Mempelajari Cara Belajar Imam Ghazali Dalam Kitab Minhaj Al Muta’allim


Penulis: Muhammd Hilal
[Dosen IAI Al-Qolam Malang]

Ta‘lām al-Muta‘allim sudah lama jadi pegangan pesantren dalam hal belajar cara belajar. Kitab itu menjadi semacam sumber utama, mendahului kitab-kitab lain yang mengulas tema yang sama.

Jika mau mengaji kitab lain tentang pedagogi, harus khatam kitab Ta‘līm. Demikian kira-kira kuatnya pengaruh kitab ini di atas kitab lainnya.

Ada kitab lain tentang tema cara belajar, disusun oleh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, berjudul Ādab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim. Namun popularitasnya masih di bawah kitab Ta‘līm.

Selain kedua kitab itu, apakah ada kitab lain yang membahas cara belajar bagi santri? Banyak, baik yang berupa kitab utuh maupun bukan. Yang dikenal adalah kitabnya Imam Al-Ghazālī, berjudul Minhāj al-Muta‘allim.

Dari judulnya saja, kiranya bisa ditebak apa isi kitab itu: pedagogi. Kitab itu merupakan suatu panduan bagi orang yang sedang belajar, sedang nyantri. Kurang lebih miriplah dengan Ta‘līm al-Muta‘allim.

Di bagian pengantarnya, Imam Al-Ghazālī menjelaskan tujuannya secara singkat dalam menulis kitab ini. Tujuannya adalah mengumpulkan tema-tema penting dalam bidang ilmu, pembelajar dan pengajar. Juga mengumpulkan hal-hal yang memotivasi belajar (al-jur’ah ‘alā iqdām al-ilm). Agar apa? Agar dia semakin bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu dan mengamalkannya.

Dari sini, sekilas terlihat bahwa buku ini ditulis untuk penulisnya sendiri, yakni Imam Al-Ghazālī. Kitab ini bukan respons terhadap permintaan sebagian kolega, sebagaimana banyak kitab ditulis demikian. Bukan pula suatu kitab pegangan bagi para murid-murid. Ini kitab yang cukup unik memang.

Baca juga:  Tiga Alasan yang Mendorong Manusia dalam Menuntut Ilmu Menurut Imam Ghazali

Sayangnya tidak ada pernyataan, di periode kapan kitab ini ditulis oleh penulisnya. Apakah di masa mudanya, yakni di masa-masa dia belajar kepada banyak guru, ataukah di masa yang lebih kemudian, yakni di masa-masa ketika dia mengajar atau berkelana meninggalkan gemerlapnya dunia. Sama sekali tidak ada penjelasan.

Yang menarik, isi kitab ini hampir sama persis dengan kandungan kitab Ta‘līm. Kenyataan ini memunculkan suatu tanya: apakah ini membuktikan bahwa wacana tentang cara belajar di abad-abad ke-5 dan ke-7 Hijriyah adalah serupa? 

Sebagaimana kita tahu bersama, Imam Al-Ghazālī hidup di abad ke-5 (450-505), sedangkan Burhān al-Dīn al-Zarnūjī, pengarang kitab Ta‘līm, hidup di abad ke-7 (w. 620). Ini artinya, terbentang dua abad antara kedua penulis kitab ini, namun wacana tentang pedagogi rupanya tidak berubah banyak. Hal ini tentu membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

Kesamaan itu, terlihat dari struktur kitab. Struktur kitab Minhāj al-Muta‘àllim ini terdiri dari tiga bab: yakni bab tentang keutamaan ilmu dan ulama, bab tentang guru (mu‘allim), dan tentang pembelajar (muta‘allim). Struktur semacam ini sama saja dengan struktur kitab Ta’līm.

Baca juga:  Jika Barokah Bisa Didapatkan Lewat Nyolong, Mbah Mun Dulu Ngambil Apa kok Bisa Sealim Sekarang?

Barangkali, di beberapa rincian dari isi per bab itu ada perbedaan, namun terkesan tidak ada perbedaan alam pikir di antara kedua kitab itu. Terutama di bagian adab seorang pembelajar bagi guru, terdapat sub bab wājibāt al-muta‘allim, kedua kitab itu menunjukkan persamaan yang hampir kembar.

Adab seorang pembelajar kepada gurunya adalah taat. Dikutip pernyataan Imam ‘Alī ibn Abī Ṭālib, bahwa pembelajar (ibarat) budak dari gurunya. Namun, ada pernyataan yang menyanggah anggapan itu, yakni bahwa hormat adalah lebih baik daripada taat. Membaca bagian ini saya seperti mengalami De Javu ketika mengaji kitab Ta‘līm dulu.

Ada pula pembahasan mengenai hal-hal yang menyebabkan mudah lupa. Sama pulalah hal ini dengan Ta‘līm. Dimasukkannya tema ini membuktikan bahwa pembelajaran di masa kedua tokoh penulis kitab ini sangat mengandalkan hafalan.

Satu hal yang patut diberi catatan di sini adalah kualitas guru. Di kitab ini—dan juga kitab Ta‘līm—terdapat tekanan kualitas guru yang sangat berat. Di semua zaman, semua guru memang harus memiliki kualifikasi tertentu agar tidak asal-asalan ketika mengajar. Namun, di masa itu, kualitas guru juga mencakup aspek-aspek yang tidak cuma berkaitan dengan kualitas keilmuan. Unsur adab dan akhlak guru juga dijadikan standar kualitas.

Baca juga:  Tujuh Alasan Mengapa Santriwati adalah Pilihan Ideal Dijadikan Istri

Saya akan kutip pernyataan Imam Al-Ghazālī dalam kitabnya ini:

Seorang guru harus mahir dalam bidang keilmuan yang diajarkannya, harus bersih hati dan lisan, harus menghindari ghibah, harus adil (moderat) dalam beragama, harus waspada dalam segala hal, berintegritas hidupnya, mulia nasabnya, tua usianya, tidak boleh mudah marah, tidak boleh berkumpul dengan penguasa, tidak boleh sibuk dengan urusan dunia sehingga mengacuhkan urusan agamanya.

Kualifikasi semacam ini sangat ideal, bukan? Rasa-rasanya kita akan merasa tenang jika para murid ditangani oleh guru semacam itu.

Salah satu masalah pendidikan kita di masa sekarang bukan sekadar karena buruknya adab para murid, namun lebih dari itu juga buruknya kualifikasi para guru. Kompetensi pedagogis guru rata-rata rendah, sehingga kualitas pembelajaran para murid jadi rendah juga. Belum lagi kalau kita ngomongin kompetensi yang lain.

Kualifikasi guru yang ditawarkan Imam Al-Ghazālī tentu sulit diterapkan secara utuh di dalam sistem pendidikan zaman sekarang. Kualifikasi yang ditawarkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 saja, kalau itu terpenuhi dengan baik, saya yakin akan memberi wajah pendidikan yang lebih baik.[]

Komentar Facebook
0