Patah Jadi Dua

FOTO: fajrifm.com
Penulis: Jintung Idjam


“Aku sebenarnya juga nggak mau melukaimu, Mas. Tapi keluarga besar Bapak yang memaksaku harus menerima ini. Demi orang tuaku, Mas. Sampean juga tahu kan, aku sayang Mas. Biarlah cinta kita abadi dalam sanubari. Aku akan selalu ingat aku pernah menyayangimu, Mas. Aku akan ingat itu selamanya.”

Aku menatapnya antara sayang dan geram. Kuraih gelas berisi teh hangat di hadapanku. Lalu menyeruputnya sekali. Kuhisap rokokku dalam-dalam, kemudian menghembuskannya sekuat napas. Asap memenuhi ruang tamu yang seakan semakin sempit. Ia tundukkan wajahnya. Tak berani lagi menatapku.

“Iya, aku paham, Dik. Aku sangat mengerti. Keluarga besarmu tak suka denganku, kan? Karena nasabku!?”


“Mas kok bilang gitu? Ini jalan kita, Mas. Jalanmu dan jalanku harus begini.”

Aku menarik napas panjang sekali lagi. Panjang sekali. Kutatap lagi wajahnya. Hari ini ia manis sekali dengan jilbab merahnya.

“Kamu tak ingat saat kita pertama kali bertemu, di Tegalrejo? Bukankah kamu yang melempar senyum duluan?”

“Itu masa lalu, Mas. Itu kesalahanku… tapi sampean juga membalasnya, kan?”

“Kamu bilang aku laki-laki yang pertama kali bisa membuatmu jatuh cinta. Dan kamu berjanji akan mempertahankannya….”

“Aku masih memegang janjiku, Mas. Cinta itu masih ada. Dan tak akan pernah sirna!”

“Tapi mengapa!?” Aku bertanya setengah membentak.

Ia tak menjawab. Mungkin takut dengan nada suaraku yang menaik.

Saat ia mengangkat wajahnya, mata kami saling bertatap. Ia lagi-lagi menunduk. Matanya yang sayup mulai berkaca-kaca.

“Takdir Tuhan tidak ada yang tahu, Mas. Semua pasti ada hikmahnya.” Katanya lirih. Masih sambil menunduk.

“Aku butuh kamu, bukan hikmah.”

“Kesabaran akan berbuah manis, Mas.”

“Aku sudah sabar menunggumu lulus mondok. Itu waktu yang cukup lama.”

“Kata sampean, kesabaran tidak hanya tentang waktu, tapi juga tentang keadaan…”

“Dan dengan menerima dia, dengan kesabaranmu, lalu kamu akan bahagia dengannya?”

“Mas akan menemukan yang terbaik.”

“Jadi dia yang terbaik buatmu?”

“Buatku dan buatmu, Mas. Buat kita. Kesabaran menerima keadaan yang akan menjadikan kita semakin kuat.”

“Semudah itu kamu kehilangan cintamu padaku yang katanya kau puja?.”

“Kesabaran adalah kendaraan yang tak akan pernah lelah, Mas. Ketika sampean lelah, itu artinya sampean sedang tidak bersabar. Itu kan yang dulu sampean katakan?”

“Dan dengan ilmu tentang kesabaran itu, dia yang akan mendapatkanmu? Bukan aku? Aku yang mengajarimu, Dik. Kenapa dia yang memetik!”

“Tuhan yang akan membalas kesabaranmu, Mas!”

Aku semakin kalap. Tapi tak ada kata-katanya yang luput. Aku seperti kehilangan kecerdasan. Mendadak goblok.

Hening. Kami saling bisu. Hanya dengusan napasku menarik dan membuang asap rokok yang terdengar.

Setelah beberapa saat, dia yang tadinya tegar terlihat seperti menyesali kata-kata yang barusan terucap.

“Aku tidak pandai, Mas. Sampean tahu, kata-kata itu darimu. Akupun sebenarnya nggak tega mengucapkan itu. Mas tahu aku lebih mengutamakan cinta daripada logika.”

Bedebah, aku mengguman dalam hati. Kata-katanya menyakitkan, tapi wajahnya tetap teduh dan penuh kasih. Mau marah tak tega, mau diam saja tapi hatiku terluka.

“Maafkan aku, Mas.” Suaranya mulai parau. Menahan isaknya.

“Sudah, jangan menangis. Nanti cantiknya hilang…”

Ia lalu diam. Lalu tersenyum kecil. Lesung pipitnya menyembul di samping bibirnya yang mungil. Manis sekali. Lalu tisu di tangannya mengelap kaca-kaca di matanya yang kini pecah membasahi pipi.

“Sampean akan bahagia suatu saat nanti.”

“Bahagia? Kamu adalah kebagiaanku.”

“Kebahagiaan itu tidak ada definisi dan puncaknya, Mas.”

“Lalu kamu akan bilang kesedihan juga hanya tentang bagaimana memandang sesuatu, seperti kataku dulu? Sementara sengsaraku pun bahagia, bila bersamamu.”

“Kebagiaanku akan pula berupa kesedihan. Kebahagiaan pura-pura. Menerima seseorang yang tidak kucintai menjadi teman hidup jauh lebih menyakitkan, Mas!”

Aku tercekat mendengar kata-kata terakhirnya. Membayangkan dia hidup bersama orang yang tidak dicintainya.

Tapi, kalaupun aku terharu dengan kisahnya, itu juga berarti aku merelakannya bahagia. Sementara aku akan merana melihatnya bahagia. Bukankah awal dari cinta karena terbiasa? Aku dan dia pun demikian? Cinta terpupuk karena kebiasaan saling senyum lalu berlanjut SMS-an?

Melihat air matanya tak berhenti mengalir, semakin iba aku melihatnya. Sekalipun rasa dongkol di dada sangat menyiksa karena dia.

“Aku pulang sekarang, ya! Salam untuk Bapak sama Ibuk, dan siapa itu namanya?”

“Toni, Mas. Kalau nggak salah!”

“Kamu belum pernah ketemu?”

“Iya… belum.”

“Aku pamit dulu, ya. Mungkin ini yang terakhir kali aku menemuimu, kuharap dia sebaik prasangkaku.”

Samar kulihat ia menganggukkan dagunya yang lancip.

Aku menengok ke arah pintu, lalu berjalan mencari sandalku. Seperti melayang, sandal yang kupakai seperti tak menyentuh kulitku. Pohon yang bertebaran di halamannya seperti menertawai.

Dalam hatiku berguman, “Sama saja to, Dik. Niat sama tindakanmu nggak sesuai. Harusnya kamu melawan.”

Tapi aku bisa apa. Aku juga tidak berani menghasutnya.

Sampai di halaman rumahnya kurogoh saku, mencari kunci. Ia mengantarku sampai depan pintu. Aku masih sempatkan sekali lagi menatapnya, ia lalu tersenyum lagi. Manis sekali.

“Hati-hati, Mas….”

Aku tak menjawab, berlagak cuek. Sekalipun kata-kata ‘hati-hati’nya itu yang selalu aku nantikan saat kita akan berpisah. Dan biasanya aku akan menatapnya lekat-lekat untuk beberapa saat. Lalu ia akan tersipu malu. Kemudian berlari masuk ke rumah.

Saat motor aku starter tiba-tiba ibunya muncul dari balik gerbang. Beliau menatapku sendu. Aku turun dari motor lalu mencium tangan beliau.

“Aku mau pamit dulu, Buk.”

“Maafkan kami, Dik. Ibu nggak bisa apa-apa. Keluarga besar kami yang memilihkannya.”

“Saya pamit, Buk.”

“Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut.”

Aku tak menjawab pesan ‘hati-hati’nya.

Setelah aku keluar halaman rumah, dapat satu tikungan, aku pacu motorku secepat gas mentok. Membabi-buta di jalanan.

Sepanjang jalan aku masih terus menggumam. Enggak habis pikir. Katanya memilihku, tapi apa yang dilakukannya untukku.

Kenapa dunia begitu cepat berubah. Sebelum berangkat membawa segunung harapan, tapi saat pulang membawa dua gunung ratapan, dengan dada penuh sayatan.

Inikah cinta?

Inilah cinta!

Menyakitkan!

Berbeda saat pertama kulihat senyum manisnya, dunia ini begitu indah karena cinta. Kini, perihal cinta nyatanya sebuah persaingan yang sangat keras dan kejam. Tanpa ada belas kasihan.

Sampai Masjid Agung Bantul aku putar balik, lalu masuk halaman. Aku kunci motor lalu merebahkan tubuh yang terasa sangat berat di serambi. Aku tidak bisa berpikir lagi, semua jalan buntu. Blank.

Tiba-tiba handphonku berdering. Sebuah SMS masuk.

“Maafkan aku, Mas. Aku akan selalu menyayangimu. Aku akan selalu ingat dan kangen panggilan ‘dik’mu untukku. Aku akan ingat itu.”

Seketika hp aku lemparkan jauh ke halaman masjid, sekuat tenaga yang masih tersisa. Lalu berteriak sekeras-kerasnya, “Buajingaaannn….”

Aku terlentang, merogoh sakuku mengambil rokok dan korek. Samar kudengar dering hp. Aku hisap rokokku dalam dalam. Hape berdering lagi, sampai tiga kali.

“Halo… ada apalagi, Dik?”

“Wangalaikumsalam. Ini Ibuk, Dik.”

“Ehh, Ibuk. Pripun, Buk?”

“Maafkan Dini dan kami sekeluarga, ya! Semoga Dik Jintung dapat pengganti yang lebih baik. Sekali lagi maafkan. Ibu sebetulnya juga lebih sreg dengan Dik Jintung. Tapi mau bagaimana lagi, keluarga besar kami yang menentukan.”

“Iya Buk, saya mengerti.”

“Sekali lagi maafkan kami sekeluarga. Sudah begitu saja, semoga salat dan ngaji tetep istikamah. Salam buat keluarga di rumah…” suaranya terhenti sejenak. Seakan ragu mau meneruskan. “Sudah gitu saja, Dik. Asalamualaikum…”

“Wa’alaikum salamm….” jawabku sopan.

Nada bicara beliau terbata-bata, seperti mau menangis. “Tapi kenapa ibu mengikuti keluarga besar. Ibu kan berhak menentukan nasib keluarga ibuk sendiri.” Aku membatin.

Sekalipun benci, tapi mengingat ibunya dan Dini, aku masih merasakan kehangatan. Ada cinta di hati mereka berdua kepadaku. Tapi tidak dengan bapaknya.

Dan di antara benci dan rindu ternyata rasanya sangat menyakitkan.

Aku mendongok, menatap tajam atap serambi masjid. Beberapa burung gereja saling berkejaran bahagia. Mungkin mereka sedang membuat sarang, untuk masa depan telur mereka. Iya, masa depan. Masa depan yang suram dan menyakitkan. Keparat.

Membayangkan pernikahannya pun aku tak kuasa, apalagi membayangkan malam pertamanya: saat si Toni bangsat itu mencumbunya. Bedebah.

Dan ternyata persaingan cinta seperti di rimba raya, tak mengenal aturan dan belas kasihan. Atas nama kebijaksanaan demi menghormati keluarga besar, cinta harus undur diri dengan terpaksa. Cinta seperti bangkai yang menjijikan, harus dibuang jauh sambil menutup hidung.

Saat kuhisap rokok, tak terasa tanganku basah karena air mata mengalir di pipi. Rupanya aku menangis.

Umpatanku beehenti saat nada-SMS-masuk berbunyi. “Mas… sampean baik-baik saja, kan?”

“Aku juga akan selalu merindukan panggilan ‘Mas’mu, Dik. Panggilan ‘Mas’mu yang selalu terdengar merdu dan syahdu di telinga.” Klik. Kirim.

Setelah laporan terkirim, sekuat tenaga aku lemparkan hape ke tiang serambi masjid. Pyiiaarrr…

***

Kisah di atas terinspirasi dari sebuah kisah nyata. Satu kisah tragis korban ke-Suhita-an.

Korban-korban ke-Suhita-an(perjodohan) akan terus berjatuhan. Sekalipun cinta terus memberikan cahayanya, orang tua tak pernah kehilangan kebijaksanaannya.

Bila disandingkan dengan perjodohan, tentu cinta bukanlah lawan tanding yang sepadan. Sekali terucap, bisa jadi puluhan cinta terkapar bersimbah darah, tak berdaya.

Baca tulisan menarik lainnya yang ditulis oleh Jintung Idjam.
Komentar Facebook
0
Baca juga:  Dua Sejoli Santri Ndalem