Jangan Memahami Hadis Secara Sepotong: Ketahuilah Keseluruhan Konteksnya Mujib Romadhon Esai 6 Januari 2019 0 3 min read Penulis: Mujib Romadlon Memahami hadis tidaklah semudah hanya mengambil sepenggal saja kemudian otomatis langsung paham dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah saw. Hadis selayaknya dipahami secara utuh sesuai dengan konteks. Proses pencarian terhadap konteks hadis dapat dilaksanakan dengan mengambil riwayat hadis dari mata rantai sanad rijal hadis yang lain. Sehingga pemahaman kita pun menyeluruh, sesuai dengan peristiwa apa yang mengiringi nabi berkata demikian, berperilaku demikian, dan lain sebagainya. Seperti hadis yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-Asqalani pada pembahasan mengenai ‘Sucinya Air Liur Hewan yang boleh dimakan dagingnya’ Dari Amr bin Kharijah ra. Ia berkata Rasulullah saw. berkhotbah di Mina di atas ontanya, sementara air liur unta mengalir di pundakku. Sepintas secara tersurat kita dapat memahami bahwa air liur unta atau hewan yang halal dimakan dagingnya memiliki hukum tidak najis. Pemahaman ini muncul salah satunya karena Rasulullah hanya diam saja saat sahabat Amr bin Kharijah tengah memegang tali unta Beliau, padahal si unta dalam posisi meneteskan air liurnya ke baju sahabat Amr bin Kharijah. Apakah Rasulullah menyuruh untuk membasuh air liur unta tersebut? Rasulullah mengingkari juga tidak, melarang juga tidak. Inilah yang disebut sunnah taqririyah. Baca juga: Mengintip Rumah Tangga Nabi: Keistimewaan Sayyidah Aisyah di Antara Istri Yang LainMencari konteks hadis tersebut, dapat dilakukan dengan cara mencari perbandingan dengan konten hadis yang lain. Atau disebut dengan istilah i’tibar al-sanad. Selengkapnya adalah: dari ‘Amr bin Kharijah bahwasanya Nabi saw. pernah menyampaikan khothbah di atas onta miliknya, sementara aku tetap berada di bawah leher ontanya yang sedang mengalirkan busa liurnya dan bertetesan di antara kedua pundakku. Maka aku pun mendengar beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada semua yang berhak apa yang menjadi haknya. Karena itu, tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris. Nasab seorang anak adalah milik bapaknya. Untuk seorang pezina, maka baginya adalah batu (dirajam). Barangsiapa yang bernasab kepada selain bapaknya atau berwali kepada selain walinya karena benci terhadap mereka, maka laknat Allah akan tertimpa atasnya dan Allah tidak akan menerima darinya, baik itu amalan sunnah atau pun amalan wajib.” Jadi pemahaman awal dari hadis ini memang berisi tentang sunnah taqririyah. Namun, selanjutnya tak sekedar itu terdapat pula kata-kata Nabi atau biasa disebut sunnah qauliyah berikut lanjutan keterangan yang dapat diambil dari keseluruhan hadis riwayat Amr bin Kharijah melalui riwayat dari al-Tirmidzi: Baca juga: Dakwah Itu Punya Ilmu Dulu, Gitu Kata Imam GhazaliPertama, hadis ini mengubah ketentuan hukum yang ada di Alquran -atau biasa disebut dengan nasakh-mansukh- pada QS. al-Baqarah: 180 yang berisi tentang kewajiban untuk memberikan wasiat bagi ahli waris: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (baik; sesuai; pantas), (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah 2:180). Mengapa demikian? Karena bila seorang ahli waris sudah mendapatkan bagian warisan yang telah ditentukan sesuai dengan takaran ilmu faraid (ilmu waris), namun masih juga mendapatkan jatah wasiat. Maka ia menjadi mendapatkan dua hitungan warisan. Satu karena jatah dari perhitungan pembagian hak warisan, satu lagi karena jatah dari wasiat. Hal ini tidak baik dan dapat memungkinkan terjadinya perselisihan antara sesama ahli waris. Kedua, bagaimanapun juga seorang anak merupakan hasil hubungan intim pertemuan ranjang ayahnya ( والولد للفراش). Apabila ada kecurigaan dari Ayah terhadap status biologis anaknya, maka seorang suami berhak mengajukan sumpah mula’anah. Apa itu mula’anah? Yaitu sumpah yang dituntutkan kepada Istri. Bila si Istri tidak mengakui tuduhan perzinahan si suami. Maka kemudian keduanya diceraikan dan selamanya tidak boleh untuk menjalin hubungan pernikahan kembali. Namun bila si Istri mengakui, maka hukum rajam menjadi konsekuensi bagi si istri. Baca juga: Klasifikasi Amal ketika Hidup atau MatiKetiga, menasabkan diri atau mendakwa orang lain sebagai ayahnya. Padahal sama sekali tidak memiliki hubungan biologis apapun. Maka ia akan mendapatkan ancaman; tidak diterima amalan ibadahnya baik sunnah maupun wajib. Di samping durhaka kepada orang tua kandung dan hadis ini masih berkaitan pada tema tentang hak waris, maka seseorang yang menasabkan diri ke selain bapaknya dapat menyebabkan ahli waris yang sah tidak mendapatkan secara penuh hak warisnya. Hal ini dapat berakibat fatal pada status mahram, karena dapat mengharamkan orang yang halal dinikahi dan menghalalkan orang yang haram dinikahi. Sekaligus dapat merusak dan mencela garis keturunan yang sebenarnya. Demikian ngaji hadis oleh Gus Rum pada kesempatan ini. Baca tulisan menarik lainnya yang ditulis oleh MUJIB ROMADLON atau baca tentang NGAJI GUS RUM. Komentar Facebook 0