Hanya Orang-orang yang Tidak Sabar yang Bilang Kalau Sabar itu Ada Batasnya

Iqbal, salah seorang santri An Nur Bantul yang mempunyai kelainan retina, sedang mendaras hafalannya. sabak.or.id/niam

SABAK.OR.ID – Jodoh itu mencari kita. Bukan sebaliknya, Kang. Tuhan itu selalu memberikan yang terbaik. Kalau belum dikasih ya sabar aja. Tinggal menunggu waktu, Kang.

Suatu hari aku diajak Zainal, santri komplek Nurul Huda, ponpes An Nur, Ngrukem, Bantul,  mencari Alquran jumbo untuk temannya, di sebuah toko buku.


“Alquran jumbo?”

“Kalau nggak yang jumbo nggak bisa baca, Kang.”

Ia lalu bercerita tentang Iqbal, teman mondoknya, yang hanya bisa membaca Alquran dengan ukuran besar. Itupun, Iqbal hanya bisa membaca dengan jarak sepuluh centi plus memakai lampu senter.

“Segini, Kang!” Zainal menirukan gerakan Iqbal membaca Alquran jarak sepuluh centi.

“Lima juz. Hafalannya kuat sebenarnya.” Lanjut Zainal saat kutanya sudah dapat berapa juz hafalannya.

Setelah sampai sampe toko buku kami milih-milih Alquran. Setelah 15 menit memilih sambil berdiskusi, akhirnya kita sepakat dengan Alquran terbesar yang ada. Sekira 30x40cm.

Sebelum kita membawa ke kasir, aku bertanya “Kalau dengan ukuran segitu temenmu tetep nggak bisa baca, gimana?”

“Iya, juga, ya!?” Jawabnya setelah bengong sebentar.

Bukan masalah yang akhirnya kita nggak jadi beli. Tapi perhatiannya ke temannya yang membuatku selalu salut, sekaligus bertanya-tanya dalam hati. Daripada memikirkan teman, bukankah lebih baik memikirkan belajar untuk diri sendiri? Toh di pondok tugasnya memang belajar.

“Kalau kita membantu teman, maka Allah yang akan membantu kita, Kang.” Tiba-tiba ia berkata demikian. Padahal aku hanya bertanya dalam hati.

“Tugasmu di pondok belajar, Zain. Bukan membantu teman. Kamu kehabisan waktu belajar kalau terlalu perhatian ke teman.” Dia tertawa lebar. Tawa yang seakan mengejek kata-kataku.

“Ya, kan, kita di pondok dapat ilmu tentang pertemanan juga, Kang. Menolong teman ndak akan membuat kita bodoh. Malah sebaliknya.” Jawan Zainal mantab. “Gusti Allah yang akan menolong kita. Yang penting yakin ikut perintahNya, maka pertolongan Allah akan datang dengan sendirinya.” Lanjutnya.

“Semua sudah ada yang ngatur, Kang.” Zainal membuyarkan lamunanku. “Kita hanya tinggal menjalani.” Tutup Zainal setelah kita sampai komplek pondoknya.
*
Semalam, tak sengaja kubuka-buka kitab Mawa’idhul ‘Usfuriyah, karya Muhammad bin Abu Bakar, kutemukan sebuah cerita sebuah hadits riwayat Abu Hurairah:

Dahulu kala, ada seorang laki-laki yang tidak pernah beribadah sama sekali. Dia hanya percaya bahwa Tuhan itu ada. Hanya iman yang dia punya.

Saat kematian hampir menjemput, ia berpesan kepada keluarganya, “Jika aku meninggal, bakarlah tubuhku hingga menjadi abu. Lalu buanglah abuku ke laut saat angin bertiup kencang.”
Seperti pesan laki-laki itu, keluarganya menuruti pesannya.

“Kenapa kamu melakukan itu?” Tanya Allah setengah geli, di alam setelah kematian, kepada laki-laki itu.

“Ampuni saya ya Allah…” jawab laki-laki itu dengan bibir gemetar karena ketakutan. “Hamba takut sekali akan siksamu. Karena hamba tak pernah berbuat baik dan beribadah. Jika jasadku dibakar dan abuku dibuang ke laut, aku berharap Allah tidak bisa menyiksaku.”

Mengetahui hambanya melakukan hal itu karena takut akan siksaNya, sekalipun tak pernah beribadah, maka Allah mengampui dosa-dosanya.

Masih di kitab yang sama, Zaid bin Aslam pernah bercerita kepada Ibnu Mas’ud:
Dahulu pernah ada seorang laki-laki yang sangat tekun beribadah. Ia juga sangat kuat menahan nafsunya untuk tidak berbuat maksiat. Akan tetapi, ia selalu meremehkan saudaranya bahwa mereka tak akan mendapatkan ampunan dan kasih sayang Allah karena tidak pernah beribadah.

Lalu saat kematian telah menjemputnya, dan ia sedang di hadapan Tuhan, ia bertanya, “Ya Allah, apa bagian saya?”

“Neraka!” Jawab Tuhan dengan tegas.

Maka menggigillah laki-laki itu karena ketakutan. Ia hampir tak percaya dengan jawaban Tuhan. Lalu ia bertanya dengan nada tidak terima atas keputusan Tuhan, “Ya Tuhan, bagaimana dengan ibadahku kepadaMu, dan aku selalu menjauhi laranganMu?”

“Kamu telah menyepelekan saudaramu bahwa mereka tak akan mendapat kasih sayangku. Hanya karena mereka tidak beribadah seperti ibadahmu. Itu artinya kamu meragukanKu dan berburuk sangka padaKu. Maka hari ini (hari pembalasan), justru aku yang tidak akan memberi ampunan dan kasih sayangku.”
*
Cerita ke tiga di atas jelas menitipkan pesan bahwa tak ada seorangpun yang sanggup mencegah kepada siapa Allah akan merahmati hambanya. Semua manusia hanyalah makhluk. Hanya ciptaan. Tidak ada manusia yang lebih unggul di hadapan Allah. Tidak ada manusia yang bisa mengatur Allah.

Cerita ke dua tentu saja memberikan pesan bawa kasih sayang Tuhan itu jauh lebih besar dari dosa-dosa manusia. Keyakinan akan datangnya kasih sayang Tuhan pasti akan turun, harus ada di dalam hati. Berputus asa atas rahmat Tuhan hanya akan membuat dada kita sempit. Hingga membuat manusia merasa cemas dan mudah berputus asa saat usaha tidak sempurna. Sementara Tuhan terkadang memberi sesuatu tanpa harus melalui sebab.

Dari dua cerita itu, tentu saja cerita Zainal (cerita pertama) adalah praktek dari rasa tidak pernah putus asa di setiap menjalankan perintah Tuhan.

Dari beberapa jawaban Zainal tadi, muncul sebuah pertanyaan yang seakan sekaligus menjadi jawaban: Keyakinan. Iya, keyakinan. Apakah keyakinan yang membuat dada para santri itu selalu damai menghadapi masa depan? Hingga bisa konsentrasi belajar? Hingga ilmunya mudah masuk?

Kukira itu jawabannya. Lalu, apa gunanya usaha kalau keyakinan sudah ada, tanyaku dalam hati.
Karena hidup tidak hanya tentang hal yang berbentuk benda dan wujud usaha, maka keyakinan dan berserah diri secara total adalah sesuatu yang wajib kita punyai.

Jika harus menyimpulkan sesuatu dari cerita ke tiga dari Zainal, maka kesimpulannya adalah, tidak setiap usaha harus memikirkan hasilnya. Percaya dan yakin kepada janji Tuhan sudah sangat mencukupi bagi seorang santri u tuk beramal. Tanpa pernah bertanya lagi apa yang akan diberikan Tuhan.
*
Oiya, ada satu pembicaraan yang saat itu bikin hatiku gemetar, sebelum Zainal meninggalkanku. Sambil masih duduk di atas motor, aku sempat memberinya nasehat yang malah menjadi sebuah bumerang.

“Termasuk jodoh? Kamu ndak memikirkan itu? Hanya ngaji saja di pikiranmu?”

“Jodoh itu mencari kita. Bukan sebaliknya, Kang.” Jawabnya tenang. Sambil melirikku. Masih sambil sedikit senyuman. “Tuhan itu selalu memberikan yang terbaik. Kalau belum dikasih ya sabar aja. Tinggal menunggu waktu, Kang.”

“Sabar itu ada batasnya, Zain. Aku kurang sabar apa, coba. Aku sudah sabar, jodoh belum turun juga.”

“Sabar itu ndak ada batasnya, Kang. Hanya orang-orang yang tidak sabar yang bilang bahwa sabar itu ada batasnya.”

Plaakkk!!! Sebuah hantaman telak ke ulu hati. Aku lalu meninggalkannya tanpa uluk salam. Dongkol.



Penulis: Jintung Idjam

Komentar Facebook
0
Baca juga:  Agama yang Dikapitalisasi: Gejala Lumrah atau Lu Marah