Ziarah

Gambar oleh Atan Mukris.

Penulis: Inan

“Mau kemana mi?” tanyaku sehabis bangun tidur.

“Ke makam simbah.” Jawab beliau sambil merapikan kerudungnya di depan kaca dan meraba-raba jarum pentul.

“Nggak usah dianter, nanti umi berangkat jalan kaki sama mbakmu. Kamu mandi sana, bau terasi.”

Aku mencium ketiakku sendiri lalu berjalan ngeloyor mengambil handuk, menuju kamar mandi. Pagi masih terlalu gelap. Matahari tak nampak sedikit pun. Belakangan ini langit lebih sering memperlihatkan mendungnya daripada cerahnya. Itu sebabnya mengapa setelah subuh aku lebih memilih menarik selimut daripada harus membuka mata.

Kemarin hujan pertama kali turun, diiringi dengan bau khas tanah yang disentuh olehnya. Nampaknya, hari ini pun bakalan demikian.

Sehabis mandi aku justru melamun. Mau sarapan apa tidur lagi? Hari libur yang membingungkan. Tapi, kalau nanti sarapan mau makan apa? Kan nasinya belum matang? Ah, iya jajan di tempat mbok Sri saja. Barangkali hari ini mbok Sri bikin bubur kacang hijau dan ketan hitam.

Aku pun segera mengeluarkan motor dari garasi rumah. Bergegas menyalakannya. Dompet kuambil, sandal kupakai.

“Eh, iya. Sekarang akhir bulan,” kataku dalam hati. Aku lalu melirik dompet dengan sedikit meringis. Kosong pemirsa… Uang gajian bulan ini sudah habis. Tapi aku lupa untuk apa. Jajan nggak begitu sering. Makan lebih banyak di rumah daripada di luar. Bayar hutang mungkin?

Mau tak mau aku kembali masuk ke dalam rumah. Apalagi kalau bukan minta duit sama bos besar.

“Mi…”

“Apa?”

“Biasa… Belum gajian. Hehe.”

“Nih. Dua bungkus, sekalian beli buat adikmu. Umi nggak usah, sarapannya nanti aja habis dari makam.”

Baca juga:  Pembunuh Berdarah Dingin itu Rombongan Santri

“Oke. Siap bos.”

Di sepanjang sawah, orang-orang berolahraga. Ada yang berlari, ada yang senam. Tapi, ada juga yang menyuapi anaknya. Mereka memanfaatkan tanggal merah dengan sebaik-baiknya.

Sesampainya di warung mbok Sri, aku langsung mengantri di belakang orang-orang.

“Mbok, bubur dua. Ketan hitam satu, kacang hijaunya satu.”

“Iya, tunggu sebentar nak.”

Si simbok yang sudah berumur tiga perempat abad lebih itu kemudian mengambil wadah di sampingnya untuk membungkus bubur. Badannya agak bungkuk ke depan. Kepalanya lebih sering menunduk. Garis-garis ketuaan terlihat jelas di tangan dan wajahnya.

Setiap habis subuh beliau jalan kaki menuju warungnya yang berada di ujung desa. Katanya, beliau sudah jualan di sini dari jaman umi masih perawan. Dulu beliau dibantu oleh anaknya. Namun, karena sekarang anaknya sudah menikah, beliau berjualan sendirian. Suaminya sendiri sudah meninggal sekira tiga tahun yang lalu.

Bau wangi daun pandan bercampur santan merebak di sekitar dagangan sewaktu simbok membuka panci. Asapnya mengepul. Bikin perut tambah lapar. Aku langsung membayangkan wangi khas tersebut beserta gurihnya santan dan manisnya ketan hitam bercampur jadi satu di dalam mulut. Mantap betul.

Dibandingkan warung di sebelah tempatku mengajar, porsi bubur yang dijual simbok lebih banyak. Satu setengah porsi sudah cukup membikin perut sesak. Selesai dibungkus, aku segera memberikan uangnya.

Niki mbok,” aku kemudian mengeluarkan selembar uang bergambar Frans Kaisepo.

“Kembali lima ribu ya nak. matur nuwun.”

Di rumah, adikku duduk di meja makan sembari membenarkan rambutnya yang masih acak-acakan sementara umi memencet-mencet gawai mencoba menghubungi anak perempuannya.

Baca juga:  Ta'dzim (Episode 3)

“Lho, kok belum berangkat?” tanyaku sambil mengambil piring dan sendok, menyiapkan bubur yang masih hangat.

“Mbakmu masih mandiin anaknya. Tadi pas mau berangkat ke sini tiba-tiba bangun, pengen ikut ke tempat uti katanya. Ya sudah, dimandiin sekalian.”

Setengah jam kemudian kakak sampai rumah. Dia berjalan kaki menggandeng anaknya. Melihat utinya duduk di kursi meja makan, keponakanku langsung berlari menuju ke arahnya.

“Bukannya minggu lalu umi habis dari sana?”

Sambil menciumi pipi keponakanku dengan gemas, beliau menjawab: “Iya, tapi umi masih kangen, makanya sekarang mau ke sana lagi.”

“Kalau lagi kangen, sekadar mendoakan dari rumah masih kurang. Ada rasa yang harus dituntaskan. Meskipun di sana nanti lihatnya cuma gundukan tanah dan batu nisan, tapi itu lebih dari cukup untuk mengobatinya.”

Kami bertiga mendengarkan saja saat umi berkata seperti itu. Konon, umi memang cinta mati kalau sama almarhum bapaknya. Meskipun beliau terkenal galaknya bukan main.

Pernah suatu ketika umi bilang kepadaku. Katanya, idola orang-orang boleh saja tokoh-tokoh hebat dan terkenal, yang punya jasa besar. Tapi tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan perhatian seorang bapak kepada anak perempuannya, kepada keluarganya.

“Orang yang sudah meninggal itu ibarat orang yang tenggelam,” umi melanjutkan. “Tidak ada yang bisa dia lakukan selain memperoleh pertolongan dari orang lain. Kita yang masih hidup ini punya tanggung jawab untuk menolongnya. Dengan mendoakan yang baik-baik.”

“Orang yang sudah meninggal pula, tidak mempunyai cara untuk mengungkapkan kerinduannya. Sudah semestinya kita mendatangi mereka. Barangkali, simbahmu itu nggak cuma kangen sama anak-anaknya tapi juga sama cucu-cucunya, buyut-buyutnya.”

Baca juga:  Madhi, Sebuah lakon

“Kamu sendiri, kapan terakhir ziarah ke makam simbah?”

“Delapan bulan yang lalu mi. Sehabis salat ied, bareng pakde, bude, paklik, bulik, dan beberapa sepupu.”

“Ya sudah, kamu habis ini sekalian saja ikut ke makam. Sering-seringlah ke tempat simbah, jangan biarkan beliau sendirian di sana. Rasanya umi kok ndak tega kalau membayangkan simbah sendirian di liang kubur.”

Seketika itu juga ingatanku tertuju pada sebuah halaman di novel Seratus Tahun Kesunyian karangan Gabriel García Márquez sementara bubur di depanku mulai dingin. Aku masih ingat betul salah satu tokoh di dalamnya bangkit dari kematian sebab tak kuasa menanggung kesendirian. Apakah memang seberat itu?

Akhirnya, kami berlima sepakat menuju makam simbah. Adikku yang awalnya ogah-ogahan karena masih mengantuk pun langsung menuju kamar mandi setelah menuntaskan suapan terakhir buburnya.

Pagi itu kami berlima berjalan kaki menuju ke makam yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Di sana, umi mulai memanjatkan doa dan kami mengikutinya. Beliau nampak khidmat. Ziarah lantas ditutup dengan kerinduan yang terobati sedikit demi sedikit.

“Hanya orang-orang yang pernah kehilangan yang memahami soal kerinduan. Sebab, tak setiap kepergian membawa kepulangan. Mungkin saja sekarang ini kamu belum merasakan apa yang umi rasakan. Tapi kelak, saat umi sudah tidak ada, kamu akan mulai mengerti.”

Umi lalu berjalan keluar dari komplek pemakaman dengan menggandeng cucunya.

“Nanti sarapan disuapin uti ya?” Tanyanya kepada anak kecil yang masih berusia tiga tahun itu.

Komentar Facebook
0