Gus dan Kiai Jintung Idjam Esai 11 Januari 2022 0 1 min read Dulu, di budaya Jawa, sebutan untuk benda keramat dan dihormati adalah Kiai. Kiai Nogososro Sabuk Inten, tombak Kiai Pleret (miliknya Pemanahan Senopati), Kiai Slamet (kerbau bule di Solo), Kiai Nogo Siluman (kerisnya Diponegoro), Kiai Baru Klinthing (tombaknya Ki Ageng Mangir), dll. Lalu oleh masyarakat kata Kiai dipakai sebagai julukan untuk orang alim di dunia Islam. Kiai Wahab, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri, Kiai Ali Maksum, dll. Sebenarnya kiai bukan hanya untuk orang alim, tapi juga digunakan untuk menyebut dukun yang ampuh. Orang yang biasa dimintai pertolongan untuk mencari barang yang hilang, atau orang hilang, dlsb. Bahkan, kiai juga digunakan untuk menyebut ulama Kristen di Jawa. Contoh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Dua kiai ini terkenal sebagai penginjil ulung yang mampu mengkristenkan ribuan masyarakat Jawa. Bila Anda tahu istilah GKJ(Gereja Kristen Jawa) maka itu adalah warisan Kiai Tunggul Wulung dan muridnya; Kiai Sadrach. Semua pengikut GKJ di Jawa Timur dan Jawa Tengah pasti faham siapa Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Baca juga: Eric dan Kiai SetempatDari Kiai ke Gus. Sejak era Gus Dur, julukan Gus kelihatan lebih ‘ngantem’ dibanding Kiai. Lebih populer. Gus Mus, Gus Miek, Gus Baha’, Gus Kautsar, Gus Yusuf, Gus Maksum, Gus Kelik, dll. Padahal asal kata Gus juga dari bahasa Jawa. Gelar Gus adalah untuk para putra raja. Asalnya dari kata Bagus. Kemudian melebar, putra priyayi juga disebut Gus. Intinya adalah untuk menyebut putra dari orang yang dihormati. Kemudian kata Gus ini diadopsi oleh masyarakat untuk menyebut putra para kiai. Lebih-lebih santri, hampir semuanya menyebut putra kiainya drngan sebutan Gus. Hingga sekarang, kata Gus lebih identik untuk gelar para putra kiai, ketimbang untik menyebut putra raja atau priyayi. Lebih populer dan familier. Di lingkungan organisasi NU, kata Gus sering digunakan dalam setengah candaan; memanggil temannya dengan sebutan Gus. Sesama teman memanggil Gus. Namun ini hanya candaan. Di lingkungan bukan pondok, kata Gus juga sering dipakai, bahkan di luar NU. Gus Nur Sugik, dll. Baca juga: PJ. Zoetmulder, Panteisme, dan Pendekatan terhadap TasawufDukun juga sering memakai embel-embel Gus, biar lebih ngangkat. Saking tingginya julukan Gus, pengacara kondong Hotman Paris Hutapea juga bangga saat mendapat gelar Gus. Walaupun beliau bukan putra kiai, bahkan bukan beragama Islam. Cerpen paling terkenal Gus Mus berjudul Gus Ja’far. Memakai kata Gus juga. Memang, fenomena julukan Gud makin ke sini makin menjulang. Bahkan sudah mengkultur dengan NU. Menyatu dengan realitas masyarakat. Terakhir, kata Gus yang disematkan ke Gus Yahya Cholil Staquf menjadi sangat populer. Ketua PBNU terpilih di Muktamar ke-34 di Lampung. Satu abad lagi mungkin akan ada istilah yang bisa menandingi keagungan Kiai dan Gus, entah apa istilah yang muncul nanti. Tapi yang jelas masih akan berasal bahasa Jawa. Bahasa yang digunakan sehari-hari di Jawa, dan seantero penggunanya. Yang ternyata Bahasa Jawa digunakan oleh lebih dari 84 juta orang, menurut sebuah studi tahun 2000. Komentar Facebook 0