Sejumlah Alasan Mengapa Ekstremisme Dalam Beragama Sulit Tumbuh di Pesantren

Peserta pengajian hadis Bulughul Maram di pendopo Pemerintah Daerah Bantul. Foto: sabak/niam

Dulu, ketika peristiwa bom di pulau Dewata terjadi, ada satu tuduhan menggelitik yang dialamatkan kepada dunia pesantren. Tuduhan itu menyatakan bahwa salah satu penyebab ekstremisme dalam beragama bersumber dari pesantren. Pernyataan ini pun muncul setelah diketahui adanya fakta bahwa di antara para pelaku bom itu pernah nyantri.

Tentu saja tuduhan tersebut membuat saya heran. Bagaimana bisa pesantren yang selama ini dikenal melahirkan orang-orang alim yang rendah hati sekaligus lucu (seperti Gus Dur dan KH. Anwar Zahid) dianggap sebagai salah satu biang penyebab ekstremisme? Bukankah tuduhan itu terlalu menggeneralisir?

Faktanya, pesantren yang dianggap demikian tadi bukanlah model pesantren tradisional sebagaimana yang umumnya kita kenal, melainkan pesantren atau lembaga pendidikan Islam yang tidak memiliki akar kuat dalam tradisi Indonesia.

Dalam hal ini saya sepakat dengan survei yang dilakukan oleh LIPI yang mengatakan bahwa mayoritas pesantren tradisional di Indonesia adalah moderat. Lantas, mengapa pesantren-pesantren tradisional di Indonesia bisa lebih santai dalam menanggapi perbedaan?

Tentu ada beberapa alasan yang dapat kita cermati. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:

Baca juga:  Dua Sejoli Santri Ndalem

Pertama, Sering Mendengar Ucapan Wallahu A’lam bi Shawab. Wallahu A’lam bi Shawab jika diterjemahkan bebas memiliki artian: Allah lebih mengetahui yang sebenar-benarnya.

Di pesantren, anda akan sering mendengar ucapan ini keluar dari para ustaz, forum perdebatan santri, hingga para kiai.

Sebagaimana yang kita ketahui, salah satu penyebab munculnya sikap ekstrem dalam beragama dikarenakan manusia meyakini bahwa pendapatnya lah yang paling benar. Ketika pola seperti itu sudah tertanam, maka manusia cenderung menutup diri dari pendapat orang lain.

Untung saja sosok kiai sebagai role model di pesantren tidak pernah bosan untuk mengucapkan kalimat ini seusai ngaji. Setidaknya kalimat ini bisa dijadikan sebagai sebuah peringatan kepada para santri bahwa dengan segala keterbatasannya, mereka tidaklah diperbolehkan untuk merasa paling benar sendiri.

Kedua, Mendahulukan Musyawarah. Di pesantren musyawarah sering juga disebut dengan Bahtsul Masail. Pada dasarnya, sistem yang berlaku di dalam kelas ini tidak jauh berbeda dengan diskusi-diskusi yang diselenggarakan di kampus.

Di dalam kelas Bahtsul Masail para santri disuguhi dengan sejumlah persoalan sosial-keagamaan yang hendak dibahas. Mereka pun diberikan keleluasaan untuk mencari argumentasi dari kitab-kitab kuning.

Baca juga:  Ta'dzim

Sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan ekstremisme dalam beragama terkadang muncul karena tidak adanya dialog antara pihak yang berselisih serta tidak adanya ruang untuk mengutarakan pendapat.

Dengan adanya musyawarah, para santri diajarkan untuk terbiasa mendialogkan sesuatu secara perlahan-lahan dan jernih. Pada kelas ini pula anda akan melihat para santri ngotot tanpa otot.

Ketiga. Kitab Kuning yang Bermacam-macam. Alasan lain yang layak untuk disebut adalah: pondok pesantren mengajarkan berbagai macam khazanah keislaman yang bersumber dari kitab-kitab kuning yang pada dasarnya sangatlah beraneka ragam.

Bagi teman-teman yang pernah nyantri, pasti sudah mafhum dengan istilah kitab kuning. Kitab kuning bukanlah sekedar kitab yang kertasnya berwarna kuning atau sebagaimana yang pernah disampaikan oleh ustaz penceramah sebelah beberapa bulan lalu.

Iya saya tahu pak, kalau warnanya kuning berarti bukan putih. Tapi bukan sekedar kayak gitu maksudnya.

Lebih jauh, kitab kuning merupakan bagian penting dalam pendidikan pesantren. Hampir semua pesantren tradisional menggunakan materi ini dalam kurikulumnya. Karena beragamnya sumber keislaman yang diajarkan dari kitab-kitab kuning, dapat disimpulkan bahwa disadari atau tidak, para santri diajak untuk terbiasa dalam menerima perbedaan.

Pada pelajaran fikih misalnya, para santri akan diajarkan kitab-kitab fikih yang bermacam-macam secara berjenjang. Mulai dari kitab Safinatun Najah, Taqrib, atau Fathul Mu’in. Keseluruhan kitab tersebut ditulis oleh para ulama yang berbeda-beda.

Baca juga:  Belajar Sufi dari Anak Rusa

Tak hanya itu, kitab-kitab syarah yang muncul dari kitab-kitab di atas pun akan sangat beragam versinya sesuai dengan pemahaman para penulisnya.

Bahkan, ketika sampai jenjang atas, di pesantren-pesantren besar diajarkan kitab perbandingan madzhab semisal Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Di dalamnya kita akan melihat berbagai macam pendapat dari madzhab lain dalam menyikapi permasalahan fikih.

Tidak hanya dalam persoalan fikih, tetapi juga ketika para santri berada di kelas gramatika arab (nahwu dan sharaf). Di sana, para santri diajak untuk berjalan-jalan dan menikmati perdebatan antara para ulama Basrah serta Kufah terkait tata bahasa arab. Dan bagi para santri, itu semua adalah hal yang lumrah.

Mengutip perkataan salah satu guru saya: “Santri itu mau jadi ekstrem gak bakalan sempat. Disodorin persoalan kalimat ini dibaca rafa’ apa nasab saja mereka akan berdebat sepanjang malam. Ngapain teriak-teriak takbir di pinggir jalan?”

Paham, Akhi dan Akhwat?.

Penulis: Inan, Lurah sabak.or.id
Komentar Facebook
1