Nasihat Terbaik Inan CerpenEsai 7 September 2019 0 5 min read Sumber gambar klik Penulis: InanHari ini tepat tiga minggu dia mengajar di sekolah. Seperti biasa, alarm yang dipasang di gawainya berdering secara bergiliran; sahut menyahut ibarat lolongan anjing. Sambil setengah sadar dia melirik sekilas: jam 05:00. Padahal alarm yang dipasangnya sudah beurutan mulai dari pukul 04:30, 04:15, dan terakhir pada pukul 05:00. Ternyata kebiasaan melek larut malamnya masih saja mengikuti. Pagi itu sedang dingin-dinginnya. Ya, daerahnya sama seperti halnya daerah-daerah tropis lain selama musim kemarau. Jika siang, suhu udaranya terlampau panas dan waktu menjelang petang, berubah drastis menjadi dingin. Setelah berbagai macam suara ternyata justru hawa dingin yang mampu membangunkannya. Agaknya hari ini dia sedang malas membuat teh atau kopi. Usai salat subuh, galon di depan kamar justru menjadi sasaran pertamanya. Dia mencoba untuk menahan kantuk dengan menenggak airnya sebanyak mungkin. “Kalau minum banyak air kan nanti bakalan buang air kecil terus. Nah, kalau sudah begitu rasa kantuk bakal hilang dengan sendirinya,” katanya membatin dalam hati. Orang itu duduk sambil mengusap-usap telapak tangan. Diraihnya jaket di atas kursi supaya badannya bertambah hangat. Di sampingnya, buku Thinking Slow and Fast karya Kahneman yang semalam dia baca masih terbuka dengan pulpen tergeletak di atasnya. Buku tersebut hasil meminjam dari seorang teman. Buku bagus memang. Tapi begitulah, dia tak kunjung merampungkannya. Doanya tiap hari untuk buku itu cuma satu: “Ya Tuhan, semoga temanku itu segera lupa kalau dia pernah meminjamkannya.” Tentu saja dia tidak mau jadi bagian dari orang yang sering diomongkan oleh almarhum Gus Dur itu. Kata beliau, hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan lebih bodoh lagi kalau ada orang yang mengembalikan buku yang sudah dia pinjam. *** Sekolah tempatnya mengajar tak terlalu jauh dari rumah. Mungkin hanya berjarak beberapa ratus meter. Kalau kata orang Jawa Timur, “ora nganti sak rokokan”. Bangunannya lumayan besar tapi muridnya belum begitu banyak. Karena baru saja dibuka tahun ini, hanya ada satu kelas dengan beberapa gelintir siswa. Pagi itu dia masuk kelas dan mengisi jam pertama. Murid-murid masih terlihat belum begitu akrab dengan guru tersebut. Beberapa di antaranya asik mengobrol dan bercanda dengan kawan sebangkunya. Ada juga yang masih terlihat mengantuk. Pelajaran dimulai dengan mengulang kembali materi hari kemarin. Seperti biasanya, sang guru menunjuk salah satu siswa untuk menjelaskan lalu melanjutkannya dengan melempar beberapa pertanyaan untuk dijawab. Anak pertama yang dia tanya mampu menjawab dengan baik. Disusul dengan anak kedua dan ketiga. Senang rasanya memang, kalau siswa bisa menuruti apa yang dia harapkan. Lalu tiba lah saat pertanyaan terakhir diajukan kepada seorang siswa. Dia sengaja memilih siswa itu untuk menjawab pertanyaannya yang terakhir. Seperti hari-hari sebelumnya, si siswa gagap tak mampu menjawab. Wajahnya menengok ke kanan-kiri. Ketika pertanyaan diulangi, siswa itu justru bercanda dan melempar tawa kepada teman-temannya. Tiba-tiba saja suasana hati sang guru memburuk. Entah mengapa, emosi di dadanya meluap. Seketika suaranya meninggi. Hampir saja dia menggebrak meja di depannya. Suara tawa yang sempat menguasai ruangan hilang digantikan oleh keheningan. Anak laki-laki yang menjawab pertanyaan terakhir itu bernama Nanda. Dia berambut cekak dengan potongan a la pemain sepak bola. Posturnya lebih tinggi dibandingkan dengan teman-teman sepantarannya. Suaranya sedikit serak dan susah membunyikan huruf “r”. Sang guru, yang sudah terlanjur emosi kemudian meneriakinya, “Soal begini saja kamu ndak bisa Kemarin kan sudah saya jelaskan. Kamu ngapain kalau di rumah? Main?! Tidur?” “Jamanku dulu, kalau ndak bisa itu justru malu. Sadar diri sama kekurangannya. Bukannya malah ketawa-tawa. Siswa jaman sekarang memang beda dengan siswa jaman dulu. Dikit-dikit bilang ndak bisa. Makanya mikir dulu sebelum menjawab,” sambungnya. Seisi kelas terdiam sementara suara sang guru memenuhi setiap sudut ruangannya. Sambil gemetaran dia menumpahkan seluruh emosi yang sudah menumpuk berhari-hari sebelumnya. Siswa yang kena marah hanya bisa menunduk. Akhirnya, pelajaran di kelas pada pagi itu dilanjutkan dengan sisa-sisa kemauan sang guru. *** Siang harinya orang itu pulang dari tempat mengajar dengan membawa perasaan dongkol. Setibanya di rumah, belum sampai membuka pintu, hidungnya sudah disambut oleh harum bawang merah, bawang putih, dan cabai yang ditumis. Baunya menyelinap melalui sela-sela jendela dan celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat. Di dapur, sang ibu ternyata sedang memasak sayur kangkung kesukaannya. Melihat anaknya datang, sang ibu lalu melempar tanya sembari tangannya membolak-balik dedaunan yang mulai layu terkena panas itu. “Sudah pulang? Gimana ngajarmu hari ini le. Anak-anak paham nggak sama pelajaranmu?” Ibunya adalah seorang wanita berusia 60 tahunan. Badannya tidak terlalu tinggi, juga tidak gemuk. Warna putih di rambutnya sudah lebih banyak tinimbang warna hitamnya. Cara berbicaranya pelan dan rapi. Tatapan matanya luas dan dalam. Senyumannya ibarat matahari pagi: selalu memberikan kehangatan serta semangat kepada siapa pun bahkan bagi yang tidak membutuhkannya. “Baik buk,” jawabnya. “Ya begitu lah. Ada yang paham, ada yang setengah paham, ada juga yang ndak paham sama sekali.” “Ibuk kalau ngajar di sekolah sering nemu siswa kayak gitu juga ndak to? Kalau dibilangin A pahamnya B, kalau diomongin masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kalau dilarang eh malah kayak disuruh.” Sambil melihat masakannya sang ibu mencoba menjawab pertanyaan anaknya itu. “Ya pernah le, sering malah. Nggak apa-apa. Namanya juga anak-anak. Kamu kan ngajar juga baru tiga minggu ini.” “Berusaha lah sebisamu. Ingat dawuhe simbah: jangan ngoyo, nanti kalau anak didikmu nggak sesuai dengan keinginanmu jadinya malah kamu sendiri yang ngganjel.” “Ibuk cuma bisa pesan: Jangan karena kecenderunganmu terhadap suatu hal lantas kamu bersikap tidak adil kepada murid-muridmu. Juga jangan gunakan kapasitas dirimu untuk mengukur mereka. Mendidik itu bukan soal luar saja melainkan juga perkara batin. Tirakat, mujahadah, dan wirid itu perlu. Besok coba kamu sowan gurumu. Tanya sama beliau, dulu ndablegmu kok bisa sembuh didoain pake apa.” Si anak lalu menjawab: “Nggih buk. Doanya mawon.” Matanya menerawang jauh lalu membatin: “Mugi-mugi diparingi sehat terus nggih buk.” Sementara itu, si ibu sibuk melanjutkan kegiatan memasaknya. Komentar Facebook 0Baca juga: Santri yang Mempunyai KTP Berstatus Mahasiswa, Apa Iya Bisa Disamakan?