Fakta seputar Radikalisme di Sekolah dan Upaya Pencegahannya

Ilustrasi: googleimages

Penulis: Ade Chariri

Menurut riset yang dilakukan oleh Ma’arif Institute, PPIM UIN Jakarta dan UNDP Indonesia pada tahun 2018, bahwa salah satu faktor yang memantik munculnya radikalisme di ranah Sekolah adalah regulasi yang diterapkan Sekolah itu sendiri, dan berimplikasi kepada OSIS sebagai penyemai dan penggerak kegiatan ekstra siswa –tanpa pengawasan maksimal.

Tesis awalnya ialah bahwa materi keagaamn di Sekolah tidak begitu dominan untuk menguasai dan mendoktrin pemikiran para siswa, tidak seperti Pesantren yang menerapkan sistem pendidikan tradisional kultural.

Secara gamblang, menurut riset, bahwa radikalisme mudah masuk ke Sekolah melalui tiga pintu; alumni, guru dan kebijakan Kepala Sekolah. Hubungan yang saling berkelindan antara ke-tiga pintu ini memunculkan aktor internal dan eksternal.

Melalui alumni yang terpapar radikalisme misalnya, yang acap kali disebut sebagai aktor eksternal, kemudian berhasil masuk dalam kawasan internal melalui guru maupun Kepala Sekolah, hingga akhirnya digaungkan kepada OSIS, kemudian di-forward kepada siswa.

Sebagai contoh, dalam kebijakan OSIS di bidang kerohanian, kemudian membuat sebuah kegiatan, dimana kegiatan tersebut akan diisi oleh alumni yang notabene sebagai penggerak tradisi Salafi, dibingkai dalam materi Studi Islam Intensif, hal ini seperti yang terjadi di sebuah SMA Negeri Surakarta.

Baca juga:  Dilema Lagu Ayo Mondok: Jika Terus-terusan Digalakkan Ayo Mondok, Lalu Kapan Boyongnya?

Tidak semudah itu sebenarnya radikalisme berhasil masuk ke dalam Sekolah, di dalamnya ada kontestasi antara radikalisme dan moderatisme. Beberapa pihak yang merasa gelisah terhadap hadirnya radikalisme di Sekolah, akhirnya mencoba berdampingan dengan salah satu unsur kelompok moderat dari luar, seperti IPNU-IPPNU misalnya.

Selain daripada itu, kebijakan Negara yang berhasil didistorsi pun ikut andil dalam mewabahnya radikalisme di Sekolah. Sebut saja, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Peran OSIS lagi-lagi menjadi sentral, terlebih ketika pihak Dinas Pendidikan setempat dan pihak sekolah tidak saling sepaham dalam unsur keagamaan, akhirnya memunculkan inkonsistensi pembinaan kegamaan siswa yang dilakukan oleh OSIS.

Akhirnya, sejak kebiijakan otonomi daerah berlaku terhadap kebijakan sebuah Sekolah, hal ini berimplikasi terhadap banyak hal. Ada semacam kontestasi untuk menjadi OSIS ‘Islami’. Setiap daerah akan memunculkan maksud ‘Islami’ tersebut dengan bertumpu terhadap gejala keagamaan yang sedang trending di dalamnya.

Baca juga:  Hati Suhita; Penanda “Kebangkitan” Sastra Pesantren? (Bag. 3 - Selesai)

Sebagai contoh di Cirebon dan Sukabumi, program menghafal Alquran yang diterapkan oleh OSIS kepada siswa, tidak bisa lepas dari program Pemprov; Jabar Menghafal. Maka, maksud dari OSIS ‘Islami’ di Sekolah lain juga bisa jadi tidak senada demikian.

Hal yang juga menjadi pemicu munculnya radikalisme di Sekolah adalah lemahnya ketahanan pihak Sekolah dalam memahami peta gerakan radikalisme, mereka seakan abai terhadap hal tersebut.

Akhirnya, beberapa kesaadaran muncul dari pihak internal Sekolah yang mencoba terus menyeleksi beberapa program dan kebijakan yang berpotensi memantik radikalisme, dan terus berupaya memproteksi diri dari pihak luar yang disinyalir membawa paham radikalisme tersebut. Paling tidak, dengan digaungkannya kembali hakikat kebhinekaan.

Model ketahanan menangkal radikalisme sebenarnya bersifat kasuistik. Artinya, bisa jadi model A berhasil diterapkan di satu sekolah, namun gagal di sekolah lain. Namun, indikasi penerapan model ketahanan tersebut tetap merujuk pada upaya meminimalkan praktik segregasi sosial berdasarkan primordialisme keagamaan.

Dari sini, beberapa upaya untuk mencergah radikalisme, diantaranya; (1) Screening terhadap mentor -atau calon guru; melacak riwayat hidup dan kapasitas keilmuan (2). Mendorong siswa untuk belajar pada guru (moderat). (3) Mewajibkan siswa kelas X untuk diantar orang tuanya (ini terjadi di Surakarta), hal ini agaknya tidak bisa diterapkan di Sekolah dibawah naungan Pesantren, yang mungkin dilakukan ialah monitoring dari Pengurus Pesantren.

Baca juga:  Menengok Kembali Koneksi Ulama Nusantara dan India

(4) Pesantren Sekolah; mengadakan kegiatan Pesantren Sekolah ialah hal yang logis dalam menangkal gerakan radikalisme, namun, pihak Sekolah di sini harus selektif memilih Pesantren –moderat, sebab sekarang tidak sedikit Pesantren yang memupuk bibit radikalisme, dan (5) bekerja sama dengan pihak ormas-ormas Islam dan lembaga ke-Islaman yang moderat yang sudah jamak-maisntream.

Selain hal di atas, perlu diperhatikan pula peran Negara dalam menumbuhkan jiwa Nasionalisme. Sikap inklusifitas harus dimulai sejak dini, sejak tingkat paling rendah hingga tingkat atas.

Di samping itu, peran ormas moderat seperti NU dan Muhamadiyah juga jangan diabaikan. Sampai-sampai ada anekdot bahwa NU-Muhamadiyah adalah si kembar yang terpisah, sebagai dua sayap NKRI. Yang jelas, sikap moderat memiliki peran sentral dalam setiap laku keseharian untuk menangkal radikalisme.


Baca esai menarik lainnya yang ditulis oleh Ade Chariri

Komentar Facebook
0