Pemuda sebagai Katalisator Perubahan Pendidikan di Era Society 5.0 Hisniyatul Muna Maula Esai 7 Juli 2023 0 4 min read Meledaknya populasi pemuda Indonesia secara kuantitatif telah menjadi salah satu tantangan terbesar di dunia (Kemenkominfo, 2021). Diperkirakan pada tahun 2045, lebih dari 64 juta manusia akan berada di rentang usia produktif, yakni antara 15 sampai 34 tahun. Tentunya, keberadaan pemuda dengan usia produktif tersebut akan berdampak baik jika dikelola dengan baik pula. Begitupun sebaliknya, hal tersebut akan menjadi bom waktu yang bisa memporak-porandakan tatanan kehidupan jika tidak diantisipasi dengan cermat dan cerdas. Sebagaimana contoh dalam realitas yang ada saat ini, berbagai masalah yang disebabkan pemuda telah mencoreng peradaban bangsa Indonesia, atau bahkan di kancah dunia. Dapat dibayangkan, setidaknya ada 323 kasus kenakalan pemuda dengan berbagai kasus yang ada (Antaranews, 2022). Bahkan, dalam kurun waktu antara tahun 2016-2022, KPAI mencatat bahwa jumlah kasus kenakalan pemuda mencapai 2.883 kasus dan telah ditangani oleh hukum (Daniellyanto, 2023). Belum lagi, kasus-kasus lain yang tidak terekspos media. Tidak jarang pula, kenakalan pemuda saat ini bahkan sampai di luar batas kemanusiaan. Alhasil, hal tersebut pun menjadi keprihatinan semua orang, mengingat bagaimanapun kualitas pemuda menjadi harapan bersama. Berdasarkan survey dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, disebutkan bahwa generasi muda yang berkualitas tinggi memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Society 5.0 (Suwiryawati et al., 2022). Sementara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mengungkap bahwa di tahun itulah peradaban pendidikan mestinya menjadi tumpuan bangsa, sehingga dunia pendidikan harus terus berbenah (Tugiah & Jamilus, 2022). Ini tentu menjadi peluang unik bagi negara untuk memanfaatkan kekuatan kaum mudanya dan memberdayakan mereka agar mampu melakukan perubahan positif di masyarakat. Terlebih, di era Society 5.0, berbagai inovasi dan teknologi yang muncul semakin mendorong pentingnya negara Indonesia untuk melibatkan dan memberdayakan kaum muda agar menjadi peserta aktif dalam membentuk masa depan bangsa. Baca juga: Sebagai Santri, Haruskah Bersikap atas Sahnya RUU Pesantren?Sementara itu, keberadaan populasi pemuda Indonesia yang besar banyak memberikan peluang bagi pemberdayaan dan keterlibatannya di era Society 5.0. Menurut Badan Pusat Statistik, penduduk Indonesia pada tahun 2022 akan mencapai 275,77 juta jiwa. Berdasarkan kategori usianya, sebanyak 69,25% berusia 15-64 tahun dan sebanyak 24% berusia 0-14 tahun (Rizaty, 2022). Demografi ini menghadirkan potensi besar untuk melakukan inovasi dan perubahan positif di masyarakat. Di sisi lain, keberadaan Indonesia yang majemuk telah menghadirkan populasi pemuda dengan berbagai budaya, agama, dan latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Keragaman ini memberikan banyak peluang untuk pemberdayaan dan keterlibatan di berbagai bidang masyarakat. Pemberdayaan pemuda dari berbagai latar belakang dapat mengarah pada masyarakat yang lebih inklusif dan dinamis. Di sisi lain era Society 5.0 menghadirkan peluang bagi pemuda untuk berpartisipasi dalam ekonomi global, menciptakan teknologi baru, dan menjadi pemimpin masa depan. Dengan maraknya teknologi dan globalisasi, populasi kaum muda negara ini berpotensi menjadi katalisator perubahan. Di bidang pendidikan, misalnya, kaum muda dapat diberdayakan untuk menjadi agen perubahan dengan menempuh pendidikan, mengadvokasi kebijakan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan, mempromosikan akses pendidikan bagi masyarakat marginal, dan memperkuat kualitas peradaban pendidikan dengan berbagai karya-karya inovasi. Dalam hal pendidikan, pemberdayaan pemuda dapat mengarah pada pengembangan metode pengajaran baru dan inovatif, penciptaan teknologi pendidikan baru, promosi pembelajaran sepanjang hayat, serta menemukan riset dan pengembangannya dalam rangka menjawab realitas problematika di masyarakat. Maka, untuk memberdayakan pemuda Indonesia secara efektif dapat dipahami pada beberapa hal, di antaranya: Baca juga: Islamic Boarding School dan Istilah Pesantren yang MembagongkanPertama, fokus pada sumber daya. Hal ini penting dalam menyediakan akses kepada sumber daya yang ada untuk berbagai kolaborasi dan pengembangan kepemimpinan ke depan. Sumber daya ini dapat dilihat dari seberapa besar sumber pendanaan ataupun program pelatihan yang mampu membantu kaum muda untuk mengembangkan keterampilan dan mengejar harapan mereka. Pada konteks pendidikan, misalnya, hal itu dapat diberikan melalui jalur formal dan informal. Sementara itu, dalam hal ini, merdeka belajar yang sesungguhnya merdeka akan menjadi titik penting dalam menguatkan potensi kaum muda (Ichsan et al., 2021). Peluang untuk kolaborasi dapat diberikan melalui berbagai kegiatan magang, pengabdian, dan proyek-proyek gerakan komunitas. Tidak hanya itu, demi penguatan sumber daya, maka perlu adanya pengembangan kepemimpinan melalui pendampingan, pembimbingan, serta pelatihan dalam berbagai aspek kehidupan. Kedua, fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Pemberdayaan pendidikan pemuda Indonesia di era 5.0 dapat membawa perubahan sosial yang signifikan jika berfokus pada kualitasnya. Karena, bagaimanapun dan dengan berbagai alasan apapun, peradaban suatu bangsa selalu ditentukan dengan adanya kualitas pemudanya (Puspitasari, 2019). Sebagai pelaku utama estafet penerus bangsa, maka kuantitas pemuda tidak lagi bermakna. Tidak heran jika Bung Karno dengan lantang mengatakan “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” (Candra, 2020). Sebuah kutipan pidato yang sarat makna. Artinya, pemuda menjadi tumpuan masa depan sebuah bangsa. Walaupun satu pemuda memiliki kualitas yang mumpuni, maka seribu kuantitas manusia yang lainnya tiada guna. Karena sejatinya bangsa ini merdeka juga tidak terlepas dari gerakan pemuda itu sendiri (Rusdiana, 2017). Maka dari itu, pendidikan menjadi kunci utama dan jalan satu-satunya dalam mengaktualisasikan kualitas diri, bukan kuantitas antar pribadi. Baca juga: Asinonimitas, Al-Quran, dan Penerjemahan yang Tergesa-gesaKetiga, fokus pada inklusifitas, bukan eksklusifitas. Jika pendidikan nasional sejak dini telah disadarkan pentingnya pendidikan inklusif, maka peradaban manusia dalam kurun 5-10 tahun ke depan tentu akan membaik (Tamam & Arbain, 2020). Anak didik yang sejak dini dibina, dibimbing, dan diteladani makna inklusifitas kehidupan keseharian ia akan lebih memahami orang lain, lebih empati, lebih memberikan solusi kehidupan sosial, dan lebih membawa banyak manfaat bagi alam. Begitu juga anak didik yang sejak dini diajari makna eksklusifitas, maka dipastikan ia akan menyendiri dengan sifat egosentrisnya, membully teman-temannya, hanya fokus pada identitas pribadi dan golongannya, serta merusak tatatan masyarakat yang ada. Maka dari itu, penjelasan di atas mengisyaratkan kesimpulan penting, yakni pemuda Indonesia memiliki potensi besar sebagai katalisator perubahan pendidikan di Era 5.0. Seorang pemuda bukan saatnya lagi merasa nyaman dengan zonanya. Ia harus terus memiliki kemauan dan kemampuan belajar dengan prinsip long life education, berpikir dan bertindak kreatif, inovatif, terampil berteknologi, kolaboratif berbasis reflektif, dan berkonsep human-centered dengan berprinsip pada memanusiakan manusia seutuhnya. Sehingga, hal tersebut akan berimbas pada kualitas peradaban sebagai promosi pembangunan berkelanjutan yang diharapkan bersama. Komentar Facebook 0