Ta’dzim (Episode 2)

Ilustrasi oleh: instagram.com/tsalisunisae

Penulis: Jintung Idjam

Seminggu kemudian, sesuai perintah mamaknya, Lili pergi ke rumah bapaknya. “Temui bapakmu, minta restu jika kamu ingin serius dengan seorang lali-laki. Cerita apa adanya.” Begitu pesan ibunya.

“Kamu itu masih kecil. Pemikiranmu itu belum bisa dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan. Ikut apa kata bapakmu ini, lebih baik. Tak mungkin aku menjerumuskanmu.” Kurang lebih seperti itu biasanya jawaban bapaknya atas permintaan Lili, hingga ia berani menghakimi bahwa bapaknya memang bertangan besi.

Namun kali ini ia nekat. Tak peduli lagi apa jawaban bapaknya. Bahkan, sekalian ingin mengenalkan Burhan. Ia minta Burhan menyusul ke rumah bapaknya, setelah ia memberi kode. “Sampeyan ke rumahku dulu, Kang. Setelah suasanya memungkinkan, nanti aku hubungi sampeyan. Jam 11-an ya, Kang.” Begitu isi pesan Lili tadi malam.

Pagi itu mentari terbit sambil bersiul-siul menemani hari nan cerah Lili. Mandi cantik, kemudian dandan selama setengah jam, lalu memilih baju terbaiknya. Lili mengambil sepeda mininya, lalu mulai meninggalkan rumah.

“Saya kan sudah dewasa, Pak. Saya sudah ada calon. Boleh kan Pak, saya menikah?”

“Maafkan saya, Pak. Ibu meminta saya untuk meminta ke Bapak untuk menikah.”

“Kemarin ada laki-laki yang baik datang ke rumah, Pak. Apakah saya sudah pantas menikah?”

Sepanjang jalan Lili terus memikirkan kata apa, bagaimana intonasinya, dan jawaban apa apabila bapaknya bertanya.

Begitu masuk rumah bapaknya, Lastri, ibu tirinya, menyambut dengan senyum lebar. “Aduh, kebetulan kamu datang, Lili. Dua hari ini aku membicarakan kamu, dengan bapakmu. Ada hal serius yang mau aku sampaikan.”

“Injih, Bu. Dalem nderek dawuh.” Jawab Lili, sambil membungkuk, mencium tangan ibunya.

“Sini duduk sini.” Lastri menggandeng mesra tangan Lili menuju sofa di ruang tamu, “Mamakmu sehat?” Lanjut Lastri.

“Pengestunipun, Bu. Sehat. Alhamdulillah.”

“Kamu belum punya calon, kan? Kemarin kapan, sekitar seminggu lalu, Ibu ketemu Kiai Ihsan, Pituruh. Ibu ditanya sama beliau, adakah jodoh yang pantas untuk anaknya.”

Lili diam. Suasana menjadi hening. Sunyi.

“Bapakmu juga setuju. Anaknya baik. Hafalan Qurannya didapat saat mondok di Daruttauhid.”

Deg. Ambyar. Ia tak ingat lagi tujuannya datang ke rumah bapaknya. Mendengar nama Pituruh disebutkan, Dionlah yang ada dalam bayangnya. Lelaki yang selalu membayangi angannya. Imajinasinya tentang sosok sempurna seorang lelaki ada di Dion. Seorang gus dambaan seluruh santriwati sedunia.

Baca juga:  Karomah Kiai yang Berujung Perbaikan Gizi bagi Santri

Tapi, tentu saja bukan Dion yang dimaksud ibunya. Membayangkannya pun ia merasa tak pantas. Bagai pungguk merindukan bulan.

Belum sampai Lili menjawab, bapaknya keluar dari ruang tengah. Lili menyambutnya dengan berdiri, mencium tangan bapaknya.

“Ibumu sudah bilang?” Tanya bapaknya ke Lili.

Lili hanya diam, sambil terus menunduk.

“Kamu sudah besar, Lili. Sudah saatnya mengenal laki-laki. Berumah tangga.”

Belum lagi Lili menjawab, Umah dan Rifa yang tahu kakaknya datang, menghambur ke pelukan Lili. “Kapan Mbak Lili datang? Kok nggak bilang-bilang?” Rifa merajuk sambil klendotan memeluk kakaknya.

“Kakak bawa apa untuk kita? Mainan? Katanya mau membelikan boneka Barbie?” Serang Umah, sambil meminta gendong di punggung Lili.

“Sana, kalau main sama Umah-Rifa. Temani mereka menggambar atau main masak-masakan.” Lastri.

Entah mengapa, Lili hanyut menemani dua adik kembarnya bermain sampai siang. Ia begitu menyayangi kedua adik tirinya yang lucu, sekalipun tidak menyukai ibu tirinya. Satu-satunya hal yang membahagiakan di rumah bapaknya hanya mereka berdua. Selebihnya adalah tangan besi bapaknya, dan senyuman semu ibu tirinya.

Menginjak siang, sebelum matahari memayungi bumi, sebuah pesan dari Burhan masuk, “Kapan aku menyusul? Aku sudah di rumahmu ini.”

“Ndak jadi, Kang. Suasananya nggak memungkinkan.”

“Lalu?”

“Saya akan balik sebentar lagi.”

Sebelum pulang, Lastri sempat berpesan kalau baiknya nomor Lili diberikan ke anak Kiai Ihsan. “Biar dia yang menghubungimu duluan. Kalian kenalan dulu aja.”

Roda sepedanya segera berputar cepat setelah Lili berpamitan. Sampai di depan rumah, setelah meletakkan sepeda, ia meraih ponsel. Sebuah pesan masuk, “Lili?” Pesan tanpa nama, dengan foto profil lelaki balik badan yang naik motor tua dengan pemandangan di belakangnya.

Ia acuhkan pesan yang tidak jelas itu.

“Sebentar, Kang.” Ucap Lili ke Burhan yang duduk di ruang tamu.

Sepuluh menit kemudian, Lili keluar dari pintu tengah sambil membawa baki berisi teh dan sepiring jajan. Burhan mencuri pandang sebentar, memperhatikan lagi celak hitam yang melingkari mata sipitnya.

Saat Lili juga mencuri pandang, dan kedua pasang mata itu jatuh pada satu titik, keduanya dengan cepat saling menunduk. Namun samar-samar, mata Burhan masih memperhatikan kain batik dan baju yang dikenakan Lili, pantas sekali. Jilbab birunya membuat Lili makin kelihatan cantik.

Baca juga:  Madhi, Sebuah lakon

“Diminum, Kang.” sapa Lili basa-basi. Kemudian duduk di dekat mamaknya.

“Ibu mau jaga warung. Kalian silahkan kalau mau berbincang.” Mamaknya Lili seakan memberi ruang lebar untuk mereka berdua.

Lili memandang mamaknya heran. Tak biasanya mempersilakan seorang lelaki berbincang dengannya di rumah, kecuali mamaknya menemani.

Lili pun menjadi mati gaya dengan keadaan itu, berduaan dengan seorang lelaki dalam satu ruang.

“Aku kemarin baca cerita bagus banget, Kang.”

“Tentang apa?”

“Kisah dua orang yang saling mencintai gitu.”

“Bagusnya bagian mana?”

“Saat si laki-lakinya rindu untuk bertemu, dia membuat jembatan angin. Lalu menaiki jembatan itu kala malam tiba. Terbang di antara kabut malam pegunungan, lalu mendarat di samping gubuk si gadis.

“Setelah sekian hari berlalu setiap malam ia datang, si gadis menjadi tahu kalau setiap malam ada yang menemaninya di samping gubuknya.”

“Kenapa tidak menemani si gadis? Misalnya, mengetuk jendela?”

“Si lelakinya ini dilarang bertemu oleh orangtua si gadis, karena gadis itu akan dijodohkan dengan lelaki pilihan ibunya.”

“Lelakinya punya ilmu gitu, ya?”

“Maksudnya?”

“Kan dia bisa membuat jembatan angin?”

“Bukan. Enggak begitu.”

“Lalu?”

“Jembatan itu dibuat dari rasa rindu yang mendalam, rindu yang tidak bertepuk sebelah tangan.”

“Akhir ceritanya gimana?”

“Mereka berpisah dengan membawa kisah masing-masing. Tapi cinta mereka selalu ada. Tak pernah mati.”

Burhan seperti mendapat tamparan atas cerita Lili. Mungkinkah ini sebuah pertanda, ucapnya dalam hati. Ini alasan Lili tak jadi mengenalkanku ke bapaknya, ucapnya lagi.

Wajah Lili menunduk setelah melirik ke Burhan. Ia membenahi duduknya. Meletakkan kedua tangannya di atas paha. Dengan jari tangan kanannya, ia selipkan di telinganya, lalu berkata, “Bagus nggak ceritaku?”

Burhan berpindah duduk di samping Lili. Ia raih tangan kanannya yang diletakkan di paha dengan tangan kiri. Memasukkan jarinya di antara sela jari Lili. Menggenggam erat. Lili mentap wajah Burhan. Lalu Burhan menggenggam tangannya lebih erat.

Sekali, dan baru pertama kali, tangan Lili digenggam erat seorang laki-laki. Dalam hatinya ia berkata ini tidak boleh. Namun sudut hatinya yang merasa sangat bahagia.

“Sampean ada masalah?”

“Enggak. Emang aku tampak sedang bermasalah, Kang?”

“Dari ceritamu?”

“Enggak kok. Cuma ingin bercerita saja. Sampeyan ganti yang bercerita sekarang.”

Baca juga:  Teladan Santri untuk Seorang Pemimpin

“Kamu ingin aku bercerita apa?”

“Terserah.”

Hening sebentar.

“Tadi kenapa nggak jadi mengenalkanku ke bapakmu?”

“Belum memungkinkan, Kang.”

“Belum memungkinkan?”

Lili mati gaya mendengar pertanyaan Burhan. Ia bingung mau menjawab apa. Ia melirik ke Burhan.

Burhan menggeser duduknya sesaat setelah ponsel Lili bergetar, lalu Lili mengambil ponselnya.

“Dion ini. Teman pondok. Bapak menyuruhku kenalan dengamu. Nggak tahu apa maksudnya. Tapi kalau kamu nggak mau ya udah.” Lili tersenyum. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, sekalipun chat Dion terasa datar dan ketus.

“Aku pamit ya?” Suara Burhan memecah konsentrasi Lili yang sedang menatap ponselnya sambil senyum-senyum.

“Kenapa, Kang? Ada yang salah denganku?”

“Kamu mendua, Lili? Kamu tidak seirus denganku?” Hampir saja kata-kata itu meluncur dari mulut Burhan, tapi ia menahannya. Ia sadar, itu akan menyakitinya hati kekasihnya.

“Sudah siang. Aku ada janji dengan teman ini.” Jawab Burhan basa-basi.

Lili bengong menatap Burhan, hanya setengah mendengar ucapan Burhan, karena kata-kata dari Burhan berbarengan dengan pesan yang masuk dari Dion.

“Dulu, aku pernah bertatapan denganmu. Hanya itu yang kuingat.” Tutur Dion dalam pesan singkatnya.

“Iya, Kang. Silahkan. Nanti dilanjut lewat pesan singkat ya. Ini ada temanku di Mbulus, soalnya. Teman sekamar.” jawab Lili ke Burhan. Berbohong.

Burhan keluar ruang tamu. Ia heran dengan perubahan sikap Lili. Sementara Lili hanya bengong melihat Burhan keluar ruangan dengan muka yang agak tak biasa.

“Andai Syamsu Altabrizi tidak bilang ‘Selama kita tidak belajar mencintai ciptaan Tuhan, kita tak akan dapat benar-benar mencintai dan tidak akan mengetahui Tuhan’, tentu aku tak berusaha memahamimu, Lili.” Ucap Burhan dalam hati, sambil meninggalkan Lili yang masih bengong.

Setelah Burhan hilang dimakan tikungan depan rumah, Lili baru sadar apa yang baru saja ia lakukan. Rasa bersalah yang datang selalu terlambat, kali ini terjadi setelah Burhan menghilang. Ia membatin dalam hati untuk menenangkan Burhan, “Setiap orang berhak punya imajinasi, Kang. Masa depan kita ditentukan oleh imajinasi kita seperti apa. Imajinasiku masih tentangmu, Kang. Cuma saja imajinasiku tentang Gus Dion belum hilang sampai sekarang.” Berharap, jika Burhan masih peka, Burhan akan tahu isi hatinya.

“Injih, Gus. Saya juga masih ingat itu. Saat kita bertemu pandang, saat khataman.” Balasnya ke Dion.

Komentar Facebook
0