tasawuf
tasawuf

PJ. Zoetmulder, Panteisme, dan Pendekatan terhadap Tasawuf

“Dalam jenis sastra yang kami teliti, hendaknya pembaca budiman jangan mengharapkan akan berjumpa sistem yang batas-batasnya jelas, yang dipikirkan secara logis dan serba menyatu. Tetapi yang akan kami usahakan ialah apakah dan bagaimakah di dalam karya mereka [karya-karya suluk di Jawa-dari saya] terdapat pendapat-pendapat, pilihan-pilihan kata yang mengungkapkan sesuatu pandangan dunia dan pandangan mengenai Tuhan yang disebut panteistis dan monistis.”
PJ. Zoetmulder, 1995: 12-13.

Kutipan di atas berasal dari buku yang ditulis oleh PJ. Zoetmulder berjudul Manunggaling Kawula Gusti: Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia, 1995). Buku ini telah dibaca kalangan peminat, setidaknya pernah dicetak tahun 1990, kemudian 1991, dan 1995. Di Kopma IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga), buku ini dulu sempat dijual, dan kemungkinan besar telah dikoleksi oleh banyak mahasiswa-mahasiswi. Saya memakai rujukan untuk terbitan pada tahun 1995.

Kutipan di atas adalah kesimpulan pendekatan yang dilakukan PJ Zoetmulder dalam membaca karya-karya sastra suluk di Jawa yang banyak berbicara tentang aspek-aspek tasawuf. Dengan kata “pembaca budiman jangan mengharapkan akan berjumpa sistem yang batas-batasnya jelas” tentang panteisme dan monisme dalam melihat sastra suluk di Jawa, PJ Zoetmulder tidak memakai satu makna dalam panteisme, dan karenanya membiarkan berceceran arti-arti panteisme untuk mendekati sastra suluk di Jawa, dan membiarkan pembacanya masuk ke dalam jerat keruwetan panteisme itu sendiri.

PJ. Zoetmulder menguraikan panteisme dengan berbagai arti, di antaranya yang awal dalam dua titik tolak: “Kecenderungan untuk mengembalikan kejamakan dalam suatu bidang kepada suatu kesatuan atau menerangkan keanekaan dengan berpangkal pada prinsip yang tunggal”; dan “setiap sistem filsafat yang berpendapat bahwa segala sesuatu dapat dikembalikan pada kesatuan.”

Dua definisi ini kemudian dipahami oleh PJ. Zoetmulder: Tentang versi yang pertama, dipahaminya sebagai “ajaran bahwa Tuhan dan dunia tidak merupakan hakikat yang sungguh terpisah, dan dengan ada yang di luar yang lain, bahwa Tuhan itu sendiri merupakan Segala-galanya (dengan S besar), bahwa segalanya (dengan s kecil) itu Tuhan, sedangkan segalanya (dengan s kecil lagi) itu modus, partisipasi dalam ketuhanan. Tuhan adalah imanen dalam segalanya itu sebagai hakikat kodratnya, ia tinggal dalam segalanya, sehingga segalanya itu memang bukan Tuhan, melainkan (bila dipandang dari sudut keabadian) bersifat ilahi.” Tentang yang kedua, dipahaminya singkat: “Teori yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu Tuhan.” (1995: 2).

Panteisme itu kemudian dihubungkan dengan monisme, yang pertama: “Panteisme merupakan salah satu bentuk monisme, yang dalam nenetapkan sesuatu berpangkal pada Tuhan dan mengembalikan sesuatu kepada Tuhan”; kedua, bentuk monisme yang lain, yaitu “yang sama sekali tidak menyebut Tuhan atau menempatkan-Nya pada taraf yang sekunder. Itulah monisme dalam arti yang khusus itu…” PJ. Zoetmulder kemudian membedakan panteisme dengan monisme dalam artian yang khusus tersebut: monisme tadi adalah areligius, bahkan sering bersifat materialistis, sedangkan panteisme bersifat religius dengan menekankan segala sesuatu yang berada di atas alam kebendaan” (1995: 3).

Baca juga:  Ruang Baca Pembaca "Hati Suhita" (Bag. 2)
Titik tolak dari panteisme-monisme ini kemudian disimpulkan ketika menjelaskan dunia: pertama, “dunia dianggap tidak ada, merupakan satu ilusi atau khayalan, atau manunggal dengan Tuhan bagaimanapaun caranya”; dan kemungkinan kedua terbagi dua: memandang alam materi atau alam kebendaan sebagai satu-satunya kenyataan, dan satunya lagi menjelaskan dunia dan gejala-gejalannya adalah suatu yang tidak nyata.”

Membaca buku ini betul-betul memerlukan ekstra perhatian, diulang-ulang, apalagi dihubungnkan dengan teks-teks suluk yang bercorak tasawuf. Kutipan di atas menunjukkan bahwa PJ. Zoetmulder tidak memilih satu arti tentang panteisme dalam mendekati sastra-sastra suluk Jawa. Padahal, dalam pengertian panteisme itu sendiri, di dalamnya ada juga bermakna “segala sesuatu itu adalah Tuhan”, “bahwa segalanya itu Tuhan”; juga “Ia [Tuhan-dari saya] tinggal dalam segalanya” yang mengakibatkan pandangan bahwa dunia itu Tuhan itu sendiri, meskipun ada definisi yang lain, yang dibiarkan begitu saja berceceran.

Sastra-sastra suluk di Jawa yang didekati dengan panteisme-monisme ini, dengan sendirinya tidak cukup memadai bagi yang mendalami tasawuf, karena berkonsekuensi melihat penjelasan-penjelasan atas konsep-konsep dan kata-kata yang ada dalam sastra-sastra suluk itu, dimaknai “segala sesuatu itu adalah Tuhan”, “bahwa segalanya itu Tuhan”; atau paling tidak tuhan bertempat dalam tubuh, tanpa memberikan penjernihan dengan konsep-konsep tauhid dan konsep-konsep dalam tasawuf sendiri.

Baca juga:  Tampang Pesantren dan Isu Politik Elektoral

Terlebih lagi, PJ. Zoetmulder menyebutkan “dunia itu manunggal dengan Tuhan apa pun caranya.” Kalimat “apa pun caranya”, dengan dibiarkan begitu saja, memberikan peluang ditafsirkan bermaca-macam menurut sudut panteisme, yang di dalamnya “dunia adalah Tuhan itu sendiri”; dan bisa membawa pada pandangan “Tuhan bertubuh dalam manusia”. Bila dicermati, pengaburan seperti ini dapat memberikan legitimasi bagi pembaca untuk berkhayal bahwa manusia itu adalah Tuhan sendiri; Tuhan ada dalam tubuh manusia; dan sejenisnya.

Sastra-sastra suluk di Jawa adalah sastra-sastra yang berisi ajaran tasawuf, sebagaimana saya katakan tadi, tidak memadai pendekatan panteisme untuk mendekatinya, sehingga memerlukan pembatasan-pembatasan mana yang dipilih, meskipun tentu saja, saya menyadari, tak ada larangan apa pun untuk itu, terserah kepada pengarangnya. Pendekatan yang sering ditawarkan para sufi sendiri, untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Gusti Alloh, adalah dengan konsep “Tajalli Asma dan Sifat”, cermin tubuh, cermin hati, konsep tentang iradah Allah dan saat yang sama ada konsep al-kasbu sebagai mujahadah amal-amal, konsep martabat dalam tajalli, dan begitu seterusnya.

Konsep-konsep dalam tasawuf ini, di antaranya tentang tajalli, dengan terang memberikan pelajaran bahwa ada Al-Khaliq ada makhluq (padudoning kawula gusti), ada yang manunggal (yaitu dalam karsa, dalam kehendak yang telah lebur melalui penjernihan hati-nafs terus menerus), kapti tinunggal karso, dan lain-lain, yang manusia tetaplah manusia, bukan Tuhan. Dan, manusia dan dunia itu sendiri bukan Tuhan, meskipun hakikatnya yang menghidupkan adalah Al-Hayyu. Karena manusia bukan Tuhan itu, terikat dengan hukum lahir, perintah-perintah, yang akan dipertanggungjawabkan. Hubungan manusia dengan Tajjali Asma dan Sifat, dengan menjalani perintah-perintah dan menjauhi larangan, juga memunculkan hukum-hukum batinnya, di antaranya ada yang terhubungan dan didominasi Hijab Kegelapan dan Hijab Cahaya dalam hidupnya.

Baca juga:  Jika Barokah Bisa Didapatkan Lewat Nyolong, Mbah Mun Dulu Ngambil Apa kok Bisa Sealim Sekarang?

Jadi, panteisme bukanlah suatu yang sangat dapat menggambarkan sastra-sastra suluk di jawa, sehingga memerlukan alternatif lain. Bahkan sebagian arti panteisme itu sendiri, jelas-jelas bermusuhan dengan tujuan-tujuan tasawuf, yaitu yang menganggap bahwa “segala sesuatu itu adalah Tuhan”, “bahwa segalanya itu Tuhan”, “bahwa dunia itu Tuhan sendiri”, dan bisa membawa pada jenis lain ungkapan bahwa “Tuhan bertubuh dalam manusia”. Toh begitu, tidak ada larangan pula untuk tetap memakainya, karena hal itu menjadi hak sang pengarang.

Bagi santri pesantren dan muslim Jawa, membaca secara kritis tentang buku PJ. Zoetmulder berjudul Manunggaling Kawula Gusti: Panteisme dan Monisme dalam sastra Suluk Jawa, sungguh penting, terlebih lagi ketika hendak melihat sastra-sastra suluk di Jawa. Terjebak dalam panteisme yang tak dipilih artinya itu, masuk ke dalam pusaran, yang semakin menjauhkan dari tujuan-tujuan tasawuf dalam melihat sastra-sastra suluk itu sendiri. Wallahu a’lam.

Penyunting Qowim Musthofa

Komentar Facebook
0