Cerita tentang Sandal Pesantren; dari yang Keramat sampai Kasmaran

Foto: Niam

Penulis: Jintung Idjam


Selain masalah pena atau bolpoin, perihal sandal adalah salah satu masalah di Pondok Pesantren yang tidak ada habis-habisnya menjadi bahan pergunjingan. Sangat urgent, hal sepele yang selalu dibicarakan setiap hari, adanya seperti tak berguna, namun penuh cerita duka.

Tidak ada santri yang tidak menggunakan sandal. Dan kasus sandal sangat abadi di pesantren. Sandal tak ada masa expirednya untuk dibicarakan. Entah mengapa.

Karena untuk menjaga kesucian di lingkungan pondok? Itu salah satu sebabnya, saya kira demikian.

Walau selalu diinjak-injak, sandal selalu ada di kepala setiap santri. Dari cerita keramat sampai cerita kasmaran, sandal ada untuk menyertai santri-santri.
Baik, kita ulas dengan perlahan. Berikut ulasan selengkapnya:

1. Sandal dalam Alquran
Dalam Q.S. Thaha ayat 12 disebutkan dengan ‘Inni Ana Rabbuka Fakhla’ Na’laika – Innaka Bil Waadil Muqaddasi Thuwaa’. Dari kata redaksi na’lun. Jika kita sambil melihat terjemahan Alquran, kebanyakan diartikan dengan; terompah – sandal. 

Sudah. Saya hanya mau bilang bahwa perihal sandal juga disebut dalam Alquran. Sudah gitu aja. Tidak akan menambahnya dengan membahas penafsiran dan sebagainya yang cukup rumit pemahamannya. Apalagi soal sandal. Dan itu bukan wilayah saya.

2. Menata sandal dengan rapi, serta dipasang-pasangkan.
Menurut seorang alumni Pondok Pesantren Ihya Ulumidin, Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah, ia mengisahkan, Pondok Pesantren ini adalah salah satu yang paling bersih dan tertib. Tak ada satu daunpun yang tercecer di lingkungan Pondok setiap harinya.

Bahkan, sandal para santri selalu ditata rapi dalam keadaan sudah dibalik sesuai posisi kaki akan melangkah ke depan. Bila mau keluar tinggal memakai denagn cepat dan tak perlu muter-muterbadan.

Tradisi menata sandal yang demikian, selain di Pondok Pesantren Ihya Ulumidin, masih banyak lagi. Dan rasanya selalu senang melihat ratusan sandal yang ditata rapi. Menyenangkan. Sekaligus menghibur.

3. Menata sandal Kiai adalah sebuah prestasi.
Secara adab dan tata krama, seorang santri harus datang terlebih dahulu sebelum sang guru rawuh di sebuah pengajian. Dan adab lainnya adalah mengaji di barisan paling depan. Jarak paling baik antara santri dan guru adalah sejauh busur panah. Jadi, sebelum sang guru masuk ke ruangan, biasanya meja guru sudah dikelilingi santri-santri.

Bila ada santri yang masih duduk di dekat pintu, atau masuk belakangan, tidak bisa langsung dilabeli sebagai santri yang kurang beradab. Biasanya, si santri ini ngincer sandal sang Kiai. Bukan untuk dighasab atau dicuri, hanya sekedar membalikkan sandal ke arah pintu keluar. Supaya saat Kiai selesai ngaji dan ingin keluar, sang Kiai tinggal memakai sandalnya.

Perkara membalikkan sandal Kiai bukan hal wajib, namun sebuah jalan bagaimana caranya menghormati sang guru. Tidak asal mengaji, model pengabdian seperti ini adalah bagaimana mengambil ilmu dengan hati. Mencari ridha sang Kiai.

Hanya santri khusus yang selalu berebut membalikkan sandal sang Kiai. Biasanya, santri tersebut ngajinya tekun dan pulang nyantri, konon ilmunya lebih bermanfaat.

4. Peraturan kamar atau komplek tentang sandal.
Menurut cerita Kiai Imron Jamil Tambakberas, semasa masih di Pondok, karena ia sering kehilangan sandal sebab dighasab oleh rekan se-kamar, maka ia memutuskan untuk melarang praktik per-ghasaban di wilayahnya, kamarnya.

“Lha kalau nggak punya, dan kalau ke masjid kakinya harus bersih dari najis, lalu ada sandal nganggur, masak nggak boleh dipakai?” Protes teman se-kamar.

Kiai Imron Jamil yang sudah sering mbadali (menggantikan) pengajian Pak Kiai saat di Pondok, dan sering mendapat bisyarah, dari hasil bisyarah tersebut, kemudian berinisiatif membelikan sandal untuk rekan se-kamarnya satu persatu. Dengan syarat tidak boleh lagi ada praktik per-ghasaban. Deal.

“Hayo, ghasab ya, sandalnya” Usik seorang penghuni kamar saat Kiai Imron Jamil mengghasab sandal temannya.

Padahal semua sandal di kamar itu beliau yang membelikan.
Nomor empat memang hanya sebuah cerita. Tanpa ulasan. Selesai.

5. Tulisan unik di sandal.
Untuk mengurangi praktik-praktik per-ghasaban, salah satunya adalah menandai sandal dengan sebuah tulisan. Berikut tulisan di sandal santri yang bikin kita senyum-senyum sendiri; Milik Romo Yai, Milik Kapolri, Kepunyaan Kapolda, Ojo dighosob, wis tuku ping 3, Sandal ini diawasi CCTV, Nyolong Mati, Milik Jones, dan lainnya.

Tentu saja tulisan semacam itu bisa memprovokasi calon-calon pengghasab. Sekalipun akhirnya malah menjadi semacam kelucuan-kelucuan perihal sandal. Melihat tulisan semacam itu, siapa yang tidak tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak.

Yang unik, beberapa santri mengembangkan jasa menyayat sendal. Berusaha mengubah batu sandungan menjadi batu loncatan. Yang awalnya hanya tanda supaya tidak dighasab, dimanfaatkan sebagai lahan bisnis; jasa mengukir sandal. Lukisan sayat pisau di sandal.

Dengan ukiran tersebut, sandal jepit terangkat derajatnya seperti sepatu kacanya Cinderella. Tampak mewah dan elegan. Mengagumkan.

Untuk contoh gambarnya, silahkan googlingdengan keyword ‘Sandal Santri’. Googling itu apa sih?

Nggak tahu googling? Silahkan cari di Google.

6. Menata sandal dengan semena-mena.
Di antara sejumlah kebaikan santri, ada pula santri mbeling. Suka iseng. Saat santri-santri khusuk ngaji, mereka bergerak dalam diam, senyap, mengendap-endap, sampai tak terdeteksi. Begitu pengajian selesai, dan santri-santri keluar ruangan, mereka mendapati seluruh sandal menjadi satu, menggunung, umpuk-umpukan.

Santri model begini biasanya suka ngopi-ngopi setelah melakukan tindakan ‘jahat’nya. Sambil menunggu santri-santri yang keluar ruangan sambil ribut mencari sandalnya di antara sandal yang umpuk-umpukan menggunung tersebut. Jahat, memang. Ironi.
Nah, yang terkahir ini, soal ironinya hati santri.

7. Sandal kasmaran
Selain sebagai alat menjaga kebersihan dari najis dan kotoran, sandal juga bisa bikin jantung dag dig dugnggak karuan.

Bagi seorang santriwati yang menjadi primadona di sebuah Pondok, sandalnya akan menjadi pusat perhatian seluruh santri putra. Di mana sandalnya ada, para fansnya akan mengenalinya. Bahkan ada yang menunggui, meski dengan radius memutar sekira 50 meter. 

Kalaupun tak berani menunggu, minimal dadanya berdebar lebih kencang hanya dengan melihat sandalnya si primadona pujaanya.

Begitu si santriwati keluar dari ruangan di mana sandalnya berada, para pencuri pandang siap mengagumi si primadona dari jarak jauh. Lalu menggunjing bersama teman tentang si primadona Pondok dan sandalnya, dan atau minimal menggumam mengagumi dalam hati, lalu dadanya berdesir entah mengapa.

Sandal saja bisa bikin seorang santri kasmaran. Apalagi si empunya sandal.

“Jangankan duduk berdua di pelaminan denganmu, sandalku bisa jejer sandalmu saja aku sudah bahagia.”

Meme gambar dua pasang sandal dengan tulisan seperti itu adalah real, kenyataannya ada pada adat Pondok Pesantren, khususnya. Meskipun dengan keadaan yang hanya nyaris sama. Satu model begitu.

Baca tulisan menarik lainnya yang ditulis oleh Jintung Idjam.
Komentar Facebook
1
Baca juga:  Eksistensi Pesantren di Era Milenial