Menjadi Jujur dengan Belajar Sejarah: 2 Kisah Islam yang Memalukan dari Gus Nadir

GAMBAR: beritagar.id

Penulis: Inan

“Belajar Sejarah Islam Itu Lebih Berat Daripada Belajar Tasawuf, Jendral!”

Begitulah kira-kira wejangan seorang teman beberapa waktu lalu. Saya tak paham mengapa tiba-tiba ia berkata seperti itu sementara dirinya sebentar lagi menikah. 


Seharusnya dia bisa memberikan wejangan yang lebih ringan kepada saya yang belum menikah ini.

Misalkan, ubo rampe apa saja yang perlu disiapkan atau berapakah rincian biaya yang harus dikeluarkan untuk upacara suci yang hanya terjadi sekali seumur hidup itu. Iya, sekali saja kecuali jika kamu memang berniat untuk poligami.

Di dalam Islam sendiri, sejarah dan tasawuf adalah dua disiplin ilmu yang berbeda. Sejarah membicarakan segala sesuatu yang terjadi di masa lampau sedangkan tasawuf berkaitan dengan etika dan hubungan kita kepada Tuhan.

Lalu, mengapa belajar sejarah menjadi lebih berat tinimbang belajar tasawuf? Setahu saya tasawuf termasuk ilmu yang rumit. 


Berbeda dengan beberapa ilmu lain yang diajarkan di pesantren, tasawuf hanya boleh dipelajari oleh para santri yang sudah memiliki cukup bekal pengetahuan. Mereka pun rata-rata telah mencapai jenjang kelas Ulya atau dengan kata lain, santri senior.

Ternyata teman saya ini memiliki sikapnya sendiri. “Belajar sejarah Islam itu lebih berat karena kita harus siap untuk mengakui segala keburukan dan kebejatan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang katanya Islam di masa lalu.” Begitu tuturnya.

Baca juga:  Sejumlah Alasan Mengapa Ekstremisme Dalam Beragama Sulit Tumbuh di Pesantren

Saya agak ragu mendengarkan jawabannya. Muwoshoook??!! Bukankah Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan keselamatan? Mana mungkin umatnya melakukan hal-hal bejat?

Tetapi setelah saya pikir ulang ternyata ucapan itu ada benarnya juga. Untuk hal-hal baik, banyak kasus di mana sejarah bercerita tentang kejadian di masa lalu secara mengagumkan. Namun, giliran bersinggungan dengan kebobrokan pada masa tertentu, tak banyak penulis yang berani menuturkannya.

Padahal, menurut saya hal itu penting. Sebab, salah satu fungsi sejarah adalah mengingatkan generasi di masa mendatang atas kesalahan yang pernah terjadi pada generasi masa lalu.

Sebagai contoh, dua kisah yang ditulis oleh Prof. Nadirsyah Hosen di bawah ini mungkin bisa menjawab mengapa belajar sejarah itu berat. Pun, dua kisah ini turut menegaskan bahwa kesalahan di masa lalu dapat kita antisipasi di masa depan andai saja kita mau memahami apa yang terjadi dalam sejarah.

Kisah yang pertama menceritakan sejarah pembantaian salah satu cucu nabi Muhammad yakni Husein bin Ali bin Abi Thalib oleh Yazid bin Mu’awiyyah.

Sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Nadirsyah Hosen dalam salah satu artikelnya, sejarah mencatat bahwa menjelang kematiannya, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan mengingkari kesepakatan untuk membentuk dewan syura guna menentukan siapakah khalifah selanjutnya yang akan menjabat.

Alih-alih bermusyawarah, Mu’awwiyah justru menunjuk puteranya sendiri, Yazid, demi melanggengkan kekuasaannya. Tentu saja keputusan ini tidak mendapatkan persetujuan dari semua pihak.


Tiga tokoh Islam yang berpengaruh saat itu yakni Husein bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair bin Awwam dan Abdullah bin Umar kemudian dipaksa untuk mengakui kekhalifahan Yazid.

Baca juga:  Terong atau Solanum Melongena dan Ketergesaan dalam Menilai Sesuatu

Sayyidina Husein yang berada di Mekkah lantas diminta oleh penduduk Kufah untuk mendatangi kota tersebut sebab di sana beliau akan mendapatkan dukungan menjadi khalifah. 


Yazid yang mengetahui rencana ini tak terima. Dia mengirimkan pasukan untuk mencegah keberangkatan Sayyidina Husein dan akhirnya pembantaian di Karbala pun terjadi.

Pada saat itu Yazid kemudian mengirim surat kepada Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuh Husein. Lalu, dikirimlah 4 ribu pasukan di bawah pimpinan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash. 


Husein dibunuh dan kepalanya diletakkan di bejana dan dibawa ke hadapan Ibn Ziyad. Dalam peristiwa pembunuhan itu 16 anggota keluarga Husein juga turut terbunuh. Mengerikan bukan?

Kisah yang kedua menceritakan tentang kelakukan al-Walid bin Yazid atau yang sering dikenal dengan al-Walid II. 


Orang ini merupakan salah satu khalifah bani Umayyah. Di dalam artikelnya, Prof. Nadirsyah menulis bahwa al-Walid II adalah seorang fasik, peminum khamr dan banyak melanggar aturan syari’at.

Menurut penuturan Imam Suyuthi, al-Walid II bahkan pernah menjalankan ibadah haji hanya karena tujuan ingin meminum khamr di sana. Tak hanya itu, Imam Thabari turut mengabarkan bahwasanya pada perjalanan hajinya tersebut, al-Walid II juga membawa anjing yang dimasukkan dalam kardus serta membawa kanopi seukuran Ka’bah dengan maksud untuk menutupi Ka’bah lalu berniat duduk di atasnya.

Baca juga:  Keutamaan dan Sejarah Hajar Aswad

Untung saja hal itu tak pernah terjadi sebab seorang kawan mencegahnya. Lantaran kelakuannya yang melebihi batas ini, al-Walid II dijuluki sebagai Fir’aun-nya umat Islam. Bayangkan. Seorang khalifah, pemimpin besar Islam yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyatnya justru berkelakuan seperti itu.

Sebenarnya, kisah al-Walid II tersebut masih ada kelanjutannya. Akan tetapi, sebagaimana yang pernah saya sampaikan sebelumnya, cerita ini sungguh memalukan. 


Jadi, jika teman-teman ingin mengetahuinya silahkan membaca sendiri melalui tulisan-tulisan Prof. Nadirsyah Hosen.

Maka menjadi wajar jika selama ini di sekolah kita hanya diberi pengetahuan sejarah Islam berdasarkan sumber tunggal. Itu pun hanya yang baik-baik saja. Sedangkan yang buruk dan bobrok seperti borok cenderung ditutupi. Karena apa? Karena kita sendiri malu untuk mengakuinya.

Sementara saat mengaji tasawuf kita diajarkan untuk mengakui dosa individu di hadapan Tuhan sehingga dapat beribadah secara ikhlas, maka, dalam sejarah kita diajarkan untuk mengakui dosa kolektif yang terjadi di masa lalu. Sayangnya, untuk yang terakhir ini terasa lebih berat karena menyangkut nama baik banyak golongan.


Baca esai menarik tentang SEJARAH atau esai yang ditulis oleh INAN
Komentar Facebook
0