Kisah Menulis KH Bisri Mustofa dan Sejarah Pegon Jawa

SUMBER: NU ONLINE

Pernah suatu kali K.H. Ali Ma’shum merasa penasaran dengan motivasi menulis yang luar biasa dari K.H. Bisri Mustofa, terutama dalam tulisan pegon.

“Sampeyan kok bisa bikin karangan sebanyak itu gimana caranya, Nda?” kata beliau kepada Mbah Bisri, “aku kok sulit sekali. Baru mau ikhlas menyebarkan ilmu… noto niat saja susahnya minta ampun…”

Mbah Bisri tertawa kecil, “Ngarang, kok mikir ikhlas… ya nggak jadi-jadi.” Beliau menanggapi.

“Lha memangnya sampeyan itu kalau ngarang niatnya apa?”

“Honor… Mengingat-ingat honor itu membuatku bersemangat menyelesaikan karangan”.

“Lha kok bisa?”

“Ya biar… wong mencarikan nafkah anak-istri itu juga wajib kok. Pahalanya belum tentu lebih sedikit…,” Mbah Bisri kalem, “Lagi pula… nanti kalau karangan sudah jadi dan hendak diserahkan kepada penerbit, kita masih bisa noto niat… termasuk mengikhlaskannya. Yang penting karangannya sudah jadi…. Daripada ikhlas dulu tapi nggak jadi-jadi tulisan?”

Kisah selanjutnya juga masih antara Mbah Bisri dan Mbah Ali. 


Mbah Bisri menulis tentang topik apa saja tanpa pilih-pilih. Di antara karangannya adalah sebuah kitab kecil berjudul: ”Kitab Kêdutên”. 

Kitab itu menguraikan makna firasat dari kêdutên menurut tempatnya, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mbah Ali pun memprotes kitab itu,

“Sampeyan ngarang kitab macam begini ini dasarnya apa?”

“Ada!” Mbah Bisri meyakinkan, “kusebutkan di kitab itu kok!”

“Mana?” Mbah Ali tak terima, “Sudah kubaca dari awal sampai akhir, nggak ada sama sekali gitu… Quran enggak, Hadits enggak, aqwaal ulama juga babar blas!”

“Sampeyan kurang teliti bacanya…”

“Sudah!”

Mbah Bisri pun meraih kitab itu dari tangan Mbah Ali,

“Coba lihat ini…”

Mbah Bisri membuka halaman terakhir. Diujung karangan itu, sesudah menguraikan makna firasat dari kêdutêndi sekujur tubuh tanpa ada yang terlewatkan, Mbah Bisri menulis:

”Sedoyo wahu adhêdhasar kiro-kiro. Wallaahu a’lam bish showaab”. (semua penjelasan di kitab ini adalah berdasarkan perkiraan saja)

Kisah tersebut diambil dari: teronggosong.com

Sekalipun Mbah Bisri belajar langsung Islam sampai ke Mekah, tapi dalam hal karya tulisan beliau banyak juga menulis karya dalam pegon jawa. 

Spirit Mbah Bisri kala itu ialah agar orang Jawa yang tidak pandai bahasa Arab dapat mengerti dan memahami maksud ajaran Islam dengan baik.

Sebut saja tulisan beliau yang memakai pegon jawa, ada Tafsir al-Ibriz yang merupakan Tafsir al-Qur’an; dalam nadzom ulumul qur’an ada Al-Iksir; dalam bab akhlak/tingkah laku ada nadzom ngudi susilo; dalam gramatika ada syarah Jurumiyah. Dan banyak lainnya.

Jika kita mau kritis, sejarah pegon jawa dapat ditelisik pada nusantara abad 15-16 M yang merupakan masa transisi dari Majapahit Budha ke Mataram Islam. 

Pandangan keagamaan masyarakat Jawa perlahan mengalami perubahan. Melalui metode dakwah yang tanpa kekerasan, masyarakat jawa secara perlahan beralih ke Islam.

Islam datang tidak hanya membawa konsep religinya, tetapi juga produk budayanya, yaitu tulisan Arab. Dampak dari datangnya Islam ini, muncullah peradaban baru yang boleh disebut sebagai peradaban Islam-Jawa.

Pada masa perkembangan peradaban baru tersebut, di lingkungan yang masyarakatnya telah

Islam terdapat masjid yang menjadi lambang dari kesatuan masyarakat. Secara beriringan muncul juga pusat ke-islaman yang berfungsi sebagai tempat pendidikan Islam, yaitu Pondok Pesantren. Dari sinilah nantinya akan menjadi tempat lahirnya teks-teks keagamaan Islam dan kesusastraan Islam-Jawa.

Ketika Islam telah menjadi elemen penting dalam peradaban Jawa, para santri pondok pesantren tidak hanya mendapat pengetahuan tentang Islam, tapi sekaligus juga bahasa Arab. 

Jika semula tulisan Arab hanya diajarkan oleh para Kiai sebagai media memahami Islam. Lama-kelamaan tulisan Arab pun mengalami modifikasi penyesuaian dari para santri. Bahasa Arab pun disesuaikan dengan bunyi lidah Jawa sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. inilah yang kita kenal sebagai Pegon.

Pegon menurut Kromoprawirto berasal dari kata Jawa ‘pego’ yang artinya ora lumrah anggone ngucapake ‘tidak lazim melafalkannya.’ 

Hal ini karena secara fisik, wujud tulisan Pegon adalah tulisan Arab, tetapi bunyinya mengikuti sistem tulisan Jawa, hanacaraka.

Spirit penciptaan pegon mulanya ditujukan sebagai kepentingan penyebaran agama Islam yakni untuk para santribmenyalin makna terjemah bahasa Arab gundul. 

Terutama sebagai sarana memahami teks keagamaan. Teks-teks keagamaan Islam antara lain ialah pelajaran sembahyang, terjemahan Al-Qur’an, doa-doa, fikih, akhlak dan sebagainya.

Namun pada perkembangannya, Pegon juga berkembang menjadi sarana penulisan teks sastra. Tercatat dalam sejarah berbagai teks sastra baik yang bernuansa keislaman seperti Serat Ahmad Muhammad, Serat Anbiya, dan Serat Yusup. 

Adapun yang bersifat sejarah seperti Babad Banten dan Babad Demak, ataupun kisah pengembaraan seperti Serat Centini dan Serat Jatiswara. Sampai penggambaran tokoh legenda jawa seperti Serat Jaka Tarub, Serat Candrakirana dan Serat Raja Kandhak. Melalui pegon kisah tersebut ditulis dalam bentuk tembang macapat (puisi klasik Jawa) atau gancaran (prosa).

Tak cukup demikian, Pegon juga digunakan untuk sarana komunikasi, berupa surat, baik yang bersifat pribadi maupun dokumen resmi kerajaan. Sepucuk surat yang ditulis oleh Bagus Ngarpatem pada kurun waktu abad 18 M bisa menjadi buktinya. Bahkan, selain untuk menulis ketiga jenis teks di atas, tulisan Pegon juga berfungsi sebagai sarana menulis teks-teks rajah, mantra, primbon dan obat-obatan.

Pegon tidak hanya sebagai sarana terciptanya khazanah baru dalam dunia sastra Jawa thok! Tetapi secara tidak langsung telah menjadi wujud identitas masyarakat Islam-Nusantara. Bahkan sampai sekarang penggunaan pegon pun telah meluas sampai Pattani, Thailand. Yang mereka sebut sebagai ‘Jawi’.

Sampai sekarang pun pegon masih digunakan oleh pesantren yang berafiliasi pada sistem tradisional. Hal ini menjadi ciri khas tersendiri. Membedakan antara salaf dan modern. Berbeda dengan pesantren modern yang orientasi bahasa Arabnya sebagai alat komunikasi. 

Orientasi pembelajaran bahasa Arab pesantren tradisional (salaf) memfungsikan bahasa arab untuk memahami Islam (tafaqquh fiddin).

Alumni pesantren salaf unggul dalam urusan mengolak-alik satu kata Arab dengan berbagai jenis derivasi turunannya. Tambahkan sekaligus bait imrithi, alfiyahnya. Lengkaplah sudah. 

Namun mereka gagap menggunakan bahasa arab sehari-hari. Alumni pesantren modern mereka fasih sekali menggunakan bahasa Arab karena telah terbiasa sebagai komunikasi sehari-hari.

Nah… Bilamana santri sekarang kok gak bisa pegon-jawa? Itu sama saja tidak mewarisi sistem peradaban yang telah dicetuskan para ulama dan para Kiai nusantara semenjak 5 abad silam.

Khusus para adek-adek santri milenial semuanya, jangan hanya semangat sholawatan lewat tik-tok saja. Jiwai pula semangat santri yang bisa baca kitab kuning melalui sarana pegon-jawi. Jangan sampai akun instagramnya penuh dengan caption bijak. 

Namun, kitab kuningnya kosong melompong gara-gara tertidur saat ngaji bandongan kitab kuning. Semoga nanti juga mendapatkan keberkahan dari Allah dengan mengikuti tindak lampah kiai terdahulu. 
Komentar Facebook
0
Baca juga:  Islamic Boarding School dan Istilah Pesantren yang Membagongkan