayyid Muhsin al-Musawa, seorang ulama muda kelahiran Palembang yang cakap ilmunya, disepakati menjadi pimpinan. Sejak saat itu, Darul Ulum mulai menapak jejaknya sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berpengaruh di Makkah, khususnya bagi para pelajar dari kawasan Nusantara. Selain Syekh Muhsin al-Musawa, ada juga Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, ulama keturunan Indonesia, yang punya reputasi jempolan di bidang hadits. Syekh Yasin ini memimpin Darul Ulum sampai beliau wafat, 20 Juli 1990. Kejadian di atas ditulis dengan detail oleh H. Abubakar Atjeh dalam biografi KH. A. Wahid Hasyim, “Sedjarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar” (1957: 90). Sebuah peristiwa yang membuka Kotak Pandora pasang surut hubungan antara ulama Nusantara dengan India. Meskipun ada rasa sentimentil kebangsaan yang membuat para pelajar dan pengajar Nusantara memutuskan mendirikan lembaga pendidikan tersendiri, namun keberadaan Madrasah Shaulatiyah tidak bisa disingkirkan begitu saja dalam lanskap sejarah peranan ulama kita. Sebab, sejak pertama kali didirikan oleh komunitas India di Makkah, lembaga pendidikan ini menjadi salah satu jujugan utama para pelajar Nusantara di Hijaz di penghujung abad ke XIX hingga awal abad XX. KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari, dan Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid (Nahdlatul Wathan), adalah tiga ulama besar yang pernah belajar di Madrasah Shaulatiyah. Sebagaimana dikutip dari Majalah Tarikhiyyah Ilmiyyah Alumni Madrasah Shaulatiyah, nama KH. M. Hasyim Asyari sendiri tercantum dalam buku absensi tahun 1403 H/ 1893 M. Sampai sekarang madrasah legendaris ini tetap bertahan, dan pada bulan September 2016 silam, jajaran PBNU yang dipimpin oleh KH. Miftahul Akhyar didampingi PCI NU Arab Saudi dan puluhan perwakilan PCI NU seluruh dunia melakukan silaturrahim bersama di Makkah yang dilanjutkan dengan napaktilas tempat belajar KH. Hasyim Asy’ari di Makkah, khususnya di Madrasah Shaulatiyah. Nama Shaulatiyah sendiri merupakan nisbat kepada Shaulatun Nisa, seorang perempuan filantropis India yang membantu sepenuhnya pendirian sebuah madrasah, pada 1290 H. Pada awalnya, akan didirikan semacam ribath. Namun usulan ini ditolak oleh Syekh Rahmatullah al-Kairanawi al-Hindi, yang berkeinginan agar ada sebuah lembaga yang secara inspiratif melanjutkan ruh Madrasah Nizamiyah, Baghdad, tempat Imam al-Ghazali pernah mengajar, beberapa ratus tahun sebelumnya. Usulan Syekh Rahmatullah diterima dan diwujudkan menjadi sebuah madrasah yang berdiri pada 1875 M. Lantas, siapa sebenarnya Syekh Rahmatullah al-Hindi yang menjadi penggerak madrasah ini? Kalau pembaca mencermati rujukan yang digunakan oleh Dr. Zakir Naik dalam beberapa debatnya, niscaya pembaca akan menemukan kitab Idzharul Haq. Sebuah karya Syekh Rahmatullah al-Kairanawi al-Hindi. Kitab ini ditulis oleh ulama keturunan Sayidina Utsman bin Affan itu untuk mematahkan argumentasi pemuka Kristen, Gottlieb Pfander, ketika kedua pemuka agama ini berdebat soal teologi selama 3 hari di salah satu daerah di India, pada tahun 1850-an. Syekh Rahmatullah, selain menguasai fiqh dan tasawuf, juga mahir dalam melakukan debat teologis melawan para misionaris garis keras yang disokong oleh penjajah Inggris. Hingga pada puncaknya, Syekh Rahmatullah turut serta menggerakkan revolusi Indian Mutiny, 1857, di mana beliau kemudian diburu Inggris lalu lari ke Makkah dan disambut Sayyid Zaini Dahlan, Mufti Syafiiyah di Haramain. (Catatan: Film mengenai Indian Mutiny, 1857, dibintangi Aamir Khan, Rani Mukherjee dan Amisha Patel, berjudul “The Rising: Mangal Pandey”. Sebuah biopic seolah pahlawan besar India. Sorry, misionaris Bollywood lagi melakukan indoktrinasi hahaha). Baca juga: Islamic Boarding School dan Istilah Pesantren yang MembagongkanMakkah saat itu adalah kota suci yang kosmopolit dan terbuka untuk kajian keilmuan lintas madzhab, tidak seperti saat ini yang dikuasai Wahhabi yang menghendaki monopoli paham keagamaan dan ekspor ideologi. Di kota suci inilah di kemudian hari, Syekh Rahmatullah al-Kairanawi al-Hindi yang punya banyak karya tulis itu menghimpun dan mengorganisir orang-orang India untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Shaulatiyah, sebuah madrasah yang di kemudian berkembang pesat dan menjadi jujugan para pelajar asal Nusantara. Ada yang menilai KH. M. Hasyim Asyari pernah berguru kepada ulama top India ini, meskipun dari tahunnya tampaknya tidak ada pertemuan antara keduanya, sebab Kiai Hasyim tiba di Makkah sekitar 1892, sedangkan Syekh Rahmatullah wafat 1891. Saya menduga, Kiai Hasyim berguru ke putra beliau, Syekh Salim bin Rahmatullah al-Hindi. Meski demikian, keberadaan Shaulatiyah menjadi penanda relasi erat antara ulama India dan Indonesia, sebab Shaulatiyah menjadi kawah candradimuka bagi para pelajar Indonesia di masanya. Salah satu bentuk relasi erat ulama Indonesia dengan ulama India juga dikisahkan oleh H. Abubakar Atjeh dalam buku yang sama. Pada 1935 KH. Muhammad Ilyas (1911-1970), yang di kemudian hari menjadi Menteri Agama RI, kembali ke Indonesia dari Makkah melalui jalur India dan Malaysia. Dalam perjalanan itu dia berkeinginan mengadakan studi banding tentang sistem pendidikan Islam. Di India, ia mengunjungi beberapa kota dan universitas, juga tokoh-tokoh penting dan ulama. Ketika berada di Bombai (Mumbai), ia bersama kawan-kawannya berjumpa dengan salah seorang ulama berpengaruh, Syekh Sa’dullah al-Maimani, Mufti Bombay. Yang cukup mengejutkan, Syekh Sa’dullah mengundangnya untuk ikut makan siang. Kiai Ilyas tidak tahu mengapa Syekh India ini memberikan perhatian dan pelayanan yang begitu istimewa kepadanya. Bahkan, meskipun Syekh Sa’dullah mempunyai banyak pelayan, dia lebih senang melayani sendiri para tamunya yang masih muda tersebut. Tidak hanya itu, ketika Kiai Ilyas dan kawan-kawannya hendak bertolak meninggalkan New Delhi, Syekh Sa’dullah juga ikut mengantarkannya hingga ke stasiun kereta, bahkan menunggui hingga kereta api berangkat pukul 11 malam. Menjadi tuan rumah yang baik adalah hal yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim, namun yang menjadi keheranan Kiai Ilyas adalah bahwa Syekh Sa’dullah al-Maimani adalah seorang mufti kenamaan. Kiai Ilyas yang penasaran dengan perlakuan istimewa dari seorang ulama besar tersebut terus mencari jawaban. Sebab, dia merasa tidak pantas mendapatkan pelayanan yang sepenting itu. Keheranannya ini terus menjadi tanda tanya besar dalam pikiran dari minggu ke minggu. Akhirnya, dua bulan kemudian, misteri tersebut terungkap ketika Kiai Ilyas pergi ke Kolkata dan bertemu dengan Zainuddin, seorang santri Jawa yang berasal dari Kediri, yang tinggal di kota itu. Zainuddin yang pernah tinggal di rumah Syekh Sa’dullah dan disekolahkan olehnya, bercerita apabila dia selalu menerima perlakuan atau pelayanan yang sama dari Syekh Sa’dullah dan yakin bahwa sang Syekh akan memberikan pelayanan terbaik tidak hanya kepadanya atau kepada Kiai Ilyas, namun juga kepada semua orang Indonesia lainnya. Alasannya, menurut Zainuddin, adalah jelas, bahwa Syekh al-Maimani adalah murid langsung dari Syekh Mahfudz at-Tarmasi ketika berada di Makkah pada dekade pertama abad itu. Ulama tersebut merasa berkewajiban memperlihatkan rasa hormat dan terima kasihnya kepada semua orang Indonesia karena dia memperoleh pengetahuan dari orang Indonesia, Syekh Mahfudz at-Tirmasi. Luar biasa tawadlu’nya Syekh Sa’dullah ini! PERSEMBAHAN DARI ULAMA INDIA UNTUK SYEKH ABDUSSHAMAD AL-FALIMBANI Dalam Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip dan Korespondensi Ulama Nusantara, Mas Ahmad Ginanjar Sya’ban menyodorkan fakta unik. Seorang ulama India, Syekh Shadiq al-Madani ibn Umar Khan yang hidup pada abad 18, secara khusus menulis sebuah karya yang dipersembahkan kepada ulama Nusantara, Syekh Abdusshamad bin Abdurrahman al-Falimbani. Kitab yang berjudul Qathf Azhar al-Mawahib al-Rabbaniyyah min Afnan Riyadh an-Nafhah al-Qudsiyyah ditulis pada saat Syekh Shadiq tinggal di Madinah. Kitab ini telah ditahqiq dan diterbitkan ulang oleh Dar al-Qahirah li At-Thiba’ah, Mesir, pada tahun 2006 silam, dengan jumlah 240 halaman. Syekh Shadiq dan Syekh Abdusshamad dipertemukan dalam satu majelis keilmuan di Madinah pada saat keduanya bersama-sama bermulazamah kepada Syekh Muhammad ibn Abdul Karim As-Samman al-Madani. Ulama yang masyhur dengan sebutan Syekh Samman (1718-1775), Mursyid Tarekat Sammaniyyah, dan juga penjaga makam Rasulullah. Pada saat itu, Syekh Abdusshamad meminta agar Syekh Shadiq al-Madani menuliskan sebuah syarh (penjelasan) atas teks puisi yang ditulis oleh guru mereka, Syekh Samman, yang berjudul an-Nafhah al-Qudsiyyah atau dikenal dengan al-Qashidah al-Ainiyyah, yang memuat ajaran tasawuf. Permintaan ini kemudian dipenuhi. Syekh Shadiq lantas menuliskan kitab ini untuk sahabatnya asal Palembang tersebut. Dalam kata pengantarnya, sebagaimana yang dicatat oleh Mas Ahmad Ginanjar Sya’ban, Syekh Shadiq dengan rendah hati menjelaskan apabila dirinya hanya mempermudah penjelasan sebuah syair yang ditulis oleh gurunya. Saat itu, Syekh Abdusshamad memberinya sebuah teks syarh puisi karya orang lain yang masih terlalu berat dipahami. Oleh karena itu, Syekh Shadiq memutuskan menerima permohonan sahabatnya. Maka, jadilah kitab Qathf Azhar al-Mawahib al-Rabbaniyyah (fi Syarh) min Afnan Riyadh al-Nafhah al-Qudsiyyah tersebut. Baca juga: PJ. Zoetmulder, Panteisme, dan Pendekatan terhadap TasawufRelasi ulama India dan Indonesia semakin erat manakala di kemudian hari, juniornya Syekh Abdusshamad al-Falimbani, yaitu Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (w. 1812), menjadi murid Syekh Shadiq bin Umar Khan. Dalam karyanya yang berjudul Ad-Durr al-Nafis, Syekh Muhammad Nafis menyebut nama gurunya dengan hormat sekaligus menyinggung syarh al-Qashidah al-‘Ainiyah karya Syekh Shadiq yang kemungkinan besar ditulis pada rentang tahun 1770-1780-an tersebut. DUET KAKEK DAN CUCU DARI MALABAR YANG POPULER Selain Syekh Shadiq bin Umar Khan, ada ulama India lain, Syekh Zainuddin al-Malibari, yang menancapkan pengaruh kuat di kawasan Nusantara, sebab karyanya dikaji hingga saat ini. Mengkaji fiqh di pesantren tanpa menyertakan bahasan Fath al-Mu’in rasanya tidak lengkap. Sebagai salah satu kitab rujukan di bidang madzhab Syafi’i, kitab ini menjadi salah satu karya yang popular dan dikaji selama ratusan tahun dan bertahan hingga kini. Saking populernya, banyak umat Islam menggunakan nama Fath al-Mu’in sebagai nama buah hatinya ini. Semata-mata tabarrukan ppada faidah dan kemanfaatan kitab ini. Kitab masyhur ini ditulis oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (w. 987 H./1579 M). Ulama fiqh madzhab Syafii kelahiran Malabar, India yang juga disebut sebagai Zainuddin Ats-Tsani, karena kakeknya juga bernama Zainuddin. Zainuddin Ats-Tsani ini adalah penulis Fath al-Mu’in yang merupakan syarah atas karyanya sendiri, Qurratul‘Ain bi Muhimmatid Din. Isryadul Ibad ila Sabil Ar-Rasyad adalah karya lainnya. Sedangkan kakeknya, Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-Malibari juga merupakan pakar fiqh Syafiiyah yang lahir di Malibar/ Malabar pada tahun 872 H/1467 M dan wafat di Ponani (Fanan) pada 928 H./ 1521 M. Karya sang kakek yang cukup populer di Indonesia adalah kitab tasawuf Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya. Zainuddin al-Malibari senior ini juga dikenal dengan nama Zainuddin al-Fanani, dinisbatkan pada nama tempat wafatnya. Kitab Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya’ini adalah salah satu kitab tasawuf yang paling populer di awal abad ke XX, di mana ulama sekaliber KH. Sholeh Darat memberi syarah kitab ini dengan judul Minhaj al-Atqiya fi Syarh Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya. Selain duo Malibari ini, di abad ke 17 dan 18 di wilayah Sumatera dan Jawa para bangsawan Aceh dan Yogyakarta akrab dengan kitab Tuhfat al Mursalah ila Ruh an Nabi, kitab tasawuf yang mengupas Martabat Tujuh dan pemikiran spiritual Ibn Arabi. Kitab karya ulama India, Syekh Fadhlullah Burhanpuri (w. 1620 M) ini membumi seiring dengan dominasi Tarekat Syattariyah di lingkungan elit keraton. Tarekat ini pun didirikan oleh ulama India, Syekh Abdullah Asysyattari (w. 1485), dan disebarkan oleh orang India pula, seperti Syekh Sibghatallah al-Barwaji (w. 1606 M, sebagian mengejanya al-Baruji, atau Barauch, Gujarat), ulama India keturunan Persia. Syekh Sibghatallah ini menjadi penyebar dua kitab terkenal tarekat Syattariyah, yaitu Tuhfat al-Mursalah-nya Al-Burhanpuri dan Jawahir al-Khamsah karya Muhammad Ghauts al-Hindi (w. 1563 M). Begitu populernya kitab Tuhfah al-Mursalah ini, sehingga Pangeran Diponegoro yang menjadi pengamal Tarekat Syattariah menjadikannya sebagai kitab kesayangan, selain kitab Taqrib (kalau Kiai Mojo memilih Fath al-Wahhab sebagai kitab pegangan, bahkan pengajaran kitab ini terus berlangsung pada saat bergerilya). GENERASI AWAL: PAMAN DAN KEPONAKAN DARI GUJARAT Karena tulisan ini disusun secara kronologis mundur, dari abad XX sampai abad XV, maka sampailah pada salah satu titik terpenting koneksi antara ulama India dengan Indonesia. Yaitu pada saat Syekh Muhammad Jilani bin Hasan Muhammad al-Humaidi, datang dari Gujarat, India, ke Kesultanan Aceh antara tahun 1583-1583. Dia mengajar fiqh, ushul fiqh, etika, dan retorika. Namun masyarakat yang hidup di bawah naungan Sultan Alauddin Riayat Syah ini ternyata menyukai tasawuf. Maka Syekh Muhammad Jilani kemudian berangkat ke Makkah untuk memperdalam kajian di bidang tasawuf agar bisa mengajar masyarakat Aceh. Kiprah Syekh Jilani kemudian dilanjutkan oleh keponakannya yang lebih populer, Syekh Muhammad Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid Al-Aydarusi Ar-Raniri (w. 1658). Lahir di kota tua Randir (Ranir) di Gujarat, Syekh Nuruddin menjadi mufti (syaikh al-Islam) di era kesultanan Iskandar Tsani. Karena memiliki kemampuan komplit di berbagai bidang keilmuan, Syekh Ar-Raniri memainkan peranan penting dalam pengokohan madzhab fiqh Syafi’iyah, penguatan tasawuf akhlaqi, dan pembaruan bahasa Melayu, sungguhpun bahasa ini bukan merupakan bahasa ibu Syekh Ar-Raniri. Baca juga: Cak Nur dan Pembaruan Pemikiran Islam Melalui As-Sirath al-Mustaqim, dia mengkokohkan madzhab Syafi’i, sebab inilah kitab fiqh lengkap pertama yang ditulis oleh seorang mufti di kawasan Nusantara. Karyanya yang lain, Bustan As-Salathin, selain berisi narasi historis Melayu-Nusantara, juga menyuguhkan berbagai nasehat bagi para raja. Saat menulis kitab ini, Syekh Ar-Raniri meniru langkah Imam al-Ghazali ketika menyusun Nashihat al-Muluk. Di bidang akidah, Syekh Ar-Raniri menerjemah, menggubah, sekaligus memberi keterangan atas karya Najmuddin An-Nasafi yang berjudul Mukhtashar al-‘Aqaid. Karya ini cenderung rumit, dan bahasa Arabnya sulit dipahami oleh orang non-Arab. Di tangan Syekh Ar-Raniri, kitab ini diulas dengan menggunakan bahasa yang sederhana melalui Durrat al-Faraid bi Syarh al-’Aqaid. Karya lainnya, Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, berisi perbandingan agama dan karakteristik “kelompok sesat dan menyesatkan”. Karya-karya di atas, antara lain, diselesaikan oleh Syekh Ar-Raniri selama menjabat sebagai Syaikhul Islam (1637-1644 M) di Kesultanan Aceh. Bahkan, sebelum kembali ke Ranir, ulama yang mengikuti Tarekat Rifaiyah, Qadiriyah dan Aidarusiyah ini sempat menulis sebuah karya berjudul Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, yang kemudian diselesaikan oleh salah seorang muridnya. Ketika menjabat sebagai mufti, Syekh Ar-Raniri banyak berpolemik dengan para pengikut ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsudin As-Sumaterani, dua tokoh pengajar tasawuf falsafi. Kelak, ketika Iskandar Tsani wafat dan digantikan oleh istrinya, Ratu Shafiyatuddin, Syekh Ar-Raniri mulai tersingkir oleh kebijakan baru penguasa baru. Hingga pada puncaknya, Syekh Saifur Rijal al-Minangkabawi al-Azhari diangkat sebagai pengganti Syekh Ar-Raniri. Setelah kembali ke kota kelahirannya di Gujarat, Syekh Ar-Raniri menuliskan berbagai karyanya, termasuk menjalin korespondensi dengan Sultan Banten, Abu al-Mafakhir Abdul Qadir al-‘Ali. Pada hari Sabtu, 22 Dzulhijjah 1068/21 September 1658, ulama besar ini wafat. “Meski masa karier Ar-Raniri di Nusantara relatif sebentar, peranannya dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu-Indonesia tak bisa diabaikan. Tanpa mengabaikan peranan para pembawa Islam dari Timur Tengah atau tempat-tempat lain di masa lebih awal, kita dapat mengatakan Ar-Raniri merupakan suatu mata rantai yang sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara.” tulis Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam di Indonesia” (2004: 222). DUA MUSTHAFA AHLI HADITS Setelah menelusuri relasi erat ulama Nusantara dan India dalam kurun setengah milenium terakhir yang disusun mundur, lantas bagaimana dengan koneksi pasca Indonesia merdeka. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, 1945, dan India, 1947, jalur keilmuan kedua negara ini lebih banyak terjalin melalui hubungan para aktivis Jamaah Tabligh, yang mulai menguat sejak 1990-an. Relasinya dipilin melalui transmisi para murid Syekh Muhammad Zakariyya ibn Muhammad Yahya ibn Muhammad Ismail al-Kandahlawi yang masyhur dengan karyanya, Fadhail al-Amal, itu. Di bidang hadis, seingat saya, ada relasi erat dua pakar bidang ini yang sama-sama bernama Musthafa. Dari India, ada Syekh Muhammad Musthafa Azami, sedangkan dari Indonesia, ada KH. Ali Musthafa Ya’qub. Keduanya saling menjalin relasi erat. Bahkan di era 1990-an, Kiai Ali Musthafa mengundang Syekh Musthafa Azami untuk mengisi seminar di Jakarta. Relasi keduanya semakin erat karena Kiai Ali Musthafa mendapatkan izin menerjemahkan karya Syekh MM. Azami, ulama besar di bidang hadits itu, yang terbit dengan judul “Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya”. Bahkan, ketika memperdalam ilmu hadits di jenjang S-3, Kiai Ali Musthafa memilih Universitas Nizamia di Hyderabad, India. Adapun ulama top India saat ini, Maulana Wahiduddin Khan tidak begitu populer di Indonesia. Maklum, di negara kita, pejuang perdamaian dan kemanusiaan akan kalah pamor dan kalah populer dibandingkan dengan tukang provokasi dan penganjur kekerasan. Padahal nama terakhir ini turut andil dalam menjaga stabilitas kehidupan beragama di India. Ulama berwajah teduh dan berpenampilan kalem ini giat mengkampanyekan moderatisme Islam sejak tahun 1970-an. Maulana Wahiduddin Khan juga mendirikan Center for Peace and Spirituality, satu yayasan yang mendakwahkan kedamaian dan spiritualitas, tasawuf. Ia kerap berkunjung ke berbagai wilayah dan bertemu berbagai tokoh lintas iman untuk berdialog, bukan berdebat. Pada 2015 lalu, di Abu Dhabi, Syekh Wahiduddin Khan mendapat penghargaan dari Majlis Hukama al-Muslimin pimpinan Syekh Abdullah bin Bayyah atas kerja kerasnya mengkampanyekan perdamaian sepanjang hidupnya. Ini hanya artikel rintisan. Masih banyak yang belum ditulis mengenai relasi penting ulama India dan Indonesia sejak awal masuknya Islam di Nusantara, yang ditengarai–antara lain– melalui jalur Gujarat. Silakan melanjutkan tulisan ini berdasarkan informasi lain, karena artikel ini sangat terbatas. Wallahu A’lam Bisshawab. Penulis: Rijal Mumazziq Komentar Facebook 0