Kerendahan Hati Nabi; Menambal Gelas Sendiri Dengan Perak

Penulis: Mujib Romadlon


Melanjutkan kajian hadis selanjutnya, hadis kali ini diriwayatkan oleh Shahabat Anas bin Malik. Setelah Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Umar, Kemudian ada nama Anas bin Malik, sebagai orang ke-3 yang banyak meriwayatkan hadis.

Sahabat Anas bin Malik lebih kurang 10 tahun bersama Rasul, inilah yang menjadi faktor keberhasilannya bisa menyampaikan sebanyak 2836 Hadis.

Bagaimana ceritanya?


Baru berselang 1 hari Rasulullah sampai ke Madinah. Ibunda Anas yang bernama Ummu Sulaim berkata;

“Ya Rasulullah, tidak ada laki-laki atau perempuan dari golongan Anshar kecuali mereka telah memberimu hadiah, akan tetapi aku tidak menemukan sesuatu yang bisa kuhadiahkan kepadamu kecuali putraku ini, maka ambillah ia, jadikanlah ia pembantumu.”

Mulai saat itu Anas pun telah menjadi pembantu kanjeng Nabi Sehingga semenjak kecil beliau hidup di dalam pendidikan dan penjagaan Nabi. Berlangsung selama sepuluh tahun.

Sekalipun masih kecil, Anas ini sudah memiliki kemampuan baca-tulis. Sungguh kemampuan yang sangat langka, mengingat budaya tanah Hijaz ada pada hafalan.

Dari bakat kecerdasan sekaligus kemauan yang kuat untuk meniru Rasulullah menjadikan Anas setelah Rasulullah wafat tetap menjadi pioner penyebar ilmu Islam. Sehingga saat kematian beliau di Bashrah.

Murid beliau yang bernama al-‘Ijli bahkan berkata, “telah hilanglah separuh ilmu.” Abu Hurairah pun memuji bahwa salat yang paling mirip dengan cara salatnya kanjeng Nabi adalah salatnya Anas bin Malik.

Sebagai pelayan Rasul semenjak kecil menjadikan beliau sosok yang lebih tahu tentang keadaan Nabi. 


Beliau berkata, “tidak ada kain sutera yang lebih halus daripada telapak tangan Nabi.” 

Tak cuma itu, bahkan beliau pun mengikuti salat malamnya kanjeng Nabi sampai kaki beliau melepuh dan mengeluarkan darah. Saking menapak tilas sebagaimana yang pernah dialami oleh Rasulullah. 

Baca juga:  Jangan Memahami Hadis Secara Sepotong: Ketahuilah Keseluruhan Konteksnya

Selama menjadi pelayan Nabi. Tak pernah sekalipun merasakan tertekan, dibentak, atau dimarahi oleh Nabi sendiri. Padahal Sahabat Anas ini semenjak berusia kecil meladeni Nabi. 

Secara umum namanya anak kecil pasti kadang membuat jengkel orang tua. Tapi ini tidak pantas dialamatkan kepada Nabi Sebagai suri tauladan terbaik. 


Perlakuan kepada Sahabat Anas bisa dijadikan contoh, Ada salah satu kisah berikut ini:

Suatu hari kanjeng Nabi mengutus Anas untuk suatu keperluan. Anas kecil kemudian keluar dan malah menuju anak-anak kecil yang sedang bermain di pasar. Maka ketika Anas sedang bermain bersama anak-anak kecil, tiba-tiba ia dapati ada seseorang yang berdiri di belakangnya, sambil menarik baju Anas kecil.

Saat menoleh seketika ia mendapati Rasulullah sedang tersenyum manis dan berkata:

“Wahai Unais apakah engkau sudah mengerjakan keperluan yang telah ku perintahkan padamu?

Maka seraya Anas pun berlari dan berkata :

“Ya, aku akan kerjakan sekarang wahai Rasulullah!.”

(Perlu diketahui pula, Unais adalah nama panggilan kecil Anas yang diberikan oleh Rasulullah )

Pembahasan isi hadis bulughul maram kali ini:

Dari Sahabat Anas bin Malik “Sesungguhnya gelas Nabi Muhammad retak, lalu beliau menambal tempat yang retak tersebut dengan sambungan yang terbuat dari perak.”

Mengingat hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, maka otomatis hadis ini Sahih Nah beberapa pengertian yang bisa diambil dari hadis ini adalah:

Baca juga:  Keharaman Mengkonsumsi Daging Keledai Peliharaan dan Kisah tentang Abu Tholhah

Pertama, secara lafalnya kita sudah dapat mengambil kesimpulan; kita diperbolehkan menambal gelas dengan tambalan yang berupa perak. Dan ini juga pendapat Madzhab Syafi’i.

Hal ini diperbolehkan karena memang sudah hajat/kebutuhannya. Namun malah bila dipakai untuk hiasan, bukan karena faktor kebutuhan/hajat. sebagai aksesoris misalnya, maka hukumnya berubah menjadi tidak boleh.

Ini khusus untuk perak saja, bilamana tambalannya memakai emas, terus hukumnya bagaimana? Hukumnya tidak boleh alias haram.

Perspektif Madzhab Maliki dan Hanabilah yang diperbolehkan bila tambalannya kecil itu tidak menjadi soal. Tapi bila tambalannya besar itu menjadi tidak boleh.

Abu Hanifah berbeda lagi, hukumnya itu boleh bilamana cara memakainya alat minum tersebut, tidak meletakkan bibir di bagian tempat yang ditambal dengan perak. Kalau meletakkan bibirnya di bagian tambalan perak tersebut, menjadi tidak boleh. Madzhab Hanafiyah tergantung cara dari penggunaannya saja.

Nah sekalipun Hadis Riwayat Anas bin Malik ini memperbolehkan tambalan dari perak. Namun masih ada pula generasi sahabat dan tabi’in lain yang berpendapat bagaimanapun wujudnya bila ada emas maupun perak. Tetaplah tidak boleh! Alasannya ialah adanya hadis:

“Barangsiapa yang makan/minum memakai wadah dari emas/perak sama saja memasukkan neraka ke dalam perutnya.”

Bagaimana kita menanggapi dua hadis yang seakan-akan memiliki pertentangan ini?

Untungnya kita telah diwariskan oleh ulama bidang keilmuan yang dinamakan Usul Fikih. Pendapat yang melarang penggunaan gelas tambalan perak dengan mengacu pada hadis ‘larangan wadah emas/perak’ itu tidak tepat karena dalil ini bersifat ‘am/umum.

Baca juga:  Ngaji Gus Rum; Meskipun Bangkai, Kulit Binatang Bisa Disucikan Dengan Disamak

Sedangkan kebolehan memakai tambalan perak melalui hadis riwayat Anas bin Malik itu bersifat khas dan tidak tepat bila pelarangan tambalan perak kok dihukumi pakai hadis yang ‘am.

Hadis pelarangan wadah emas/perak itu muthlaq pada keseluruhan wadah emas-perak. Namun demikian sudah ada pembatasnya pada hadis bolehnya wadah dengan tambalan perak (muqoyyad).

Artinya hadis riwayat Anas telah memberikan hukum yang khusus dengan membolehkan perak sebagai kebutuhan tambalan perak saja, sehingga gelas yang ditambal pakai perak hukumnya itu adalah boleh.

Bingung? Nah inilah yang dinamakan dengan istinbath hukum. Memang tidak mudah.

Kedua, perbuatan Nabi itu bisa dijadikan hujjah, alias sebagai dalil penetapan atas hukum dari suatu pekerjaan. Atau yang biasa disebut dengan istilah tasyri’ li ummatih (hukum bagi umatnya). Menjadi sebuah legalisasi atas sebuah perbuatan umatnya.

Dari sini ulama kemudian mengkategorikan perbuatan Nabi menjadi tiga bentuk: ada sunnah fi’liyah (perbuatan); sunnah qauliyyah (perkataan); sunnah taqririyah (ketetapan).

Ketiga, yakni terakhir, perbuatan penambalan dengan menggunakan perak, menunjukkan kerendahan hati Nabi yang pantas untuk kita tiru.

Karena mengapa? Bahkan seorang Nabi pun tidak malu untuk mengerjakan pekerjaan sehari-harinya. Termasuk dalam menggunakan barang yang sudah rusak, namun masih bisa diselamatkan dengan cara ditambal.

Dan bahkan, pekerjaan penambalan itu pun dilaksanakan oleh Nabi sendiri tidak menyuruh orang lain untuk melakukannya.


Baca juga hasil dari rangkuman pengajian hadis oleh Gus Rum lainnya.
Komentar Facebook
0