Memaknai Kasus Grace Natalie; Penistaan atau Pencitraan Agama?

Penulis: Wildan Abdau

Ada sebuah momen unik ketika pidato Grace Natalie (Ketua Umum PSI) saat HUT PSI pada 11 November 2018 lalu. Beberapa kata dalam pidato tersebut disinyalir oleh beberapa pihak mengandung unsur penistaan agama. Perlu disayangkan jika pidato Grace Natalie harus ditanggapi dengan laporan dugaan penistaan agama. Menurut beberapa pihak yang berseberangan, bahwa unsur penistaan yang dilakukan Grace Natalie lebih berat dari pada Ahok.
Dalam pidato tersebut, ada tiga poin yang dicatat Egi Sudjana (pelapor) yang dianggapnya sebagai berita ujaran kebencian dan penistaan. 

Hal ini didasarkan pada  pernyataan PSI yang tidak akan mendukung Perda Syariah/Injil, karena bagi PSI Perda tersebut mengandung unsur ketidakadilan, diskriminasi dan intoleran. Dan di sisi yang lain, ada yang berpendapat bahwa Perda tersebut justru untuk menghilangkan ketidakadilan, diskriminasi dan intoleran. Ah, mbingungi.

Bagi saya, mendengar berita tersebut, atau lebih khususnya terhadap tiga poinnya, membuat saya tergelitik untuk membahasnya. Sebab, memang apa bedanya ketidakadilan dengan diskriminasi. Kenapa tidak dijadikansatu poin saja. Kan bisa mengurangi satu pasal terkait pelaporan. Tapi sepertinya tidak mungkin, bukannya justru orang yang saling bertentangan akan mencari kelemahan lawan sebanyak-banyaknya.

Guntur Romli (salah satu Jubir PSI) mengatakan bahwa adanya Perda Syariah/Injil itu tidak adil. Dia menganalogikan misalnya, ada suatu daerah yang mayoritas muslim dan ketika akan menggelar pernikahan, si mempelai pria harus bisa ngaji. Nah, ini kan tidakadil.

Tidakadil di mananya? Karena harus bisa ngaji?

Jika itu permasalahannya, Perda tersebut  jelas dibuat untuk yang beragama Islam. Jika itu mau diterapkan untuk semua pemeluk agama, misalkan Kristen, saya rasa juga bisa, tanpa harus menimbulkan ketidakadilan atau diskriminasi. Bisa dengan Perda Syariah itu sendiri maupun membuat Perda Injil di waktu yang sama.

Jika menggunakan Perda Syariah atau Injil misalnya, saya rasa agama manapun pasti menghendaki seorang suami/imam yang baik bagi seorang istri dan keluarganya. Salah satunya dengan belajar mengaji. Tentunya belajar mengajidengan kitab suci agamanya masing-masing. Atau dengan cara kedua, apabila di suatu daerah muslim ada Perda Syariah, seharusnya di situ juga harus ada Perda Injil, Perda Weda dan Perda-perda agama lainnya, supaya tidak terjadi ketidakadilan atau diskriminasi.

Sebenarnya, Perda Syariah itu sendiri hanya bisa diterapkan oleh daerah yang diberi peraturan otonomi khusus, seperti Aceh misalnya. Namun, dalam pelaksanaannya pun tidak semua Perda Syariah itu bisa diaplikasikan langsung dan secara maksimal.

Pada dasarnya dan sebagian besar, peraturan di Indonesia itu sendiri tidak dibuat secara instan, tentu mempertimbangkan banyak aspek, seperti aspek relasi antara adat lokal dan agama. Nilai-nilai adat lokal dan agama tersebut juga harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, atau minimal tidak bertentangan, kemudian jadilah Undang-undang. Dan pengambilan nilai-nilai ini juga berlaku untuk semua agama, tanpa perlu embel-embel agama.

Lantas, mengapa ada Perda Syariah dan Injil? 

Sepengetahuan saya, Perda Syariah hanya bisa diterapkan di daerah yang memiliki otonomi khusus, itu pun terbatas. Apabila Perda itu ada di daerah non-otonomi khusus, bisa dipastikan bahwa nyang dimaksud adalah Perda yang memuat nilai-nilai keagamaan, bukan Perda Syariah secara menyeluruh.  

Berkaca dari berita tentang laporan kasus yang melibatkan nama Grace Natalie. Kemudian saya berpikir,  di mana letak penistaan agamanya?.

Itu sebenarnya penistaan agama atau malah pencitraan agama atas nama agama. Bagi saya, polemik tersebut hanya menghasilkan satu kesimpulan; lebih membuat gaduh negeri di tengah ingar-bingarnya tahun politik. Padahal, rakyat kita sangat butuh ketenangan dan keteduhan, tidak malah semakin menambah panas tahun politik yang sudah super panas ini. Ayolah, para elit negeri. Selesaikan saja hal demikian secara intelektual, tidak sedikit-sedikit lapor dan lain sebagainya. Capek tau! 

Komentar Facebook
0
Baca juga:  Petani Santri: Term Yang Akan Membangkitkan Semangat Ketahanan Pangan Indonesia