6 Jurus Menjadi Netizen Beradab

 

Perkembangan teknologi semakin membuat banyak masyarakat memilih untuk memanfaatkan teknologi sebagai sarana komunikasi dengan sesama. Media sosial adalah perangkat lunak yang seringkali digunakan untuk memudahkan seseorang dalam berkomunikasi secara cepat dan tanpa biaya yang mahal. Fenomena yang manarik ketika berbicara tentang media sosial adalah penggunaan bahasa oleh para pengguna media sosial. Sesuai fungsi utamanya, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk mengekspresikan diri atau mengungkapkan perasaan.

Kesantunan bahasa barus dipakai dalam setiap tindakan berbahasa, pun pada komunikasi di media sosial yang notabene antara penutur dan mitra tutur tidak bertatap muka secara langsung. Dalam berkomunikasi, seseorang perlu mengaplikasikan penggunaan bahasa dengan memilah dan memilih kata dan diksi yang paling baik untuk dituturkan. Akan tetapi, realitas yang ada saat ini menunjukkan bahwa nilai kesantunan dalam berkomunikasi di media sosial mulai memudar, bahkan netizen Indonesia mendapat predikat netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara berdasarkan laporan Digital Civility Index (DCI) Tahun 2022. Banyak orang menyebar berita tidak benar dan ujaran kebencian di media sosial.

Di berbagai tema berita, baik itu berita tentang artis ibu kota, politikus, warga biasa, sampai dengan orang yang dihormati dalam suatu agama tertentu sekalipun tidak bisa luput dari kata-kata kasar dan cemoohan. Kebanyakan dalih dari fenomena tersebut adalah atas nama kebebasan berekspresi, kurangnya tanggung jawab dan kepedulian kepada sesama. Netizen yang larut dalam bahasa-bahasa yang tidak pantas untuk diucapkan hanya berfokus pada kepentingan pribadi mereka, tanpa memikirkan bahwa kalimat yang mereka tuliskan tersebut akan berdampak dan mempengaruhi orang lain.

Baca juga:  Dakwah Itu Punya Ilmu Dulu, Gitu Kata Imam Ghazali

Di kalangan akademisi linguistik, istilah kesantunan berbahasa (politeness) mulai dikenal sejak hadirnya kajian pragmatik. Kesantunan berbahasa menjadi bagian dari objek kajian pragmatik. Pragmatik mulai berkembang di Eropa tahun 1940-an dengan tokohnya Charles Morris, sedangkan di Amerika berkembang tahun 1970-an dengan tokohnya Austin. Di Indonesia, pragmatik baru dikenal sekitar tahun 1980-an. Sementara itu, di kalangan umat Islam kesantunan berbahasa sudah diajarkan sejak Islam ditetapkan oleh Allah sebagai agama yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya, yakni 14 abad yang silam. Dengan demikian, umat Islam di seluruh dunia telah lama mengenal konsep kesantunan dalam berbahasa. Terdapat enam prinsip dalam etika beromunikasi, yaitu:

PertamaQaulan Sadidan (berbicara dengan benar) seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 9 dan Al-Ahzab ayat 70.

KeduaQoulan Balighan (berbicara dengan efektif). Qaulan Baligha seperti diungkapkan dalam QS An-Nisa ayat 63. Qaulan Balighan bisa diartikan sebagai pembicaraan yang fasih, jelas, dan terang maknanya, serta tepat mengungkapkan apa yang dikehendakinya sehingga mitra tutur dalam sebuah komunikasi dapan menangkap dengan mudah maksud pembicaraan dan bahkan mengingatnya di dalam jiwa mitra tuturnya.

Baca juga:  Gus dan Kiai

Ketiga, Qaulan Maysuran (berbicara dengan baik dan pantas) sebagaimana tersebut dalam QS Al-Isra’ ayat 28. Secara bahasa, Qaulan Masyura berarti perkataan yang mudah dipahami oleh mitra tuturnya. Penerapan prinsip ini sangatlah penting. Karena jika mitra tutur tidak memahami apa yang disampaikan, maka akan menimpulkan kesalah fahaman.

Keempat, Qaulan Layyinan (berbicara dengan lembut) seperti tersebut dalam QS Thaha ayat 44. Secara bahasa, qaulan layyinan berarti perkataan yang lemah atau lembut. Dalam prinsip qoulan layyinan ini menganjurkan untuk kita menggunkan bahasa yang lemah lembut agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara kita.

Kelima, Qaulan Kariman (berbicara dengan kata-kata mulia) sebagaimana tersebut dalam QS Al-Israa ayat 23. Qoulan kariman secara bahasa bermakna perkataan yang mulia dan berharga. Lawan dari kata yang mulia atau berharga adalah murahan atau tidak punya nilai sehingga untuk memenuhi prinsip ini, maka dalam bertutur kata hendaknya menggunakan kata-kata baik, tidak kasar, dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan serta pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan.

Baca juga:  Petani Santri: Term Yang Akan Membangkitkan Semangat Ketahanan Pangan Indonesia

Qaulan Ma’rufan (berbicara dengan bahasa yang baik, sopan dan tidak menggunakan sindiran) diungkapkan dalam Al-Qur’an dalam empat surat, yaitu yaitu QS An-Nisa ayat 5, QS An-Nisa ayat 8, QS Al-Baqarah ayat 235, dan QS Al-Mu’minun ayat 32. Qaulan ma’rufan dapat juga diartikan sebagai perkataan yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Selain itu, qaulan ma’rufan berarti pula perkataan yang pantas dengan latar belakang dan status seseorang dan tidak menggunakan sindiran.

Meski ajaran Islam untuk tuntunan dalam berkomunikasi sangat lengkap, namun faktanya, komunikasi yang terjadi di masyarakat terlebih di media sosial sering mengakibatkan perselisihan dan suasana gaduh. Oleh karena itu, mari kita renungkan kembali landasan etika komunikasi menurut ajaran Islam dan sedikit demi sedikit mengamalkannya. Jika dulu kita mengenal istilah “mulutmu harimaumu”, maka di era perkembangan media sosial, istilah tersebut menjadi “jarimu harimaumu”.

Komentar Facebook
1