Tampang Pesantren dan Isu Politik Elektoral

 Ilustrasi: http://edikusmayadi.blogspot.co.id/2011/07/
Kendati dianggap sebagai kaum terbelakang oleh banyak pihak umum, masyarakat pesantren dengan percaya diri selalu menampik stigma tersebut. Tidak dengan kata-kata pesantren membantah, karena secara fisik belum banyak pesantren dikatakan maju. Tapi secara haluan keagamaan dan politik, bobot pesantren tak bisa dipungkiri beratnya.

Di mana ada pesantren kinclong dan harum mewangi? Mungkin ada, tapi tidak dominan, pun biayanya selangit mahalnya. Pesantren, lebih-lebih yang berhaluan klasik, sering menampakkan aspek kesederhanaan lingkungan dan kemandirian ekonomi “nerimo ing pandum”. Barangkali pengaruh sufistik dalam literatur merekalah yang sedikit-banyak bertanggung jawab akan hal ini.

Merespon kemodernan pendidikan pun bagi pesantren menjadi dilema yang dramatis. Di satu sisi “mempertahankan konsep lama yang masih relevan”, di sisi sebelahnya ada “mengakomodir kebaharuan yang lebih baik”. 

Fakta di lapangan, sesuai hemat pengamatan penulis, telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren hari ini telah melampaui zaman dengan strategi kamuflase. Penulis menyebutnya dengan syaubah;bahasa Arab yang berarti campuran (tapi dinamis).

Itu terjadi bukan tanpa sebab dan dadakan. 

Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies-nya mengemukakan teori tasykil jama’i (pembangunan masyarakat) yang secara sadar dilakukan masyarakat pesantren sedari awal, hanya saja tak termaktub dalam legal formal keorganisasian. 

Melihat pola pandang masyarakat dewasa ini yang semakin pragmatis dan hedonis, pesantren tak menutup mata dengan hal itu. Dibangunlah sistem yang kontemporer dan terlihat akrab dengan kebaharuan di banyak pesantren, sebagai satire dari keklasikannya.

Kebaharuan hari ini telah menyeret banyak Kiai untuk berijtihad mempertahankan eksistensi pesantren. Di samping keterbukaan dengan dunia informasi diperlebar, jaringan birokrasi yang dirangkul pun semakin mengkapital. Salah satu strateginya bahkan menanam generasi di lapangan birokratis. 

Tujuannya, tentu, mendapatkan akses informasi kebijakan negara bahkan bisa sampai campur tangan sembunyi badan dalam mengambil keputusan. Ya seperti itulah kecerdasan pesantren.

Selama ini masyarakat pesantren nyaman-nyaman saja dengan stigma negatif yang disematkan padanya. Mereka menyadari, betapa fungsi pesantren sebagai sentra dakwah dan pendidikan Islam di masyarakat punya potensi besar yang tak bisa terlihat dengan sekilas saja. 

Boleh jadi stigma negatif dari masyarakat umum terhadapnya, oleh pesantren dihayati sebagai laku tirakat sebagai santri yang kelak akan turun dari kawah Candradimuka, menuju dataran masyarakat luas.

Di tinjau dari kacamata sosiologi, ranah masyarakat pesantren hari ini masih digapai-dikuasai dengan pengelolaan yang potensial. 

Keterwakilan masyarakat pesantren dalam dinamika kehidupan berbangsa-bernegara menyasar hampir di segala bidang, baik ekonomi hingga politik, apalagi keagamaan. Sesuai dengan teori Habitus-nya Pierre Bourdieu (1930-2002), bahwa masyarakat pesantren bisa dianggap punya kapital modal berupa ajaran Islam yang kontekstual dan responsif. 

Akibat dari itu alumni-alumni pesantren yang berkiprah di masyarakat luas tetap bisa menajamkan gerakan dakwahnya tanpa aral rintangan dari interpretasi mereka terhadap ajaran Islam.

Ada muballigh atau guru ngaji yang kesehariannya akrab dengan lokakarya masyarakat seperti macam petani, tukang kayu, buruh dan lain sebagainya. Alumni pesantren bisa nyaman dan menembus ranah kehidupan apapun. 

Di tingkat yang lebih elit, ranah politis atau birokatis misalnya, alumni pesantren bisa tetap menanjak naik bahkan sampai pucuk pimpinan negara seperti yang dipraktikkan oleh Gus Dur.

Oleh karena demikian, pesantren sebenarnya telah mengahayati nilai-nilai kehidupan sosial secara seksama dan perlahan kemudian melahirkan sebuah perilaku sosial yang mendarah daging. Artinya, pesantren dengan kamuflasenya hingga hari ini, tidak hanya mengaktualisasikan sistem pendidikan yang bersifat baharu, tapi lebih dari itu, tetap saja bisa eksis dan punya daya saing dengan kelas-kelas masyarakat manapun di Indonesia.

Perilaku kolektif masyarakat pesantren hari ini dengan tampang yang sekilas terlihat meragukan, pada dasarnya lahir dari habitus kemurnian ajaran Islam yang mereka pegang, ditunjang pula dengan modal kapital berupa tafsir tentang relasi agama dan kehidupan yang kontekstual.

Hari ini bisa dilihat buktinya, bahwa di tengah-tengah riuhnya persaingan politik elektoral, masyarakat pesantren tanpa diprediksi telah mencengangkan banyak orang, dengan mendadaknya Kiai Ma’ruf Amin terpilih sebagai calon wakil Presiden, walau padahal sebelumnya ada seorang profesor terkenal dan didukung banyak orang sudah dikandidatkan. Tampang bersarung dan berpeci justru semakin menegaskan potensi dan kemampuan masyarakat pesantren tak bisa dinilai dari kekolotan tampilan.

Fenomena itu secara tidak langsung memberi pernyataan pada semua orang bahwa masyarakat pesantren tak bisa dipandang sebelah mata. Menyepelekan pesantren hanya akan membawa orang pada kekalahan dan malu sendiri. Karena diam-diam, dibalik hiruk pikuk dunia modern dan disruptif ini, pesantren tak bisa tercerabut dari realitas kehidupan bangsa Indonesia. 

Pesantren justru semakin eksis, barangkali bisa diangap sudah menjadi institusi induk masyarakat Indonesia dari zaman proklamasi. Anak tak akan jauh dari induknya.

Legalitas secara kolektif dari masyarakat pesantren sebagai rakyat kecil tak bisa dibeli murah. Jaringan dan koneksi antar pesantren walau tak resmi sudah menancapkan solidaritas dan kebersamaan. Suara masyarakat pesantren saat ini dalam dunia politik, punya orientasi untuk selalu mereduksi resiko-resiko politik. Maka dalam kondisi tertentu masyarakat pesantren bisa membelah diri untuk keberpihakan mereka pada sosok calon pemimpin.

Boleh jadi di kondisi lain, masyarakat pesantren mem-bunglon tanpa disadari banyak orang mereka berpihak di kubu politik mana. Bukan karena alasan pragmatis pesantren melakukan itu, tapi lebih kepada nilai perjuangan sebagai orang Islam yang menghargai ilmu keislaman yang diimplementasikan sesuai kebutuhan negara, bukan sesuai tafsir sepihak.

Tak pelak masyarakat pesantren akan selalu mengawal politik elektoral serta mengupayakan lahirnya pemimpin dan para birokrat, dan meramalkan (baca; mengkonstruksi) jalannya perpolitikan yang sesuai dengan visi-misi pesantren.

Walau berbasis masyarakat agama, pesantrenlah yang justru hari ini berusaha mengesampingkan isu-isu agama dari permukaan politik. Begitu.
Komentar Facebook
0
Baca juga:  Moral Pesantren Masa Kini; Mulai Perut ke Kepala atau Perut ke Kaki?