Ta’dzim

Ilustrasi oleh: instagram.com/tsalisunisae

Penulis: Jintung Idjam

Injih, Bu Nyai. Saya nderek saja. Dawuh dan barokah Bu Nyai adalah anugerah untuk saya. Matur suwun Bu Nyai.” Jawab Lili sambil tetap di posisi duduknya; bersimpuh, menunduk, sambil kedua telapak tangannya menyangga berat badannya.

“Kamu bilang dulu sama mamakmu. Restunya yang lebih wajib kamu junjung tinggi. Saya hanya mengenalkan. Hasan itu anaknya temanku mondok dulu. Di Kaliwungu.”

Injih. Nderek dawuh, Bu Nyai.”

“Silakan kalau mau ke kelas. Sudah jamnya ngajar kan ini?”

“Injih Bu Nyai. Nyuwun tambah doa pangestu.”

Begitu jawaban terakhirnya selesai, Lili mengangkat kedua pundaknya. Berjalan mundur sambil terus jongkok. Begitu melewati pintu, ia berdiri, meninggalkan ruang tamu.

Di halaman ndalem, Lili masih sempat menengok ka arah mobil hitam milik Gus Hasan. Namun ia segera melengos, dan berjalan cepat menuju musala, di mana santri-santri sudah menunggunya.

Malam hari ia segera menceritakan kepada ibunya apa yang diperintahkan Bu Nyai, sore tadi.

“Kalau itu terserah kamu. Mamakmu ini tentu saja hanya bisa nderek dawuh Bu Nyai dan kemantepan kamu saja, Nduk.”

Lili diam. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, “Perasaanku tidak enak sejak sore. Ada apa, ya? Hee…”

“Kurang sehat mungkin, Kang. Coba baca-baca selawat atau apa.” balas Lili mengelak. Yang ia khawatirkan menjadi kenyataan, Burhan tahu apa yang sedang ia rasakan.

“Sudah bangun?” Chat Burhan menjelang Subuh.

Lili hanya melihat dari layar ponsel, tanpa membuka langsung pesan tersebut. Setelah istikharahnya, Lili tak tahu harus berdoa apa. Berdoa minta Gus Hasan dijauhkan, itu sama saja menolak dawuh Bu Nyai. Meminta Gus Hasan didekatkan juga tidak mungkin, karena hatinya selalu ke Burhan.

“Salat Subuhku memang menghadap kiblat, tapi hatiku selalu menghadap ke rumahmu. Enggak tahu kenapa, aku merasa khawatir.” Begitu isi pesan singkat Burhan sehabis Subuh.

Lili hanya membacanya, tanpa balasan apapun. Ia segera mengambil sepedanya, menuju musala pondok.

Setelah mengajar, teman-temannya sesama ustadz memanggilnya ke kamar pondok. Secangkir kopi disuguhkan. Sepiring jajanan dihidangkan.

“Tumben pada baik baik, ada kopi segala?” Tanya Lili ke Ranti, salah satu temannya.

Baca juga:  Jadi Ulama itu Berat, Kamu Tidak Akan Kuat, Jadi Ubaru Saja

“Ini untuk syukuran, Bu Nyai Laili. Untuk melepas masa lajang.” Jawab Endah renyah, sambil tertawa. Lalu diikuti tawa bahagia lima temannya.

“Gimana, gimana, gimana? Apakah rasanya seperti terbang ke langit? Merasa Tuhan telah datang menjemput? Atau merasa sang pangeran berkuda putih telah datang menjemputmu?” Retno memulai nggojloki.

Lili tersenyum. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa.

“Punya pondok. Santrinya banyak. Pasti bulan madunya umrah. Diakhiri jalan-jalan ke Turki. Hahaha. Surga dunia dapat. Akhirat sangat dekat.” Ranti menambahi.

Hening. Tiba-tiba hening. Lili tak menjawab. Pucat. Tak ada kata keluar dari mulutnya. Hatinya menjerit.

“Mari minum, Bu Nyai Laili. Sebagai awal perpisahan. Besok-besok, kita-kita cium tangan kalau sowan Bu Nyai Laili.” Anjar berusaha memecahkan keheningan.

Lili masih terdiam. Ia takut, jika kata yang keluar dari mulutnya menyinggung perasaan teman-temannya yang sedang berbahagia untuknya. “Mari diminum.” Lili akhirnya buka suara.

Dan pagi yang cerah itu berkebalikan suasana kamar pondok pengurus, lesu. Dan berakhir dengan tanda tanya besar teman-teman Lili.

Sepanjang jalan, di atas sepedanya, Lili masih selalu ingat jeritan hati ibunya saat ayahnya menikah lagi.

Ia membayangkan istri tua Gus Hasan selalu tersenyum manis padanya, senyum palsu. Sepalsu senyum manis ibunya kepada Lastri, ibu tirinya.

Dua hari tidak berangkat ke pondok, hari ke tiga ia menunggui ibunya salat Subuh, sambil harap-harap cemas menunggu jawaban dari istikharah ibunya.

Wajah Burhan selalu lekat di matanya tiga hari ini. Bahkan semakin lekat. Dadanya selalu bergetar hebat setiap Burhan mengirimkan sebuah pesan singkat. Ia selalu mengingatnya kala pertama bertemu Burhan, di Masjid Agung Puworejo. Saat acara selawatan Habib Syech.

Saat itu, awalnya ia marah-marah karena motornya ditabrak Burhan. Hingga hatinya mulai lunak setelah Burhan mengantarkan berobat, lalu mengantarkannya pulang. Burhan lebih baik hati dari dugaannya.

Saat bayangnya tentang Burhan semakin melambung, ibunya keluar musala. Mengetahui anak kesayangannya menunggu di teras, sang ibu segera duduk di sampingnya, mendekapnya erat. Mengelus tangannya. Lalu mencium pipinya. Mendekapnya erat sekali.

“Ibu tak punya jawaban, Lili. Tidak ada tanda apapun selama tiga hari ini. Tapi aku percaya Bu Nyai punya jawabannya.”

Baca juga:  Ziarah

Setelah mendapat jawaban yang tidak memuaskan hatinya, Lili semakin kacau. Ia ingin jawaban tidak, tapi ia tak bisa menolak perintah Bu Nyai.

Pelan sepedanya ia kayuh menuju pondok. Gamang. Ia harus menghadap Bu Nyai tanpa jawaban dari ibunya.

Selesai mengajar di pondok, Laili duduk di undakan teras Bu Nyai. Menunggu orang yang selalu ia kagumi keluar. Tentu saja ia berharap yang terbaik, sekalipun menjadi istri ke dua bukanlah yang ia harapkan.

Setelah satu jam menunggu, pintu ruang tamu terbuka. Bu Nyai segera mempersilakan Lili masuk. Suasana hening sebentar, sebelum Bu Nyai memulai dengan sebuah sapaan, “Gimana Ibumu? Hasil istikharahnya?”

Lili hanya diam. Menunduk. Matanya mulai merah, basah.

“Aku kenal ibumu sudah lama. Ia yang momong aku sejak kecil. Dan tentu saja aku tahu jawaban ibumu.”

“Saya nderek dawuh Bu Nyai saja.”

“Iya. Aku tahu kamu adalah santri beneran. Tidak salah aku memintamu mengajar di sini.”

“Doa pengestunipun, Bu Nyai.”

“Aku menolak lamaran Kiai Soleh untuk anaknya, Hasan. Sekalipun ia temenku mondok. Kamu berhak mendapatkan lebih, Lili.”

Lili tersenyum kecil dalam hati, lalu kaca di matanya pecah. Air matanya mengalir pelan di pipinya yang tirus. Namun tidak ada kata yang keluar dari bibirnya yang mungil.

“Aku ada kenalan lain. Kenalanmu, mungkin? Ia lulusan pesantren Mbulus.”

Deg. Dadanya kembali bergetar kencang. Kali ini wajah Gus Dion yang membayang. Dion, ia salah satu pengurus di Al-Iman yang selalu jadi bahan gunjingan sesama ustadzah di sana. Ia sekali gemeteran saat suatu pagi matanya dan mata Dion saling bertemu untuk beberapa detik. Dan itu cukup membuatnya tak bisa tidur beberapa hari.

Namun itu masa lalu. Hanya idola. Dion jauh setinggi langit, yang tangannya tak mungkin meraih. Dion pun hilang setelah pindah pesantren. Dan tentu saja bukan, dan tak mungkin, Dion yang Bu Nyai maksud.

Bayangan wajah Burhan kini yang mengisi hari-harinya. Tak tahu mengapa ia merasa sangat nyaman membaca pesan singkat yang dikirimkan setiap hari.

Baca juga:  Perjodohan Seperti Alina Suhita dan Gus Birru akan Tetap Ada, dan Terus Berlipat Ganda

“Atau kamu menginginkan dengan melanjutkan hubungan kenalanmu itu?”

Lili diam. Ia sudah menduga, Bu Nyai sebenarnya tahu ia sedang ada kenalan. Tapi ia tak berani mengatakan ‘iya’ di depan Bu Nyainya. Namun besar harapannya Bu Nyai tidak marah dengan pilihannya.

“Aku tidak mengenal kenalanmu itu. Tak tahu pula rumahnya. Tapi ia adalah lelaki baik. Kalau kamu mau, ia adalah lelaki yang pantas untukmu.”

“Saya nderek dawuh Bu Nyai saja.” Jawab Lili lirih, sambil mengelap airmatanya dengan ujung jilbab.

Bu Nyai kemudian menyerahkan sebuah keresek ke Lili, “Ini untukmu, aku lihat jilbab di pasar, kemarin. Aku membayangkan kamu pantes mengenakannya.”

“Minta tambah doa pengestu, Bu Nyai.”

“Pulanglah. Ibumu menunggumu.”

Lili kemudian pamit. Mencium tangan Bu Nyainya, lalu kembali ke rumah.

Sampai di rumah, ia seperti tersambar petir. Burhan sudah di teras, mengobrol seru dengan ibunya. Lili duduk di kursi panjang dekat ibunya, setelah ibunya meminta. “Nak Burhan datang menanyakanmu, Lili. Kamu gimana? Katanya pernah sekali bertemu lalu lanjut meseses?”

“SMS maksudnya buk?”

Mendengar ucapan ibunya, Lili mencuri pandang ke Burhan. Matanya berbinar di antara celaknya yang tebal. Saat matanya bertemu mata Burhan, menunduklah ia malu-malu.

“Nak Burhan jauh-jauh datang ke sini untuk menjengukmu. Bilangnya kamu sakit. Ibu suka perhatiannya padamu. Ia ‘menanyakanmu’…”

Ucapan ibunya kali ini membuat pipinya memerah, kemudian kedua tangannya menutupi muka. Tak tahan airmatanya tumpah lagi, ia berlari ke dalam, menuju kamarnya.

“Kamu kenapa Lili? Aku datang untukmu kali ini. Aku kangen suara gemericikmu, enak sekali di telingaku ini. Kalau boleh, aku ingin selalu melihat mata indahmu setiap aku terbangun di pagi hari. Mendengarkanmu melantunkan Alquran di sela malam di rumahku. Dan menyenandungkan nadzam Alfiyah untuk menidurkan anak-anakku.” Demikian isi pesan singkat Burhan yang dikirim dari ruang tamu.

“Saya ikut jawaban mamakku, Mas. Jawabannya adalah jawabanku.” Balas Lili, kemudian tersenyum manis kali ini. Manis sekali. Lalu mukanya ditutup bantal, karena malu sendiri dengan tingkahnya.

Komentar Facebook
0