Ngaji Gus Rum: Menyamak Kulit Bangkai

Penulis: Mujib Romadlon


Mungkin anda bertanya-tanya? Mengapa Rasulullah saw. harus capek-capek mengurusi penyamakan kulit. Apakah itu penting untuk dibahas? Apa gunanya pula seorang Rasul utusan Allah membahas hal remeh temeh ihwal kegiatan manusia seperti pemanfaatan kulit bangkai.

Di sinilah letak keistimewaan Islam. Islam tak hanya mengajarkan untuk sekedar ibadah. Ibadah sehari-hari kepada Allah dituntut pula suci dan bersih badannya, pakaiannya maupun tempatnya.

Apa ya pantas? jika ibadah yang bertujuan menuju sang pencipta, namun kok kita berpakaian sak penake wudele dewe?

Pada awalnya, kulit hewan akan mudah membusuk bila hanya dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu metode pengawetan kulit harus berinovasi agar lebih awet. Pengawetan kulit awalnya hanya menggunakan tanah saja, kemudian ditarik, setelah itu dijemur. Dan selesai. 


Apakah cukup seperti itu?

Bukan manusia namanya jika tak berinovasi pada kebutuhan hidup. Pada zaman Rasulullah. Pengawetan kulit sudah dikenal dengan istilah ‘penyamakan’, Bahkan teknologi penyamakan kulit (skin) sudah dilakukan secara nabati, yakni dengan menambahkan qarad (sejenis nama tumbuhan).

Buktinya adalah 2 Hadis berikut:

Dari Salamah bin Muhabbiq berkata, “Penyamakan kulit bangkai itu (sama saja) penyuciannya.”

Maimunah istri Nabi Muhammad berkata: “Bahwa orang-orang lewat di depan Rasul saw. dengan menyeret (bangkai) kambing, lalu Rasul berkata: “Andai saja kalian mengambil kulitnya.” Mereka berkata; wahai Rasulullah, itu adalah bangkai, lalu Rasulullah saw. bersabda: “Air dan qorod akan menyucikannya.”

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita mengenal biografi sahabat yang memberitakan hadis tersebut. 


Yang pertama diriwayatkan oleh Salamah bin Muhabbiq. Beliau adalah seorang Sahabat Nabi yang memiliki kuniyah Abu Sinan. (Kuniyah adalah nama khas Arab dengan tambahan Abu atau Ummi).

Beliau mendapatkan nama Abu Sinan berlatar sejarah saat ia hendak menuju perang Hunain (8 H.), beliau mendapat kabar bahwa istrinya melahirkan seorang anak laki-laki. Namun, bukannya beliau bertolak kembali ke rumah, beliau malah berkata:

Baca juga:  Kerendahan Hati Nabi; Menambal Gelas Sendiri Dengan Perak

“Satu anak panah (sinan) yang aku bidikkan di jalan Allah dan RasulNya itu lebih aku cintai daripada anakku”.

Jenis peralatan perang saat itu salah satunya adalah anak panah yang dalam bahasa Arabnya ‘sinan’. Sehingga atas perkataan beliau di atas, nama putranya pun diberi nama Sinan bin Salamah al-Muhabbiq. Salamah al-Muhabbiq pun dikenal dengan nama Abu Sinan (ayah si Sinan).

Hadis yang kedua berasal dari salah satu Ummahatul Mu’minin: Maemunah. 


Beliau adalah perempuan terakhir yang dinikahi kanjeng Nabi saw. Awal mulanya ia bernama Barrah. Yang kemudian diganti oleh Nabi menjadi Maemunah di waqi’ Syarif. 

Nama salah satu daerah di perjalanan pulang ke Madinah, pasca kegagalan ibadah haji akibat perjanjian Hudaibiyah. Uniknya, tempat pertama Maemunah bertemu Nabi saw. juga merupakan tempat beliau dimakamkan pada akhir hayatnya. Pada usia ke-80, tahun 61 H.
Kita lanjutkan isi hadis di atas. Bahwa Hadis Salamah al-Muhabbiq menegaskan bahwa ‘menyamak kulit sama saja mensucikannya’. Jika hewan konsumsi disucikan dengan cara disembelih. 

Maka kulit bangkai disucikan dengan cara disamak. Sehingga kulit bangkai yang awalnya najis, pasca disamak sudah menjadi suci dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan.

Baca juga:  Keharaman Mengkonsumsi Daging Keledai Peliharaan dan Kisah tentang Abu Tholhah

Dimanfaatkan sebagai tempat minum, sudah tidak najis. Dijadikan sajadah untuk salat, sudah tidak najis. Semua itu suci karena sudah melalui proses disamak.

Sedangkan hadis yang kedua, memberitahukan kepada kita: bahwa air dan qorod (sejenis tumbuhan) merupakan salah satu media yang digunakan untuk mensucikan kulit bangkai, yang sedianya mutanajis bisa suci dengan memberinya qarad dan membilasnya dengan air.

Pertanyaannya, apa itu yang dinamakan qarad? Qarad adalah sejenis tumbuhan yang memiliki rasa masam (sepet) dan dapat menghilangkan sisa-sisa darah, lemak, daging. (memisahkan kulit dari bangkainya).

Maka dapat dipahami, bahwa bahan apa saja yang semisal qarad, entah nabati ataupun kimiawi boleh dan dapat digunakan untuk menyamak. Sekalipun bahan tersebut juga bersifat najis, misalnya kotoran merpati. 


Toh, sifat mutanajis itu pun akan otomatis hilang, karena pada proses akhirnya pasti dibilas menggunakan air yang dapat mensucikannya.

Selain berisi tentang penyamakan kulit dengan qarad dan air. Hadis Maemunah ra. juga memberikan petunjuk bagi kita untuk selalu memanfaatkan apa-apa yang kita miliki secara maksimal. Selama benda itu masih bisa dimanfaatkan maka manfaatkanlah, jangan sampai kita berlaku mubazir apalagi sampai mengesampingkan hal-hal remeh.

Kulit bangkai pun, yang seakan-akan sudah najis ternyata masih pula dimanfaatkan dengan cara disamak. Pasti benda lainnya juga memiliki daya guna yang lebih baik lagi. Mungkin kita merasa hal itu sudah tidak berguna bagi kehidupan kita. Namun, bisa saja orang lain justru masih membutuhkan hal tersebut.

Baca juga:  Ngaji Gus Rum: Makan Memakai Piring Non Muslim, Halalkah?

Bila menyepelekan hal-hal remeh tersebut saja kita dilarang. Apalagi menghamburkan harta untuk kepentingan yang tiada artinya. Untuk berfoya-foya dengan bermaksiat sudah jelas: haram hukumnya!

Nah dari dua hadis tersebut, maka kita pun tahu. Bahwa sesungguhnya hadis Rasul yang membahas hal-hal remeh secara mendetail dan spesifik bertujuan untuk memberikan edukasi pembelajaran yang dapat kita ambil sebagai pedoman hidup

Dari hadis sucinya menyamak kulit bangkai, setidaknya kita mengetahui beberapa hal:

Pertama, kita dapat mengetahui teknologi sejarah pemanfaatan kulit sebelum industri plastik sekarang ini.

Kedua, Kesempurnaan ibadah mengacu pada sucinya, badan, pakaian dan tempat.

Ketiga, Larang menghamburkan harta yang kita miliki (idha’atul mal).

***

Tambahan dari penulis:

Terakhir, Fakta perdagangan bahan kulit binatang saat ini memang mencengangkan. Berabad lamanya proses pembuatan kulit ini pun semakin berkembang. Bahan kulit mengalami proses produksi yang lebih efektif dan efisien. Pada saat ini, kulit binatang pun telah dapat digantikan dengan produksi kulit sintetis, perpaduan antara tekstil dan plastik.

Bila semuanya sudah berbahan plastik?

Yang pasti akan memicu kerusakan tanah, karena pastinya sulit diuraikan.

Apakah nanti peradaban manusia akan kembali menggunakan kulit hewan?

Mengingat kulit juga merupakan sumber daya alam yang selalu bisa diperbaharui.

Sekalipun sekarang ide ini adalah sesuatu hil yang mustahal.


Namun tak menutup kemungkinan, bahwa itu bisa terjadi, kelak di kemudian hari. Ketika anak cucu kita sudah sadar. Bahwa ekosistem bumi layak untuk diperjuangkan (lagi).
Komentar Facebook
0