Hadis Teroris, di Tangan Gus Mus Menjadi Sebuah Kritik Sosial yang Cantik Jintung Idjam Esai 1 Januari 2019 0 6 min read Foto: @s.kakung Penulis: Jintung Idjam Sebenarnya tidak ada hadis teroris. Yang saya maksud sebenarnya adalah hadis yang sering ditafsirkan dengan semena-mena untuk melakukan tindakan terorisme. Oleh siapa? Oleh mereka para teroris. Ini yang saya maksud dengan hadis teroris. بدأ الإسلام غريباً وسيعود غريباً كما بدأ فطوبى للغرباء “Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” * Mereka memang merasa bahwa kelompoknyalah yang paling benar, karena tujuannya adalah memurnikan ajaran Islam. Mereka, para teroris itu, menyimpulkan bahwa kelompok mereka memang terasing dan beda, karena merasa tujuannya adalah memurnikan Islam. Karena mereka menganggap saat ini banyak kelompok Islam yang sudah tidak murni lagi. Sudah tercemar. Tidak otentik lagi seperti saat Nabi masih hidup. Intinya, mereka ingin menerapkan hukum Islam secara kaffah, secara sempurna. Tentu saja sesuai tafsir kelompok mereka, dengan menafikan tafsir kelompok lain. Bahkan menganggap tafsir tidak sama dengan tafsir mereka adalah salah. Nah, tepat di sinilah hadis di atas ditafsirkan dengan semena-mena. Setelah mengidentifikasi diri sebagai yang paling benar, dan merasa sebagai sekumpulan orang yang berusaha mengangkat Islam kembali, lalu mengidentifikasi diri bahwa merekalah yang dimaksud oleh hadis tersebut; bahwa mereka memang adalah makhluk-makhluk pilihan Tuhan. Yang jumlahnya sedikit dan terasing. Itulah yang semakin memotivasi pergerakan mereka. Membakar semangat mereka. Anda bayangkan, seseorang baru mengenal Islam, sedang semangat-semangatnya, diberi sebuah hadis propaganda yang demikian eksklusifnya. Khusus. Istimewa. Dan Anda bisa bayangkan, orang itu akan merasa disanjung oleh agama. Semakin dijauhi, maka mereka semakin merasa terasing. Semakin terasing, maka mereka semakin merasa menjadi kelompok yang diindetifikasi Tuhan sebagai makhluk pilihan. Merasa bahwa merekalah makhluk pilihan Tuhan, maka merekalah yang harus membela Tuhan. Dan merasa bahwa memang merekalah pemeluk Islam yang istimewa. Pemeluk Islam yang sejati. Seperti orang onani; dibayangkan sendiri, dipikir sendiri, lalu dirasakan sendiri. Begitulah kira-kira analoginya. Kesimpulan akhirnya adalah, Islam telah dizalimi. Diasingkan. Lalu muncul semangat membela Islam. Lalu disimpulkan sendiri bahwa merekalah yang berhak menjadi pembela Tuhan. Mereka yang harus berjuang. Dan selain kelompoknya adalah musuh Tuhan. Membela Tuhan dari siapa? Dari orang-orang yang telah merusak Islam. Antara lain; Manusia yang dianggap kafir. Yang mereka anggap memusuhi Islam. Bahkan, orang-orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka, apalagi menjalin hubungan yang mesra dengan kelompok yang mereka anggap memusuhi Islam, dianggap sebagai musuh. Boleh dibunuh. Mereka sebenarnya sadar, bahwa tindakan mereka ditentang oleh sebagian besar penganut Islam. Namun, karena mereka sudah merasa yakin bahwa merekalah yang dimaksud oleh hadis tersebut, maka itu semakin menjadikan mereka merasa istimewa di hadapan Tuhan. Karena asing itu tadi. Karena mereka sadar tidak disukai, mereka melakukan perekrutan anggota dengan jalan rahasia. Dalam istilah populernya, mereka ini melakukan perekrutan anggota dengan sistem sel; sesama anggota tidak saling mengetahui, kecuali atasan mereka. Lalu apa gerakan mereka? Selanjutnya mereka mendoktrin kelompoknya dengan ayat-ayat dan hadis jihad. Untuk menakut-nakuti, mengancam dan memberi pesan bahwa mereka ada, langkah selanjutnya adalah ngebom. Demi bukti diri bahwa mereka menjadi makhluk pilihan. Demi penegak syariat Islam yang kaffah. Dan kerena merasa merekalah makhluk pilihan Tuhan, maka surgalah hak mereka. Sebenarnya ada banyak hadis yang mereka anut, dengan tafsir yang semena-mena tentunya. Namun tak perlulah saya mengutipnya, supaya tulisan ini tidak terlalu panjang. Jika Anda tahu bom di Bali, Jakarta dan Surabaya beberapa waktu lalu, itulah ulah dari mereka yang menafsirkan ayat dan hadis dengan semaunya sendiri. ** Mari bedakan dengan penafsiran Gus Mus tentang hadis di atas. Dalam pengajiannya di IAIN Surakarta, yang diposting di YouTube, setelah menyebutkan hadis tersebut, Gus Mus menerangkan bahwa Islam dulunya memang terasing. Hanya Nabi sendirian, lalu diikuti Siti Khadijah dan Sayidina Ali. Setelah itu, Gus Mus menerangkan ramalan Nabi yang menyatakan bahwa Islam akan kembali terasing. Gus Mus lalu bertanya kepada audiens, apakah sekarang ini Islam sudah asing? Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Gus Mus, kira-kira begini, “Kalau dilihat-lihat dari ramainya pengajian, sekarang ini Islam belum asing. Majelis zikir semakin banyak, pengajian makin banyak, grup selawatan di mana-mana ada. Kalau dilihat dari ini, Islam belum sesuai ramalan Nabi. Belum ghorib. Belum asing.” “Melihat dari antrean ibadah haji yang sekarang sudah sampai tahun 1928, nampak sekali Islam belum terasing.” Lanjut Gus Mus. “Bahkan, ‘Allahu Akbar’ sekarang ini tidak hanya dilakukan di masjid. Di jalan-jalan juga berkumandang takbir. Digunakan untuk demo …” lanjut Gus Mus, diiringi tawa renyah peserta pengajian. Melihat dari yang telah Gus Mus sebutkan, hal-hal formalitas, belum layak dikatakan bahwa Islam sudah asing dan terasing. Kemudian Gus Mus menganalisa dari segi nilai-nilai keislaman. Sekarang ini, banyak orang yang jujur merasa kesepian dan sendirian. Pejabat yang tidak korupsi di antara teman-temannya yang korupsi, merasa sangat terasing. Orang yang tidak korupsi merasa sendirian. Dari sekian banyak orang, orang yang jujur benar-benar sendirian. Terasing. Bahkan menjadi bahan gunjingan. Dikatakan orang yang aneh. Itu contoh pertama. Contoh keduanya adalah, banyaknya orang yang berdakwah demi Islam namun tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Contohnya adalah berdakwah dengan kekerasan. Berteriak-teriak dengan keras atau kasar untuk mengenalkan dan mengajak orang lain agar ikut Islam. Sementara Islam itu rahmah, penuh kasih sayang. Agama yang samhat (memberi hak), agama yang luas dan enak-kepenak. Tetapi justru, cara mengajak atau berdakwahnya tidak islami. Dengan cara yang kasar dan keras. Dari satu contoh ini saja, sekarang ini Islam bisa dinyatakan ghorib, asing. Ghorib dalam arti bahwa nilai-nilai keislaman bahkan sudah tiada di dalam orang-orang yang mengaku Islam namun dengan cara dan penafsiran yang melenceng dari nilai-nilai Islam. *** Saya hanya akan membandingkan penafsiran mereka, para teroris, dengan penafsiran Gus Mus tentang hadis teroris tersebut. Hadis, begitu pula Alquran, itu tergantung siapa yang menafsirkan. Satu hadis di atas bisa ditafsirkan dengan sangat berbeda oleh dua orang atau kelompok yang berbeda. Yang satu menafsirkan hadis bisa dengan kesimpulan harus ngebom, sementara penafsiran yang lain menjadikan sebuah hadis menjadi kritik sosial untuk memperbaiki akhlak penganut Islam. Itulah kenapa mengaji harus dengan guru yang sudah mumpuni keilmuannya. Tentu saja orang yang sudah mumpuni keilmuannya adalah mereka yang mengaji secara runtut. Bersanad. Dan pondok-pondok NU selalu bisa menjawab keresahan masyarakat akan cara menuntut ilmu yang bisa menyesatkan. Dari sejak lama, pondok NU selalu memberikan solusi mencari ilmu yang benar-benar menghasilkan santri-santri yang suka menebarkan rahmah, kasih sayang. Bukan sebaliknya. Komentar Facebook 0Baca juga: Teror Komik Siksa Neraka yang Mengerikan