Sumber Gambar: tirto.id

Cak Nur dan Pembaruan Pemikiran Islam

Januari, menjadi halaman pertama di lembaran baru kehidupan tahun 2022. Menginjak hari ketiga di bulan Januari 2022, saya menganggap bahwa pada hari ini adalah momentum yang sakral bagi sejarah intelektual bangsa Indonesia dan tonggak awal pembaruan pemikiran bagi umat Islam di Indonesia.

Tepat pada 3 Januari 1970 silam, Cak Nur (Nurcholis Majid) mempresentasikan sebuah makalah yang bertajuk “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.” Makalah tersebut disampaikan pada silaturahmi antara para aktivis, anggota, dan keluarga empat organisasi: Persami, HMI, GPI, dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta, di Jakarta pada 3 Januari 1970 (Nurcholis Majid dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, 2013: 386).

Pada makalah tersebut, Cak Nur mengumandangkan akan pentingnya pembaruan pemikiran di dalam tubuh umat Islam di Indonesia. Memang kita akui bersama, secara kuantitas Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia, namun apakah perihal tersebut membuat jumawa? Tentunya tidak semudah itu, umat Islam di Indonesia merasa berbesar hati mengenai jumlahnya yang mungkin menjadi ancaman bagi bangsa Barat.

Baca juga:  Belajar Sufi dari Anak Rusa

Cak Nur menegaskan pentingnya kualitas daripada kuantitas umat Islam. Kualitas tersebut, dapat dicapai oleh umat Islam dengan adanya “sekularisasi.” Sekuler dan sekularisme berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan, dan lain-lain). Namun sebetulnya, kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya “zaman sekarang ini.” Maka, sekularisasi dimaknai Cak Nur bukan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed worldview which function very much like a new religion. Tetapi, bagi Cak Nur memaksudkan sekularisasi adalah untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikan hal-hal yang duniawi (Nurcholis Majid, 2013: 250-261).

Berangkat dari pernyataan Cak Nur di atas, sekularisasi adalah proses mengukhrawikan hal-hal yang duniawi. Maka, bisa diasumsikan bahwa sekularisasi adalah “proses temporarisasi” yang, merupakan kontekstualisasi mengenai hal-hal yang dahulu dan sekarang. Misalnya dalam hemat saya, sekarang ini sudah tidak zamannya lagi menganggap sakral sebuah benda pusaka yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural yang tidak jarang hal tersebut akan mencetuskan konflik horizontal antara kaum Islam tradisionalis dan modernis. Konflik tersebut akan membuang-buang tenaga dan pikiran, sehingga dalam istilah Cak Nur, hal tersebut menjadikan kejumudan umat Islam Indonesia pada umumnya.

Baca juga:  Hadis Teroris, di Tangan Gus Mus Menjadi Sebuah Kritik Sosial yang Cantik

Beranjak dari perihal yang telah diutarakan di atas, mengenai problematika umat Islam yang masih kita jumpai sampai dewasa ini. Maka dalam makalahnya, Cak Nur mempunyai gagasan bahwa umat Islam di Indonesia harus melakukan pembaruan pemikirannya melalui idea of progress dan sikap terbuka.

Menurut Cak Nur, idea of progress adalah kepercayaan akan masa depan dalam sejarahnya dan tidak perlu khawatir akan perubahan-perubahan tata-nilai yang berlaku pada masyarakat. Konsistensi dari idea of progress ialah keterbukaan sikap mental, yaitu berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari manapun sumbernya, asalkan mengandung kebenaran.

Sedangkan sikap terbuka yang bagi Cak Nur merupakan sebuah tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah dan orang yang bersikap tertutup adalah “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit” dan hal tersebut merupakan tanda kesesatan.

Selain kedua point sebelumnya, Cak Nur juga mengharuskan umat Islam Indonesia untuk berpikir bebas (intellectual freedom). Karena bagi Cak Nur, jika umat Islam tidak memiliki pemikiran yang segar, umat Islam kehilangan daya tonjok psikologi (psychological striking force) di era modernisasi yang kita lihat saat ini (Nurcholis Majid, 2013: 252-254).

Baca juga:  Gejala Muslim Generasi Milenial: Ngaji Tak Perlu ke Kiai, Cukup Buka Youtube Saja

Setelah apa yang telah dikemukakan sebelumnya, kita perlu mengapresiasi gagasan Cak Nur mengenai pembaruan pemikiran umat Islam yang saya rasakan saat ini, masih berkutat pada hal-hal yang ukhrawi. Padahal, perihal tersebut sudah selesai sejak zaman sahabat-sahabat Nabi dahulu. Perbedaan mengenai pemahaman fikih dalam beribadah dan perbedaan yang lain harus segera kita sudahi, karena sudah waktunya umat Islam di Indonesia untuk bersatu menatap zaman yang serba digital ini yang tidak bisa kita pungkiri, bangsa Barat telah menghegemoni kita melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Komentar Facebook
0