Laa Syakka fihi Banser NU

Fofografer; Niam

SABAK.OR.ID – Hingga kini, lambang Ma’arif yang berbentuk sembilan bintang yang melingkari bumi selalu aku kenakan dengan bangga. Cuma, sekarang bintang sembilan itu bernama Nahdhatul Ulama.

“Laa Syakka fihi Banser NU!” Dawuh Kiai kepadaku, setelah aku meminta nama untuk calon anakku.


Aku terdiam. Tidak berani menolak. Aku hanya bisa berprasangka baik bahwa nama itu adalah yang terbaik untuk calon anakku. Sekalipun nama itu janggal di telinga.

“Artinya itu to, Nang … tiada keraguan sedikitpun kepada Banser NU….” Kiai melanjutkan. Memberi tahu arti nama yang baru saja ia berikan.

Aku dan istriku pulang ke rumah dengan senang. Karena barokah nama dari beliau sudah kugenggam.

Itu adalah kejadian empat belas tahun yang lalu. Beliau sudah maninggal beberapa waktu yang lalu. Pesantren tempatku mengaji itu kini diteruskan oleh putra beliau, Gus Manan.

Syakka, nama panggilan Laa Syakka fihi Banser NU, telah menginjak kelas satu SMP, sekarang.

Tadi siang Syakka pulang sekolah dengan mata sembab. Ia tak mau mengaku apa sebab kesedihannya.

Tapi, kata ibunya, istriku, ia marah padaku karena telah menyematkan nama Banser pada namanya. Banser, oleh teman-temannya dianggap telah menghina Islam. Insiden pembakaran bendera HTI menjadi penyebabnya. Karena nama lengkap Syakka ada kata Bansernya, maka ia menjadi bahan bulian oleh teman-temannya.

Sampai malam tiba, aku masih bertanya-tanya bagaimana caranya aku menjelaskan padanya, tentang kata Banser itu.

Sambil mengunyah jajanan di pengajian selapanan, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Sekalipun pengajian ini riuh, namun pikiranku hening. Sibuk sendiri. Kalut dan bingung.

Karena jelas tak mungkin, di umurnya yang sekarang, aku menceritakan sejarah politisasi Mushaf al-Qur’an yang diangkat di atas tombak saat perang Shiffin antara Saiyidina Muawiyah dengan Saiyidina Ali karramallahu wajhah. Jelas mudah bagi anak dewasa, namun akan rumit menjelaskan kepada anak puber yang sedang memulai menginjakkan kaki dalam kehidupan nyata.

Saat aku seruput kopiku perlahan, masih di suasana selapanan, aku rasakan lagi bagaimana beratnya mendidik dan menyayangi anak.

Lalu teringat dulu saat masih sekolah di Ma’arif. Masih teringat bagaimana Mamak mengurus aku dan adik-adikku sendirian, sejak bapak meninggal karena kecelakaan saat akan berangkat jama’ah di Masjid. Mamak pun, yang hanya buruh tani, tetap memaksaku untuk sekolah.

Pernah suatu ketika aku tak mau berangkat sekolah, alasannya sederhana: tak memiliki seragam. Entah uang dari mana, tiba-tiba Mamak membawakanku seragam sekolah.

“Mamak kok pulang bawa kain bahan seragam sekolah?”

“Kamu ndak usah mikir dari mana Mamakmu ini dapat kain seragam. Yang penting seragam Ma’arif ini jangan pernah kamu sia-siakan sedikitpun, Le.” Jawab Mamak bersahaja, dengan senyum kelembutan yang sampai kini pun selalu menghiasi kepala.

Hingga kini, lambang Ma’arif yang berbentuk sembilan bintang yang melingkari bumi selalu aku kenakan dengan bangga. Cuma, sekarang bintang sembilan itu bernama Nahdhatul Ulama.

Mengingat tidak satu-dua kali ibu harus berjibaku kesana-kemari untuk menghidupi dan membiayai sekolah kami berempat, aku dan saudara-saudaraku, aku merasa belum ada apa-apanya dibanding keluhan Syakka tentang namanya. Selalu terkenang bagaimana Mamak, di sela kesibukannya mengurus TPA Lansia, masih menyempatkan diri menyetrika seragam sekolahku.

“Bagaimana jika anakmu diberi nama Laa Syakka Fihi Banser NU.” Ucap kyaiku empat belas tahun lalu masih mengiang lagi di kepala. Dan kini, anakku sepertinya tidak suka dengan nama itu.

“Mas Nur, pinjami 50 ribu mas?” Kataku kepada salah seorang teman, sebelum pulang dari rutinan selapanan.

“Buat apa, Pak?”

Baca juga:  Gus Macam Apa (Episode 2)

“Biasa…” jawabku pendek. Lalu kuteruskan dengan sebuah senyum seperti biasa, sebagai sebuah tanda bahwa uang itu untuk kebutuhan rumah.

Di jalan, sambil memasukkan uang dari Mas Nur ke amplop kecil yang selalu ada di tas, aku masih berpikir bagaimana cara menjelaskan kata Banser di nama anakku, Laa Syakka Fihi Banser NU.

Setelah aku ketuk pintu rumah, sebentar kemudian istriku membukakan pintu.

“Syakka masih marah, Dek?” Tanyaku sambil menyerahkan amplop berisi uang lima puluh ribu kepadanya.

“Alhamdulillah… sudah tidak, Mas. Katanya, sekarang dia malah pengen mondok saja.”

Aku kaget. Terdiam. Namun mukaku seakan bertanya Kenapa bisa begitu?.

“Setelah sampean pergi tadi, Mas, aku jelaskan sejarah luhur Banser….”

Istriku menceritakan bahwa sejak sebelum negeri ini merdeka, Banser telah berkiprah membangun negeri. Dia juga mengatakan kepada Syakka, bila ingin tahu sejarah Banser, lebih baik mondok. Daripada hanya belajar agama dari internet seperti yang dialami teman-temannya.

Dan masih banyak lagi ia menceritakan tentang Banser dan sejarah NU kepada Syakka, seperti yang ia ceritakan padaku.

Sambil masih mendengarkan cerita isteriku tentang Syakka, diam-diam aku merasa bersyukur telah memiliki istri sepertinya. Istri pilihan kiaiku, untukku.

Memperhatikan caranya berbicara sungguh menyenangkan. Mendengar kelembutan suaranya membuatku selalu merasa bahwa memilikinya adalah sebuah anugrah. Melihat kesabarannya merawat anak-anak, membuatku merasa sebagai laki-laki paling beruntung. Terlebih, ia seperti kriteria istri idaman dalam kitab Qurotul ‘Uyun, selalu memberi tanda ‘iya’ sebelum aku memintanya.

Isteriku, setelah bilang ‘iya’ dengan kerlingan matanya, mengajakku terbang ke langit ke tujuh, sambil membacakan syair-syair Kahlil Gibran tentang indahnya kasmaran. Menuai bintang-bintang, lalu singgah ke bulan. Sebagai balasan, aku lalu mengajaknya membaca kata-kata indah dalam kisah Laila Majnun yang menceritakan indahnya ‘gila karena cinta’. Sungguh, malam serasa hanya sekejap mata.

Pagi hari, aku segerakan mengantar Syakka ke Gus Manan, putra kiaiku. Untuk mondok kepada ulama yang sebenar-benarnya ulama. Ulama yang sesungguhnya.

Sebelum aku berangkat menuju pondok, setelah istriku tak henti-henti menciumi Syakka, ia memandangku dan Syakka dengan mata sembab.

Setelah bilang “Aku berangkat dulu, Dek!”, ia membalas dengan bilang “Hati-hati di jalan, Mas”, lalu menundukkan wajah. Sungguh, menurutku, panggilan ‘mas’nya adalah yang tersyahdu di dunia ini.

Lalu aku meninggalkan halaman rumah, meninggalkan istriku, lalu menghilang dari pandangannya karena ditelan tikungan. Namun melihat dari spion motor, ternyata ia mengantar kepergian kita sampai pagar rumah. Sungguh, ia adalah istri idaman.


Penulis: Mujib Romadlon, alumni Pondok Pesantren Bulus, sekarang mengajar di Madrasah Aliyah Al Ma’had An Nur Bantul

(Cerita ini terinspirasi dari seorang sahabat dari daerah Pantura yang memberi nama anaknya Laa Syakka Fihi Banser NU. Nama pemberian gurunya)
Komentar Facebook
0