Jum’atan Plus

Sumber gambar: https://wallpaperaccess.com/funny-camel

Penulis: Jintung Idjam

Sepulang bepergian, sampai rumah hampir jam dua belas, jum’atan hampir mulai. Setelah cuci muka dan hanya sikat gigi, azan pertama sudah selesai. Lalu wudhu, setengah berlari menuju kamar, kemudian memakai sarung secepat kilat, menyambar baju dan peci, dengan langkah tergesa menuju masjid.

Jika berangkat jum’atannya pagi mendapat pahala seperti berkurban unta, dan yang menjelang azan mendapat pahalanya berkurban telor, maka aku ndak dapat pahalanya berkurban sama sekali. Bahkan, katanya, setelah khatib mengucap salam dan azan kedua sudah dikumandangkan, malaikat pencatat amal jum’atan sudah tutup buku. Peserta yang datang setelah itu otomatis tidak tercatat jum’atannya. Karena malaikatnya sudah masuk ikut jum’atan.

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Aku masuk ke situasi ambigu. Situasi selanjutnya bikin jum’atanku semakin embuh.

Saya termasuk orang merugi kali ini. Poin satu.

Sesampai di masjid, jamaah sudah penuh. Hanya kebagian di pintu serambi. Suara pengeras suara yang pelan bercampur suara gemericik anak-anak yang bergurau membuatku harus ekstra melebarkan telinga untuk mendengarkan khotbah.

Sudah tak masuk, aku tak mau kecolongan khotbah. Konsentrasi penuh mendengarkan.

Di antara konsentrasi mendengar khotbah, mata masih tergoda dengan seorang anak gendut menggemaskan nan lucu. Wajahnya mirip Boboho.

Baca juga:  Curcol si Santren dan si Sanial

Jangan lihat, jangan lihat, batinku.

Awalnya dia berkelendotan di pangkuan ayahnya, lalu pindah naik ke punggungnya. Ayahnya diam saja. Bahkan kelihatan enjoy, sambil sesekali tangannya siaga saat Boboho bajakan itu hampir terjatuh.

Ah, ia begitu lucu. Nggemesin.

Lalu kuputuskan memejamkan mata, agar konsentrasiku mendengarkan khotbah tidak buyar. Karena aku sadar, selama mata tidak terpejam, maka mata tak akan pernah lelah untuk melihat. Seperti napas, tidur pun masih bernafas.

Dalam keadaan mata terpejam, pikiranku malah teringat sebuah cerita: Mbah Mangli tidak pernah mengijinkan seorang anak yang belum disunat masuk ke masjidnya. Bahkan beliau tahu dan tidak mau ke masjid kalau ada yang yang belum sunat/khitan di dalam masjid. Kesimpulannya: seharusnya tak boleh ada anak saat jum’atan. Selain belum wajib, anak cenderung hanya akan bermain hingga mengganggu jamaah lain.

Saat khotbah kedua dimulai, bertepatan saya membuka mata, anak itu tertidur pulas di samping bapaknya. Aman, batinku. Namun, rasa aman sudah tak ada gunanya, toh khotbah kedua hanya pendek dan bahasa Arab semua.

Menunggu khotbah kedua selesai, muncul pertanyaan di dalam hati: bukannya anak kecil itu bagus bila diajak ke masjid? Bukankah masjid itu tempat untuk semua orang, termasuk anak-anak? Bahkan Nabi pernah saat salat cucunya menaiki punggungnya. Bukankah itu berarti bahwa anak boleh ke masjid? Entahlah.

Baca juga:  Eksistensi Pesantren di Era Milenial

Kukira tidak demikian. Kukira hal itu berlaku ke selain jum’atan. Bukankah di awal jum’atan si muazin telah berpesan dengan sebuah hadis ‘idza kulta lisohibika wal imamu yahtubu yaumal jum’ati ansit‘?

Saat iqamah, anak itu terbangun. Namun hanya duduk, tidak ikut berdiri, salat. Sayang, aku harus maju ke depan, berdiri bersebelahan dengan bapaknya Boboho bajakan itu, karena tak ada jamaah lain yang mau mengisi ruang kosong itu.

Baru saya selesai takbiratul ihram, anak itu bangkit. Lalu salat seperti yang lain. Tangannya usil, bergerak-gerak bermain entah. Buyar lagi konsentrasi. Dongkol lagi.

Saat sujud, dia juga ikut sujud. Saat berdiri lagi, ia tak ikut berdiri. Malah tidur terlentang di depanku. Memandangiku dengan tatapan menyelidik. Karena risi, maka kupelototin balik. Kalah dia. Menunduk takut. Menang! Huahaha…

Saat ruku’, ia merubah posisi menjadi tengkurap. Lalu berlagak seperti tentara, seakan di tangannya ada senjata laras panjang, mulutnya berdesis tret tet tet tet seperti sedang menembak, lalu merangkak maju seperti mendekati musuh.

Baca juga:  Madhi, Sebuah lakon

Buyar sudah jum’atanku, batinku.

Saat akan sujud, kebetulan posisi meniru tentaranya sedang di antara saya dan ayahnya, ia terjepit. Saatnya balas dendam, karena dia telah merusak jum’atanku, batinku. Di tengah ia terjepit, saat duduk tasyahud akhir yang bertepatan ia tengkurap, siku saya tekankan ke punggungnya dengan agak keras. Hingga ia tidak bisa bergerak dan kesakitan.

Yang jelas, gerakan itu tak akan membuat salatku batal, karena hanya dua gerakan: menekan dan lalu mengangkat/melepaskan. Jelas aku tak akan gegabah melakukan tiga gerakan untuk memberi pelajaran anak itu, karena akan membatalkan salatku.

Saat kira-kira ayahnya menyadari anaknya saya dholimi, aku baru melepaskan tekanan sikuku.

Selesai salam, aku tak berdzikir sama sekali. Langsung pulang. Dongkol di hati tak hilang-hilang.

Sepanjang jalan pulang, aku masih marah. Sudah datang terlambat, masih pula Boboho bajakan itu mengganggu.

Setelah tepar sebentar di kamar, menyesali jum’atan yang gagal, aku tertawa geli; aku merasa baru saja jum’atanku seperti ibadah Haji Plus: berangkat belakangan, pulangnya duluan.

Komentar Facebook
0