Terong atau Solanum Melongena dan Ketergesaan dalam Menilai Sesuatu Inan Esai 30 Oktober 2018 0 8 min read Kembulan atau lengseran adalah tradisi pesantren untuk saling berbagi dalam kebersamaan. Lokasi: pondok pesantren An Nur Ngrukem. foto oleh Niam Terong, bagaimana pun juga adalah salah satu menu idola di pesantren. Bagaimana tidak, ketika jatah kiriman dari orang tua habis dalam waktu seminggu untuk membayar hutang, maka iuran dengan teman-teman sekamar dan masak sendiri adalah kuncinya. Biar tambah irit, tentunya menu andalan adalah terong. Saking seringnya, para juru masak di pesantren pun rutin melakukan uji coba agar olahan sayur terong terasa tidak membosankan. Misalnya, hari ini sambal terong, besok oseng terong, lusa terong balado, esoknya lusa sate, alias sayur terong. Pokoknya hari-hari penuh terong adalah kunci minggu terakhir setiap bulan. Perlu untuk diketahui, terong punya nama latin solanum melongena, sayur yang berasal dari India dan Sri Lanka ini ternyata punya hadisnya tersendiri. Kita tak perlu membahas, apakah terong itu sayur atau buah, sebagaimana tomat apakah buah atau sayur. Saya dapatkan keterangan hadis tersebut dahulu, ketika masih duduk di bangku MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), guru saya KH. Haris Masduki yang sekarang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Darul Quran Gunung Kidul pernah mengutip hadis terong: “Terong berfungsi tergantung dari niat orang yang memakannya, terong adalah obat dari segala penyakit.” Bersyukurlah para santri yang sering menikmati olahan makanan ini. Begitu pun dengan para pedagang sayuran di seantero pasar. Karena mulai sekarang, kamu, kamu dan kamu sekalian akan menyadari bahwa terong yang murah itu memiliki khasiat yang luar biasa. Demikian pula para penjual terong; jualanmu udah lebih nyunnah karena ada hadisnya. Etapi, jangan senang dulu. Apa betul demikian?. Apakah hadis tersebut sahih?. Guru saya melanjutkan penjelasannya bahwa, hadis tentang terong di atas adalah hadis palsu. Kisah tentang khasiat terong ini dinyatakan palsu oleh banyak ahli hadis karena terdapat masalah pada periwayat dan redaksi hadisnya. Untuk melacak keabsahan suatu hadis dibutuhkan dua langkah: pertama, berkaitan dengan para periwayat atau pembawa kabar. Kedua, berhubungan dengan isi hadis yang disampaikan. Adapun yang pertama dapat dimulai dengan meneliti seluk beluk si pembawa kabar seperti; Adakah kesinambungan antara seorang pembawa berita dengan pembawa berita sebelumnya sampai dengan sumber pertama? Apakah mereka benar-benar pernah bertemu?. Pertanyaan-pertanyaan demikianlah yang harus dijawab secara pasti untuk bisa menilai bagaimana status sebuah hadis. Njelimet, kan?. Selanjutnya pertanyaan terhadap kapasitas intelektual si periwayat seperti kecerdasan, kekuatan hafalan, serta kecakapan dalam memahami dan menyampaikan berita. Bagaimana jadinya kalau kita menerima kabar yang hanya sepenggal-sepenggal atau dari seseorang yang pikun? Berikutnya adalah pertanyaan tentang kualitas pribadi si pembawa berita seperti: Bagaimanakah upaya si pembawa berita tersebut menjaga harga diri dan kehormatannya di hadapan orang lain? Apakah dia sering berbohong? Bahkan, dalam salah satu kitab biografi diceritakan bahwa Imam Bukhari pernah membatalkan untuk menerima suatu hadis dari seorang periwayat hanya gara-gara orang tersebut menipu gembalanya. Suatu hari beliau melihat si periwayat sedang membawa gembalanya di rerumputan. Karena gembala yang terlalu banyak, orang itu kemudian kewalahan untuk mengumpulkannya. Agar cepat ia pun melambaikan kainnya yang berwarna hijau dengan dugaan gembalanya akan tertarik karena melihat hijau-hijauan. Mungkin Imam Bukhari ini mbatin: “Kewan wae diapusi, opo maneh menungso.” Saking hati-hatinya, ada juga beberapa ulama ahli hadis yang menggunakan tolok ukur cukup ketat seperti menaiki keledai yang bisa dianggap mengurangi muru’ah (kehormatan; sebab bagi orang arab, keledai adalah simbol kedunguan). Lha kowe? jajan ngangkring kebal kebul turut ndalan. Dalam kasus hadis terong di atas, ternyata salah satu periwayat yang bernama Ahmad bin Muhammad bin Harb dianggap dengan sengaja memalsukan hadis karena setelah dikonfirmasi, ia tidak pernah bertemu dengan periwayat di atasnya. Selesai? Belum. Langkah kedua untuk melacak keabsahan suatu hadis adalah dengan menelaah kembali redaksi hadis dengan bertanya semisal: “Adakah kejanggalan di dalam redaksi tersebut?” Pada hadis terong ditemukan kejanggalan karena isi redaksinya bertentangan dengan akal sehat. Wuih, akal sehat. Memang benar bahwa terong dapat digunakan untuk mengobati penyakit semacam lapar. Akan tetapi tidak sah bila terong diklaim dapat mengobati segala macam penyakit. Jika benar demikian, lantas bagaimana nasib anak-anak yang memiliki cita-cita jadi dokter?. Tak perlu susah-susah keluar uang banyak untuk jadi dokter, cukup terongin aja. Andaikan prinsip-prinsip semacam ini juga digunakan untuk menelaah berita-berita palsu di sosial media, yang kecepatan edarnya melebihi proses berpikir si penyebarnya, tentu Facebook tak perlu bersusah payah menambah 3000 karyawan. “Tapi kan hoaks yang saya bagikan tidak berkaitan dengan sabda Nabi, Kang?” “Lho, memangnya kalau tidak atas nama Nabi terus boleh?” Hal ini harus dipahami, apa iya kita akan menelan mentah-mentah info yang ketika ditanya keabsahannya hanya dijawab dengan: “Cuma copas dari grup sebelah kok”? Akal sehat, di mana akal sehat? Di mana? Penulis: Inan, Lurah sabak.or.id Komentar Facebook 0Baca juga: Ruang Baca Pembaca "Hati Suhita" (Bag. 2)