sumber gambar pikiran-rakyat

Apakah Benar Islam Identik dengan Poligami?

Praktik poligami dalam pandangan masyarakat awam, dikenal sebagai ajaran yang identik dengan islam. Hal ini berpandangan pada al-Qur’an sendiri yang memperbolehkan mempunyai istri dua, tiga, bahkan empat. Walaupun demikian jika kita mau melihat sejarah, sebenarnya praktik poligami sudah ada jauh sebelum islam datang dan bukan ajaran dari agama islam itu sendiri. Mari kita telaah kembali apakah benar islam identik dengan Poligami?

Di situs pinterpandai.com menjelaskan bahwa pada umumnya kita memaknai bahwa poligami adalah istilah yang merujuk pada seorang suami yang memiliki banyak istri, padahal seorang perempuan yang mempunyai banyak suami juga di sebut sebagai poligami. Oleh karena itu poligami dibagi menjadi dua, jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu disebut poligini sedang jika seorang istri yang memiliki suami lebih dari satu disebut poliandri, tapi istilah yang lebih populer di kalangan masyarakat adalah poligami.

Poligami bukan merupakan budaya yang baru, sebagai contoh ibu kita Kartini, pada saat itu juga dipoligami. Kartini menjadi istri keempat bupati Jepara), namun seiring perkembangan zaman banyak faktor yang akhirnya mengubah paradigma masyarakat tentang poligami. Adanya dukungan dari gerakan-gerakan feminis dan emansipasi wanita yang beranggapan bahwa praktik poligami sudah tidak relevan diera modern seperti saat ini.

Terlepas dari semua itu, agaknya Islam memang menjadi objek pengkambinghitaman dalam praktik ini, yang seakan-akan mewajibkan umatnya untuk berpoligami. Para pelaku poligami selalu menjadikan agama sebagai tameng untuk membenarkan keinginannya.

Jauh sebelum era Islam, poligami merupakan praktik yang sudah membudaya, pada kultur manusia hampir-hampir di seluruh belahan dunia. Musdah Muliah (2007) dalam bukunya Islam menggugat poligami menjelaskan bahwa, pada awalnya poligami muncul karena faktor politik, sosial, geografi, ekonomi dan berbagai faktor lainnya.Poligami bukan karna nafsu semata, akan tetapi kondisi lah yang menyebabkan manusia harus berpoligami, jadi jika menilik ke belakang ribuan tahun yang lalu ketika populasi manusia masih sedikit dan ketika umat manusia saat itu masih bertumpu pada aktivitas perburuan, peternakan, pertanian dan cocok tanam.

Masih mengutip Musdah Mulia, seorang kepala keluarga memerlukan anak yang banyak untuk ikut serta menggerakkan perekonomian keluarga salah satunya dengan cara menikahi banyak perempuan (poligami) dengan banyak anak maka semakin banyak pula teritori yang mereka kuasai. Sehingga di sinilah muncul anggapan dari orang-orang terdahulu banyak anak banyak rezeki, dengan banyaknya keturunan semakin besar kemungkinan membangun sebuah peradaban yang awalnya dari kelompok suku hingga menjadi bangsa dan akhirnya, menjadi kerajaan dari sinilah muncul persaingan antar suku bangsa demi untuk menguasai sumber daya alam dan teritori.

Baca juga:  Nasehat Syekh Ali Jaber Tentang Wanita Yang Tak Memakai Jilbab

Akhirnya terjadilah peperangan, saat perang diperlukan pasukan  yang tangguh, laki-laki dianggap sebagai gender yang berkualitas  sehingga diperlukan banyak anak laki-laki untuk dimanfaatkan sebagai penjaga keamanan suku bangsa mereka, dan mempunyai peran yang sangat besar, ketika seorang istri tidak mampu melahirkan anak laki-laki, maka seorang suami menikahi perempuan lain  untuk mempunyai anak laki-laki sehingga dari sinilah dapat terlihat bahwa poligami bukanlah merupakan produk agama melainkan sedari awal adalah merupakan produk budaya yang dipengaruhi situasi dan kondisi. Poligami dahulu dijadikan sebagai solusi dari berbagai masalah dan ancaman yang mereka hadapi, bukan semata-mata karena nafsu belaka.

Lalu sejak kapan poligami menjadi praktik kesenangan pemuas nafsu? Ini terjadi ketika semua manusia telah memiliki suku bangsa, teritori, sumber daya alam dan lain sebagainya, sehingga praktik poligami sudah tidak penting lagi. Namun dari sejarah ini lambat laun menjadikan perempuan kaum kelas kedua. Mulai dari situ, lahir sistem sosial patriarki, sistem ini jika tidak terkontrol dapat membuat laki-laki berperilaku semena-mena terhadap perempuan ditambah lagi faktor biologis laki-laki, dan adaya faktor kultur yang masih membudaya sehingga, walaupun poligami sudah tidak lagi urgen praktik ini masih tetap dilakukan.

Poligami berubah menjadi kesenangan kaum bangsawan namun rakyat miskin lebih memilih monogami. Kondisi inilah yang terjadi hampir di seluruh peradaban khususnya di daerah arab sebelum datangnya islam. Faktor geografis, ekonomi yang sulit serta keadaan politik yang mudah perang, mau tidak mau secara alami membutuhkan anak laki-laki yang banyak untuk menjaga sosial, ekonomi, politik, serta peperangan. Dampaknya anak perempuan kala itu dipandang sebelah mata inilah yang menyebabkan kenapa orang-orang arab jahiliyah tidak suka jika anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, sehingga anak-anak perempuan yang lahir mereka bunuh dan kubur hidup-hidup. Baru kemudian setelah datangnya islam. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an surah an-Naml ayat 58-59.

Baca juga:  Simakan dan Tadarus Alquran Ala Nabi dan Sahabat

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.

Dan juga Hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan memiliki anak perempuan, salah satunya hadis.

مَنْ كَانَتْ لَهُ أُنْثَى فَلَمْ يَئِدْهَا وَلَمْ يُهِنْهَا وَلَمْ يُؤْثِرْ وَلَدَهُ عَلَيْهَا قَالَ يَعْنِي الذُّكُورَ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa memiliki anak perempuan (atau saudara perempuan), ia tidak menguburkannya hidup-hidup, tidak menghinakannya, dan tidak melebihkan anak laki-laki di atas mereka, maka Allah akan memasukkan dia ke dalam surga.” (H.R Abu Dawud:4480)

Jadi anak perempuan yang awalnya dianggap pembawa sial kini setelah datangnya islam status mereka diangkat, dihormati, dan dihargai. Bahkan saking rendahnya perempuan pada masa itu istri-istri yang ditinggal mati suaminya bisa menjadi hak waris oleh ahli warisnya, sehingga ahli waris boleh saja memiliki atau mengawini istri-istri ayahnya, dari budaya inilah akhirnya turun Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 22 yang secara jelas melarang tentang praktik mewarisi para istri-istri ayahnya.

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Dan dari praktik ini bisa saja orang-orang pada saat itu memiliki istri lebih dari sepuluh lewat cara turun temurun (waris), tanpa adanya konsekuensi apakah ia mampu berbuat adil atau tidak. Kemudian ketika turun surah an-Nisa ayat 3 yang bisanya dijadikan sebagai dalil poligami.

Baca juga:  Sebagai Santri, Haruskah Bersikap atas Sahnya RUU Pesantren?

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

Ketika ayat ini turun apa yang terjadi? Para sahabat yang telah memeluk islam yang dulunya mewarisi atau memiliki banyak istri, kemudian harus rela menceraikan istri-istrinya tersebut sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya al-Munir disebutkan Ghailan bin Umayyah ketika masuk islam ia memiliki sepuluh istri lalu Rasulullah SAW, berkata kepadanya “pilihlah empat di antara istri-istrimu itu lalu ceraikanlah yang lainnya.”

Dalam tafsir al-Azhar Buya Hamka juga mengutip cerita yang sama ketika Umair al-Asadi masuk islam ia memiliki delapan istri dan akhirnya harus memilih empat istri, di antaranya juga Naufal bin Muawiyah ad-Dily memiliki lima istri lalu harus menceraikan salah satu  di antaranya. Lalu Qais bin al-Haris al-Asadi awalnya juga memiliki delapan istri harus menceraikan empat di antaranya, jadi setelah turunya surah an-Nisa ayat 3 yang dijadikan anjuran berpoligami alih-alih berlomba-lomba menambah istri faktanya malah banyak sahabat yang menceraikan istri-istrinya untuk dibatasi menjadi empat saja. Ayat ini turun pada awalnya bertujuan untuk pembatasan bukan sebagai anjuran menambah istri, lebih tegas di akhir-akhir ayat disebutkan

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.

Penggalan ayat inilah yang disebut sebagai anjuran, sehingga walau dalam ayat ini menjelaskan batasan jumlah istri adalah empat pada hakikatnya menunjukkan anjuran beristri satu saja bukan sebaliknya. Jadi jika kita kaitkan orang-orang arab yang dulunya punya delapan sampai sepuluh istri ayat ini seolah-olah menganjurkan pilih satu saja, agar kita mampu berbuat adil dan tidak zalim.

Dari rangkaian penjelasan di atas, menunjukkan bahwa poligami bukanlah berawal dari agama Islam. Islam tidak memulai praktik poligami juga tidak mewajibkannya, poligami sudah ada sejak ribuan tahun lalu yang diselewengkan praktiknya. Kemudian Islam datang memperbaikinya dengan cara membatasinya.

Wallahu a’lam.

Komentar Facebook
0