Hadis tentang Cicak dan Pentingnya Memahami Asbabul Wurud Hadis Lea Fathra Azha Nabiela Esai 28 Desember 2021 0 4 min read Diciptakan menjadi manusia sekaligus muslim, adalah nikmat yang tak terperi. Bayangkanlah diri ini sebagai debu jalanan yang kemudian disapu petugas kebersihan, atau menjadi batu yang sepanjang penciptaannya hanya dihabiskan di pinggir kali tanpa kemana-mana. Menjadi muslim, menyempurnakan nikmat menjadi manusia itu. Sebab bukan hanya dari segi keagamaan dan beribadah saja yang telah diatur dengan amat sempurna. Dalam kehidupan seorang muslim, bagaimana dia berperilaku, berbicara, berhubungan sosial, bahkan sampai pada aspek terkecil dalam kehidupannya pun tak perlu diambil pusing. Sudah ada trendsetter yang menjadi contoh bagi semua itu, yang tak lain adalah manusia paling sempurna, Nabi Muhammad SAW. Atas dasar ini, sejak kecil, sebagai seorang yang diberi kenikmatan untuk tumbuh dalam keluarga yang juga muslim, selalu diajarkan untuk mengikuti teladan Nabi SAW. Salah satu ajaran nabi yang pernah dan mungkin lazim terdengar, adalah hadis beliau tentang anjuran membunuh cicak. Bermodalkan iming-iming mendapat kebaikan, lantas menjadi sebuah kebanggaan tersendiri saat berhasil menangkap dan membunuh cicak. Perihal bagaimana bunyi dan detail hadisnya, tidak diketahui dengan jelas saat itu. Yang jelas ‘katanya’ begitu. Masalah kemudian timbul saat mendengar sebuah cerita tentang bagaimana Rasul begitu menyayangi binatang. Bahkan beliau memelihara seekor kucing yang diberi nama Muezza. Kedua hal ini, tentu sebuah paradoks yang bertentangan. Jika nabi menyayangi binatang, lalu kenapa memerintahkan seekor cicak, yang hanya tahu cara merayap di dinding untuk dibunuh? Bukankah ini diskriminasi kejam untuk hewan kecil yang nampak tak berbahaya seperti mereka, apa sebabnya? Hadis tentang anjuran membunuh cicak, memang benar adanya dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, berbunyi: مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ Baca juga: Hadis Teroris, di Tangan Gus Mus Menjadi Sebuah Kritik Sosial yang CantikArtinya, “Barang siapa yang membunuh cicak sekali pukul, maka dituliskan baginya pahala seratus kebaikan. Barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala yang kurang dari pahala pertama. Barang siapa memukulnya lagi, maka baginya pahala lebih kurang dari yang kedua,” (HR Muslim). Di sinilah kebenaran perlu dikaji. Memahami sebuah hadis, inilah mengapa memahami hadis tak cukup dengan bermodalkan teksnya saja. Perlu pemahaman mendalam yang komprehensif. Jadi, mari mulai dari segi fiqhul matan hadis (ilmu tentang matan hadis). Seperti yang dimaktubkan oleh Al-Qadrawi dalam Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah, sebagai “at-ta’akid min madluluati alfazhil hadist”, penggunakan kata ‘al-auzagh’ yang diartikan sebagai cicak, sejatinya tidaklah merujuk pada cicak-cicak yang berada di rumah kita. Redaksi hadis ini menggunakan kata waktu dahulu, berbeda dengan arti yang dipergunakan manusia di zaman sekarang. Sejalan dengan itu, Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya menjelaskan bahwa kata auzagh yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah hewan sejenis saamul abrash, yaitu cicak yang mendatangkan penyakit. An-nawawi juga menyebutnya sebagai al-hasyaratul mu’dzi (hewan yang dapat menyakiti). Untuk penjelasan yang lebih detail dijelaskan sebagai berikut, “Para ahli bahasa mengatakan cicak dan tokek belang adalah sejenis, sedangkan tokek belang merupakan jenis cicak berukuran besar. Para ahli bahasa sepakat bahwa cicak merupakan binatang yang menyakiti. Bentuk jamaknya adalah ‘auzagh’ atau ‘waghzan’. Nabi SAW memerintahkan dan menganjurkan untuk membunuhnya karena ia merupakan salah satu hewan yang bisa membuat sakit.” (Sumber: lihat Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Sahihi Muslim, Beirut, Dar Ihya’it Turats, 1392 H, juz 14, hal 236) Dari penjelasan yang diberikan an-Nawawi, dapat disimpulkan bahwa auzagh, dianjurkan untuk dibunuh sebab dapat mendatangkan penyakit. Lantas, timbul lagi pertanyaan akan hal ini, penyakit seperti apa yang dimaksud, dan seberapa berbahayanya hingga nabi sendiri perlu memberikan anjuran agar ‘biang keroknya’ dibasmi? Baca juga: Mengintip Rumah Tangga Nabi: Keistimewaan Sayyidah Aisyah di Antara Istri Yang LainUntuk menjawab pertanyaan ini, maka diperlukan ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis, atau ilmu yang mempelajari sisi historis hadis. Kepada siapa hadis ini disampaikan dan dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana waktu itu Nabi menyampaikannya. Pada era Rasulullah, terdapat penyakit menular yang berbahaya yaitu kusta. Imam al-Bukhari mencatatkan sebuah hadis yang menyatakan bagaimana penyakit ini harus dijauhi فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ Artinya: “Hindarilah orang orang yang terkena kusta (judzam), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas.” (HR. Bukhari) Perumpamaan “singa yang buas” cukup ditakuti di zaman Rasulullah. Imbasnya, para ulama fiqih klasik mengeluarkan fatwa-fatwa seperti faskhun nikah (pembatalan nikah) jika diketahui salah satu mempelai mengidap kusta. Ada pula yang menyebutkan larangan bagi pengidap kusta untuk shalat berjamaah di masjid dan shalat jum’at. Hal ini bukan tanpa alasan. Kusta atau yang saat ini juga dikenal sebagai lepra (Morbus Hansen) adalah penyakit kulit menular yang dapat membuat organ si penderita termutilasi dengan sendirinya jika telah kritis, terutama pada bagian tangan dan kaki. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium leprae ini, memiliki ciri gambaran bercak gelap kemerahan yang terasa kering, lalu timbul baal, kesemutan dan hilang rasa. Gejalanya baru muncul setelah beberapa bulan bahkan tahun kemudian. Jika penyakit telah mencapai stadium akhir, rasa kesemutan akan semakin parah dan kemudian hilang rasa. Lama-kelamaan organ yang terserang tidak akan berfungsi dan buntung sendiri secara perlahan. Baca juga: Tawakal Tidak Sekadar Pasrah, Tetapi Juga IkhtiarKaitannya dengan membunuh cicak, sebab pada masa itu cicak (auzagh) disinyalir dapat menimbulkan penyakit kusta. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Badruddin Al-Aini dalam Umdatul Qari: ويصير ذلك مادة لتولد البرص Artinya: “Cicak tersebut terdapat zat yang dapat menimbulkan penyakit kusta.” (Sumber: Lihat Badrudin Al-Aini, Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari, Beirut, Dar Ihya Turats, tanpa tahun, juz 15, halaman 250) Berlandaskan pada asbabul wurudnya, argumen yang dapat dibangun bukanlah semata-mata membunuh cicak saja. Melainkan menghindari sumber penyakit yang berbahaya. Jika pemahaman hadis hanya didasarkan pada teksnya saja dan bukan konteksnya, tentu akan salah kaprah. Bayangkan saja, jika cicak yang hidup damai di rumah-rumah, sebagai predator utama nyamuk dibasmi karena salah memahami hadis, akan seperti apa jadinya? Bukankah akan timbul masalah yang lebih besar? Islam sebagai agama yang rahmatan lil-alamin memang begitu sempurna. Sebagai manusia yang diberi akal, sudah selayaknya dapat menerapkan esensi dari hadis ini. Sebagaimana anjuran membunuh cicak yang sejatinya adalah membasmi sumber penyakit, kiranya sangat cocok dengan keadaan kita di masa pandemi covid-19 ini. Saat ini kita juga dianjurkan untuk sebaik mungkin memutus mata rantai penyebaran covid dengan patuh pada protokol kesehatan. Kerap kali, terpentalnya asbabul wurud dari pembelajaran hadis, menimbulkan masalah terhadap pemahaman. Hadis ini, hanya sebagian kecil dari ribuan hadis lainnya. Sekarang banyak dijumpai orang yang berkoar-koar mengenai berbagai macam hal. Berkata bahwa ini dilarang, dan itu dianjurkan atas dasar hadis, tanpa mengetahui ilmu memahami hadis dan asbabul wurud mengapa hadis itu muncul. Akibatnya, islam sebagai agama yang rahmatan lil-alamin, terkesan begitu ‘sempit’. Alangkah disayangkannya hal ini. Wallahu a’lam bishawab Komentar Facebook 0