Belajar Sufi dari Anak Rusa

Oleh; Ade Chariri

Akhir-akhir ini, aku semakin tertarik dengan dunia tasawuf, setelah mengkaji Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani sebagai tugas akhir—ehm, agaknya nalar sufiku semakin muncul. Sayangnya, aku tak kunjung kasyf. Tak mengapa … Namun, tulisan kali ini, aku ingin sedikit berbagi mengenai novel karya Ibn Thufail yang bernuansa sufi, ialah Hay bin Yaqdzan.

Baik, Ibnu Thufail, lahir sekitar tahun 500 H di Granada, Spanyol, seorang tokoh sufi yang mengawali karir sebagai dokter, bahkan sempat menjabat sebagai menteri di Negara bagian Granada Spanyol pada saat itu. Negara Spanyol, yang tidak hanya terkenal karena adanya Real Madrid dan Barcelona sebagai tim sepak bola langganan juara, melainkan juga karena sejarah lahirnya Islam di wilayah Eropa, dan juga lahirnya tokoh filsuf-iluminis, Ibnu Thufail yang mengarang novel fenomenal Hay bin Yaqdzan.

Tulisan ini sengaja memberikan kadar prolog dengan secuil biografi Ibnu Thufail yang hidup dalam kehidupan yang tenang dan damai (karena penulis berusaha ngalap berkah dari beliau melalui karyanya, Hay Bin Yaqdzan). Sebagai seorang ilmuwan tahun 550-an Hijiriah, Ibnu Thufail dianggap sebagai orang yang mampu menyatukan beberapa kesimpulan mengenai pentingnya akal dan agama-intuisi kesufian. Ketika para ahli sufi bersebrangan dengan para tahafut al-falasifah mengenai perbedaan akal, dan wahyu dan mana yang lebih unggul untuk mencapai tasawuf, Ibnu Thufail justru sibuk meng-ittihadkan keduanya sebagai upaya menuju yang Haq (wushul pada gusti Allah).

Baca juga:  Keutamaan dan Sejarah Hajar Aswad

Dalam kisah Novel yang ditulis oleh Ibnu Thufail tentang Hay bin Yaqdzan (anak dalam asuhan Rusa), awalnya mengindikasikan bahwa apa yang dicapai oleh Hay (sebagai subjek sekaligus objek yang dibahas dalam karya Ibnu Thufail), merupakan sesuatu yang beda.

Kehidupan Hay yang ‘tidak wajar’, dan mengalami hal yang tidak dialami oleh manusia pada umumnya, justru bisa mengantarkan Hay pada kebenaran yang hakiki mengenai Tuhan. Hay yang hidup dalam dinamika tanpa masyarakat dan keadaan sosial, hanya dengan jalan berpikir mengenai eksistensi alam sekitar tanpa pendidikan bangku sekolahan, malah mampu menghadirkan sebuah pemikiran bahwa jalan menuju tasawuf dapat ditempuh dengan berbagai cara. Mungkin layaknya kutipan ‘banyak jalan menuju roma’.

Pembuktian yang dialami oleh Hay yang selalu berpikir tentang sebab terjadinya benda yang ada di sekitarnya dengan dipadukan intuisi sufisme dengan cara kassyaf (menyingkap) ‘premis-premis’ Ilahiah, bisa memberikan kita pemahaman yang lebih lanjut. Hay menjadikan dasar perjalanannya untuk menggapai tasawuf dengan kecerdasan, ketidaksadaran, intuisi dan ilham. Namun dalam perjalananya, Hay tidak hanya terpaku oleh ilham, melainkan terus menggali apa yang yang dibutuhkannya. Hingga pada akhirnya Hay menemukan jalan dan silogisme yang tersusun menjadi tiga bagian.

Yang pertama, menyerupakan dirinya dengan hewan-hewan yang tak berakal. Mungkin kita bertanya-tanya; lha wong pengen wushul ke gusti Allah kok malah ‘menjelma’ jadi hewan. Namun ternyata apa yang dilakukan Hay adalah hal yang benar (meskipun kebenaran itu relatif), karena dalam kisah yang diungkap oleh Ibnu Thufail, dengan cara tersebutlah, Hay mampu bermusyahadah (menyaksikan) Tuhan dalam definisinya.

Baca juga:  Santri, Teknologi, dan Kerendahan Hati

Kedua, menyerupakan dirinya dengan gerakan benda-benda langit. Lagi dan lagi kita dibuat bertanya-tanya ‘kok bisa’. Dalam bayangan kita, paling tidak ketika kita menyerupai benda langit seperti bulan dan bintang, mentoknya kita buat sebagai puisi, seperti ‘oh sayang, wajahmu seperti purnama dimalam hari’ atau ‘aku ingin menjadi bintang disetiap malammu’. Artinya, penyerupaan yang kita pahami adalah hanya sebatas retorika kata atau kalau dalam ilmu bahasa Indonesia ada istilah personifikasi. Namun tidak begitu bagi Hay, dia mampu menyingkap sifat ketuhanan dari banyaknya benda macro-cosmos tersebut, dengan jalan berfikir dan menyingkap premis ketuhanan.

Ketiga, menyerupai al-maujud al-wajibul wujud. Cara yang ketiga ini terkesan lebih absurd, karena kita disuruh oleh Hay untuk menyerupai Tuhan (bisa-bisa kita dicap kafir), hal ini nyaris mirip dan mempunyai korelasi dengan qaul ‘man ‘arofa nafsah faqod ‘arofa robbah’ yang artinya ‘ketika kita mengenal diri kita, kita mampu mengenal Tuhan kita’. Indikasinya adalah bahwa dalam diri kita ada sifat-sifat Ilahiah yang ketika kita selalu memperkenalkan diri kita kepada Tuhan dengan intuisi yang penuh khauf dan raja’, niscaya kita akan mampu ‘berkenalan’ dan terkoneksi dengan Tuhan semesta alam.

Dari ketiga cara yang disuguhkan oleh Hay bin Yaqdzan, setidaknya kita disuruh belajar untuk menjadi diri kita secara original. Tiga cara di atas dikenalkan dengan menggunakan istilah ‘menyerupakan diri kita’. Artinya bahwa kita dituntun untuk berangan-angan dan terus berpikir tentang apa yang ada disekitar kita dan apa yang akan kita tuju. Contoh hal yang ada disekitar kita adalah hewan dan benda luar angkasa, maka kita diharuskan untuk memikirkan benda tersebut dibarengi dengan iradah (keinginan) dan riyadloh (usaha), juga dibumbui dengan intuisi sufisme, seperti terus berusaha untuk mencari guru thariqah atau sebagainya, agar kita mendapatkan arahan yang benar dalam belajar ‘menyerupakan’ diri kita ini dengan hal-hal tersebut. Dan sesuatu atau dzat yang kita tuju adalah Tuhan (Allah), maka kita harus terus berupaya ‘menyatukan’ diri kita dengan cara berdzikir, bertadabbur, beribadah (mahdhah dan ghairu mahdhah), serta menjalankan kewajiban dan meninggalkan larangan–karena maqam kita masih syari’at).

Baca juga:  Bahagia ala Stoa

Sekali lagi, bahwa jalan menuju tasawuf sangatlah banyak, dan akal logika kita mampu mengantarkannya, karena ketika rasionalitas kita dipadukan dengan keyakinan spiritual dan ritual keagamaan yang kuat, bukan tidak mungkin kita akan mencapai derajat yang sedikit lebih tinggi, maka disitulah tasawuf hadir. Hal ini sudah dilakukan oleh ‘anak’ Rusa yang berhasil menuju pada wujud yang Haq. Jadi, jangan pesimis mengenai kita mampu bertasawuf–dalam definisi taqarrub ila Allah–, karena ketika kita shalat dan ngaji, itu artinya kita sedang berinteraksi dengan Tuhan kita, atau dalam bahasa lain bertasawuf ala syari’at.

Komentar Facebook
0