Perjodohan Seperti Alina Suhita dan Gus Birru akan Tetap Ada, dan Terus Berlipat Ganda

Fotografer: Niam

Sejak dari zaman dahulu kala, dunia percintaan jika dibahas memang tak ada habisnya. Perihal cinta memang akan selalu salihun likulli zaman wa makan kapan saja. Bahkan sejak Nabi Adam masih hidup, hingga sekarang Adam Malik sudah meninggal, orang selalu membicarakan cinta. Dari remaja bahkan sampai orang tua.

Cerita cinta akan selalu enak dibaca.

Bicara cinta, sekarang ini, tentu kita wajib bicara Suhita. Novel yang sedang ngehits-ngehitsnya di Facebook.

Jika di artikel Sabak terdahulu, Virus Bernama Suhita, dan Enak Tidaknya Dijodohkan, dibicarakan tentang dingin dan bekunya Gus Birru, maka di postingan terakhir Khilma Anis yang sekarang telah sampai episode tiga belas, diceritakan bahwa Gus Birru sudah dengan mesra memegang tangan Suhita dan mengajaknya ngedate di warung kumuh pinggir jalan. Yang itu membuat suhita sangat bahagia.

Kisah perjodohan mereka yang awalnya menderita telah berubah menjadi manis. Sekalipun di akhir episode tiga belas Suhita mendapat kiriman foto dari sahabatnya, Gus Birru berfoto mesra Rengganis dikerubungi rekan-rekan Gus Birru.

Baiklah, itu memang cuma fiktif. Sekarang kita ke dunia nyata.

Bicara bagaimanakah cara mendapatkan cinta, setidaknya ada dua cara: perjodohan dan pacaran, dalam tanda kurung mencari pasangan secara independen tanpa intervensi dari pihak luar.

Penganut dan pelestari dunia perjodohan adalah lingkungan pondok pesantren. Ini kenyataan. Fenomena. Realita. Suhita adalah contohnya. Dan tentu saja kejadian seperti Suhita itu sangat banyak terjadi di dunia nyata. Karena katanya, kisah Suhita memang terinspirasi dari kisah nyata.

Dari kubu penganut azas pacaran, perjodohan dianggap cara-cara kuno dan ketinggalan zaman. Bertentangan dengan kebebasan, dan hak asasi manusia. Sehingga cara-cara perjodohan layak ditinggalkan.

Di dalam cerita Suhita, tokoh barnama Aruna adalah penganut mazhab pacaran. Kedua orang tuanya membebaskannya memilih pasangan.

Begitulah, kedua mazhab punya penganutnya masing-masing. Itu realita. 


Baca Juga 

Yang ingin saya bahas adalah apa pertimbangan perjodohan di dunia pesantren. Dan apakah perjodohan selalu menitipkan ke-tidakbahagia-an?

Cinta hampir selalu berhubungan dengan syahwat kepada lawan jenis. Bicara syahwat/nafsu, tentu ini adalah masalah seumur hidup yang tak akan pernah habis untuk dipelajari. Karena nafsu kepada lawan jenis adalah persoalan abadi. Masalah purba. Kebutuhan dasar manusia.

Syahwat itu liar, seperti perang; tidak mengenal iman dan agama. Perang hanya menghancurkan. Begitulah syahwat.

Jika syahwat sudah menguasai nafsu, maka dua pertiga imannya akan melayang. Begitu kata seorang ulama. Dan hanya sebagian kecil yang kuat menahan nafsu diri.

Baca juga:  Bidah Shalawat Hey Tayo: Seruan Kepada Armada Bus Untuk Bershalawat Agar Dapat Syafaat Dari Nabi Muhammad

Apa pentingnya menahan nafsu?

Semua sepakat, dari zaman batu hingga kini, kuat menahan diri tetap dianggap sebagai sebuah prestasi.

Orang itu kadang tidak tahu apa yang ia cari di kehidupan ini. Apa yang baik buatnya kadang ia tidak tahu. Untuk menghindari nafsu yang menguasai diri, maka seorang santri butuh komandan.

Dari pertimbangan di atas, perjodohan oleh kiai dalam memilih cinta adalah sebuah solusi.

Beberapa kiai tentu telah bisa dianggap sebagai orang yang bijak bestari, setelah melalui tahapan riyadhah, tirakat dan perjalanan panjang laku prihatin, juga kesabaran dan keistikamahan menjaga santri-santri.

Dan bagi santri, di sebagian besar pondok pesantren, mengikuti setiap perintah kiai adalah keberkahan tersendiri. Sampai ada istilah “Ridhone guru kuwi ridhone Pengeran.”

Bahkan, marahnya kiai menjadikan santri seneng karena merasa diperhatikan.

Dalam hal mencari jodoh untuk putra-putrinya, para kiai dan bu nyai jelas menggunakan cara-cara yang diajarkan guru-gurunya. Mulai dari salat istikharah, akhlak, hingga pertimbangan keilmuan, dan sebuah rencana perjuangan untuk melestarikan berjalannya pondok.

Baca Juga 

Bicara cinta tentu menggiring ke arah pernikahan. Bicara pernikahan, di Islam, tentu saja bicara sebuah ibadah. Sebuah ikatan suci. Sehingga di dalam Alquran, dijelaskan secara mendetail mulai dari proses khitbah (meminang) hingga pembagian harta warisan.

Setelah saya pikir-pikir setidaknya ada empat hal yang menjadi landasan terjadinya praktik perjodohan di dunia pesantren.

Pertama, berbakti kepada orangtua. Dalam novel Suhita, karangan Khilma Anis, jelas diceritakan bahwa Gus Birru dan Ning Suhita menikah karena dilandasi rasa berbakti kepada orang tua. Itu sudah jamak terjadi di pondok pesantren.

Kedua, niat mrihatini anak. Menurut seorang gus yang tidak mau disebutkan namanya, dia menceritakan bahwa cinta pertamanyalah yang masih selalu ada di hatinya. Sudah bertahun berlalu namun tidak juga ditemukannnya wanita seperti cinta pertamanya. “Kalau besuk aku nikah, Mas, saya hanya niati mrihatini anak. Cari istri yang tekun tirakat. Aku tak mikir lagi cinta seperti cinta pertamaku.”

Ketiga, bismillah. Iya, bismillah. Niat menikah karena Allah. Jika Allah yang kita tuju, maka semesta akan datang menghampiri kita. Cinta model begini tak butuh banyak teori.

Keempat, berbakti kepada agama. Jika gus dijodohkan dengan ning, atau santri dijodohkan dengan gus atau ning, atau sebaliknya, tentu nguri-uri pondok adalah tanggung jawab yang pasti. Jika santri putra dijodohkan santriwati tahfid, tentu merawat hafalan Alquran adalah tanggung jawab. Ada pula santri yang dijodohkan dengan orang biasa yang, di kampung si istri belum ada ustaz di sana.

Baca juga:  Teladan Santri untuk Seorang Pemimpin

Bagaimana dengan urusan cinta dan kebahgiaan dalam berumah tangga?

Witing tresno jalaran seko kulino, awal dari cinta karena terbiasa. Semboyan ini sangat terkenal dan sudah menjadi panutan bagi banyak orang. Tinggal menunggu waktu saja, maka cinta akan datang. Yang lebih penting adalah niat yang suci: Bismillah.

Bagi yang tidak tahu dunia pesantren, niat bismillah bisa saja ditertawakan. Mereka menganggapnya lucu.

Tanpa banyak teori, berikut kami perkenalkan beberapa ulama yang sukses dalam mengarungi kehidupan melalui jalan perjodohan.

1. Kiai Said Aqil Siraj

Dalam acara satu jam bersama Kiai Said, sang istri, Nur Hayati Abdul Qodir, menceritakan kapan dan bagaimana beliau berdua bertemu.

Saat ditanya bagaimana dulu Kiai Said mengungkapalkan perasaanya, sang istri menjawab, “Saya ini dijodohkan oleh ibu saya. Tidak tahu sejak kapan, mungkin ya sejak saya SD kelas empat itu.”

Dan saat Nur Hayati ditanya apakah tidak menyesal dijodohkan dengan kiai Said, beliau menjawab dengan mantab, “Nggak nyesel, dan alhamdulillah cocok.”

Kita semua tahu, sekarang ketua umum PBNU adalah Kiai Said Aqil Siraj.

2. Gus Najib

Dulu, Mbah Salimi pernah berbeda pendapat dengan Kiai Khudhori (Ngrukem, Bantul) saat menentukan penyelesaian masalah tentang masalah ibadah haji. Keduanya bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Kejadian ini terjadi di Makkah.

Baca Juga 

Akhir cerita, setelah terjadi masalah atas keputusan Kiai Khudhori, Mbah Salimi lah yang bisa menyelesaikan masalah Kiai Khidhori. Kiai Khudhori lalu meminta maaf ke Mbah Salimi. Dan Kiai Khudhori menawarkan permintaan bagaimana caranya dia menebus kesalahannya ke Mbah Salimi, karena telah menolong masalah yang dihadapi, setelah sebelumnya ia ingkar terhadap pendapatnya Mbah Salimi.

“Nanti. Ndak usah tergesa. Suatu saat aku akan tagih janjimu, sebagai tebusan atas kesalahanmu.” Jawab Mbah Salimi waktu itu.

Waktu berlalu. Sudah puluhan tahun.

Suatu hari, Mbah Salimi pergi ke rumah Kiai Khudhori, untuk menagih janji. “(Sebagai permintaan maafmu) Jodohkan anakmu dengan anakku, (Gus) Najib!?”

Kiai Khudhori kaget. Tapi akhirnya mereka besanan.

Jika di antara kalian tahu pondok pesantren Lukmaniyah, utara Terminal Umbulharjo, itu adalah pondok yang diasuh oleh Gus Najib, putra Mbah Salimi yang dijodohkan dengan putri Kiai Khudhori.

Baca juga:  Sejarah Kodifikasi Hadis pada Masa Umar bin Abdul Aziz

Baca Juga

Kisahnya perjodohannya saja romantis, apalagi rumah tangganya. Dan Gus Najib juga mendirikan dan mengasuh pondoknya. Kurang bahagia apalagi sebagai seorang santri, selain punya tempat mengaji sendiri.

3. Kiai Nawawi Abdul Aziz

Setelah lama mondok di Krapyak, Kiai Nawawi Abdul Aziz dinikahkan(dijodohkan) dengan Nyai Walidah, putri Kiai Moenawwir dari istri ke lima.

Sekalipun setelah menikah, Kiai Nawawi masih melanjutkan mondok di Kudus, pondok Kiai Arwani, untuk belajar Qiroah Sab’ah. Sementara Nyai Walidah ditinggal di ndalem, Krapyak.

Salah satu kegiatan selain mengaji, Kiai Nawawi yang pandai menulis, adalah bekerja di percetakan Menara Kudus. Jika Anda tahu kitab tafsir al-Ibriz, karangan Kiai Bisri Musthofa, maka penulisnya adalah Kiai Nawawi. Dari hasil menulisnya di percetakan Menara Kudus, uang itu ia kirimkan ke Krapyak untuk anak-istrinya.

Setelah kembali ke Kutoarjo, tanah kelahirannya, Kiai Nawawi kemudian merintis Ponpes An Nur Ngrukem, di Bantul. Siapa sangka, sekarang ribuan santri mondok di Ngrukem. Selain MI, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, sekarang sudah berdiri Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ).

Semua putra-putri beliau hafal Alquran. Beberapa punya komplek pondok, bahkan ada yang mendirikan pondok.

Masih meragukan buah dari perjodohan santri?

**

Dari ketiga cerita tersebut, bisa kita simpulkan bahwa, jalan cerita sebuah kisah kehidupan tidak hanya tentang menuruti apa kemauan diri kita. Siapa yang kita cinta dan siapa yang mencintai kita.

Hasilnya? Kita bisa lihat seberapa besar mereka menjadi orang yang bermanfaat sebagai manusia.

Hidup toh bukan hanya tentang kebahagiaan diri sendiri. Kemanfaatan bagi umat Islam lebih utama. Barang siapa memikirkan akhirat, maka dunianya akan mengikuti.

Bagi dunia pesantren, orang-orang yang berpendapat dan menganggap perjodohan adalah hal yang tabu dan bertentangan dengan hak asasi, tidak lebih hanya seperti akrobat ‘tong setan’ di pasar malam. Motor garang, pakaian super safety, helm cakil super aman, knalpot berisik memekakkan telinga, namun saat motor digeber hanya berputar-putar di situ saja. Tak pernah kemana-mana.

Sementara orang-orang yang terus-terusan berisik, perjodohan masih akan tetap ada, dan akan berlipat-ganda.


Penulis: Jintung Idjam
Baca tulisan menarik lainnya yang ditulis oleh Jintung Idjam.
Komentar Facebook
0