Mengintip Rumah Tangga Nabi: Keistimewaan Sayyidah Aisyah di Antara Istri Yang Lain

GAMBAR: sabak/sukron
Nabi Muhammad, sebagaimana kita ketahui merupakan manusia biasa sebagaimana yang lainnya, yakni mempunyai sifat-sifat kemanusiaan yang wajar, seperti pernah sakit, punya istri dan anak, makan dan tidur, dan lain-lain. 

Kewajaran seperti itu tidak bisa dikatakan sebagai hal yang hina dengan mengatakan “Idiih, Nabi kok istrinya banyak, Nabi kok makan, Nabi kok tidur.”Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir-musyrik pada saat itu.

Perbedaannya dengan manusia yang lain adalah Nabi Muhammad diberi wahyu dari Allah, sampeyan tidak. Nabi pernah sowan ke Sidratul Muntaha bertemu sama Allah, sampeyan juga tidak. Nabi deresan hafalan sama Jibril, sampeyan juga tidak.

Dan, yang paling penting, nabi itu poligami pasca wafatnya istri pertama Sayyidah Khadijah, itu pun janda-janda semua, kecuali Sayyidah Aisyah. Perempuan cerdas sekaligus perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis.

Ngomong-ngomong soal Sayyidah Aisyah, beberapa hari yang lalu ketika ngaji hadis Imam Bukhari dengan guru saya, Gus Rum, terdapat hadis yang bagi saya keren dan sekaligus menggelitik tentang kehidupan rumah tangga nabi.

Ngaji hadis sudah sampai pada tema tentang hibah, keutamaan hibah dan hal-hal yang mendorong untuk semangat memberi.

Jadi begini, para sahabat Nabi, semuanya paham bahwa Nabi itu sangat mencintai Aisyah dibandingkan dengan istri-istri yang lain, bukan soal cantik mudanya Aisyah, namun karena… sebentar, sebentar. Nanti dulu itu.

Baca juga:  Terong atau Solanum Melongena dan Ketergesaan dalam Menilai Sesuatu

Oleh karenanya, para sahabat jika ingin memberikan sesuatu kepada Nabi, mereka menunggu dulu ketika yang mendapatkan giliran dikunjungi adalah Sayyidah Aisyah. Hal tersebut yang menyebabkan istri-istri yang lain merasa cemburu.

“Kok sahabat gitu, ya. Selain giliran Aisyah, mereka tidak memberikan hadiah kepada Nabi.” Begitu kira-kira komentar istri-istri yang lain.

Menurut Aisyah, istri-istri nabi itu ada dua kelompok. Pertama, Aisyah satu grup dengan Hafshah, Shofiyyah dan Saudah. Grup kedua diisi oleh Ummu Salamah, Zainab, Juwairiyah dan yang lainnya.

Pada suatu hari, ketika Nabi berada di rumah Aisyah, tiba-tiba muncul ide dari grupnya Ummu Salamah.

“Mbak Ummu, mbok ya sampeyan matur kepada Nabi, biar Nabi itu menyuruh para sahabat untuk tidak memberikan hadiahnya ketika Nabi berada di rumah Aisyah saja, tapi berlaku di rumah-rumah istri Nabi yang lain juga.” Saran tersebut ditujukan kepada Ummu Salamah.

Setelah Ummu Salamah matur kepada Nabi, satu patah kata pun tidak keluar dari lisan kanjeng Nabi. Ummu Salamah pulang dengan tangan hampa.

“Pripun, Mbak?.” Tanya istri-istri Nabi.

“Nihil, Mbak.” Jawab Ummu Salamah.

“Ulangi lagi, ke sana lagi, Mbak.” Timpal yang lain. Hingga dua kali Ummu Salamah matur kepada Nabi, yang terakhir Nabi mengatakan;

“Jangan menyakiti hatiku karena mempersoalkan Aisyah, sebab wahyu dari Allah tidak pernah turun kecuali saya sedang berada bersama Aisyah.” Jawab Nabi tegas.

Baca juga:  Jatuh cinta kepada Habib Luthfi

Seketika mendengar jawaban tersebut, Ummu Salamah segera meminta maaf kepada Nabi dan ia pulang dengan penuh penyesalan karena telah menyakiti hati Nabi.

Setelah Ummu Salamah gagal, grup istri Nabi ini menyuruh Fatimah untuk mengatakan hal yang serupa kepada Nabi. Fatimah bersedia.

“Kanjeng Nabi, istri-istri njenengan itu ingin mendapatkan perlakuan adil dalam persoalan Ibu Aisyah ini.” Kata Fatimah.

“Anakku, Apakah kamu tidak mencintai sesuatu yang aku cintai?.” Jawab Nabi. Mendengar jawaban tersebut Fatimah kemudian diam, malu bahwa seharusnya ia mencintai apa yang dicintai oleh Nabi. Sejurus kemudian Fatimah mengabarkan hal tersebut kepada grup yang menyuruhnya.

Setelah mengabarkan hal tersebut, grup ini menyuruh Fatimah lagi untuk matur sekali lagi, Fatimah bergeming. Tidak putus asa, grup tersebut meminta bantuan Zainab untuk kembali matur kepada Nabi.

“Kanjeng Nabi, sesungguhnya istri-istri njenengan itu ingin mendapatkan perlakuan adil.” Kata Zainab dengan nada agak tinggi, mungkin Zainab agak geram. (Redaksi yang digunakan Zainab untuk membahasakan Aisyah adalah binti Ibnu Quhafah, bukan binti Abu Bakar.)

Mendengar hal itu, Aisyah yang masih dalam keadaan duduk, tidak bisa menahan amarah. Lalu ia menimpali Zainab, walhasil Zainab dan Aisyah saling adu mulut hingga pada satu titik, Zainab tidak bisa lagi menimpali Aisyah. Zainab kalah debat dan diam seketika.

Baca juga:  Keharaman Mengkonsumsi Daging Keledai Peliharaan dan Kisah tentang Abu Tholhah

Nabi melihat hal tersebut diam saja, lalu melihat Aisyah dengan mengatakan “Aisyah ini adalah anaknya Abu Bakar (Binti Abu Bakr)”

Guru saya, mengartikan hal kalimat tersebut dengan “Ini lho anaknya Abu Bakar, cerdas.” Gitu kira-kira, sebab adu mulut yang terjadi membuat Zainab diam seribu bahasa.

Sayangnya, di dalam hadis tersebut tidak ada dialog yang jelas, saya mau membuka kitab syarah Bukhari yang digubah oleh Ibn Hajr Al Atsqalani, barang kali ada dialog lebih lanjut, tapi kok tidak punya. Jadi cukup itu aja. Hehehe.

Hadis ini bisa dibaca lebih lanjut di Sahih Albukhari pada bab Hibah wa fadhliha wa Tahridhu alaiha hadis nomor: 2571/2574)

Guru saya menambahkan untuk mewanti-wanti “Wes, sampeyan ra usah macem-macem mengkritik hadis ini lebih lanjut, mereka ini (Ummahatul Mukminin) sudah jelas dijamin sama Nabi masuk surga, sampeyan sing jamin masuk surgo, sopo?.”

Saya ikut sama guru saya, hadis ini menunjukkan tentang sisi-sisi kemanusiaan, mulai dari Nabi, istri-istri dan para sahabat. Jadi tidak perlu diperpanjang untuk menganalisis secara etis apalagi teologis.

“Adil itu ukurannya secara lahiriyah, bukan bathiniah.” Pungkas guru saya.

Penulis: Qowim, Redaksi
Komentar Facebook
0