Madhi, Sebuah lakon

Foto: sabak/ayumelani
Maka, terlahirlah Aku sebagai mabni dalam perjalananku 
( Alfiyah dalam renungan )[1]

Aku sudah lupa menghitung usia. Putih rambut ini seolah isyarat diam yang dewasa. Sebelumnya, masa lalu itu benar-benar membuatku bertanya-tanya, adakah masa lain setelah masa kemarin? Ataukah aku hanya akan menjadi sesosok benda rapuh yang termakan usia, tergerus masa. Ya, masaku sendiri. Orang lain berhak bertanya, darimana aku datang? Dari apa aku tercipta? Sebab apa aku terlahir? Siapa orang tua kandungku? Dan untuk apa aku berada. Mungkinkah aku hanya seorang anak hasil dari perkawinan buah pikir para pemikir? Atau janin hasil asimilasi pendapat belaka? Ah! Andaikan dulu angin itu tak membawaku pergi dari asalku, jelas mereka tak akan pernah bertanya “kenapa aku begini”.

*** 

Dan perkisaran angin yang dikendalikan antara langit dan bumi 
Merupakan tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mengerti 
( Iqtibas[2] ayat al-Qur’an) 

Daama. Adalah teman kecilku. Hingga dewasa mimpinya tak pernah berubah. Ia selalu mengatakan, bahwa hidup ibarat layang-layang. Setinggi apapun ia terbang, toh pada akhirnya hanya akan turun kebawah. Baginya, pasrah dengan titah pencipta adalah kerelaan paling berharga. Sedang protes dengan hukum yang mengikatnya, adalah kedurhakaan yang sia-sia. Aku sangat mencintai Daama. Sejak dulu, bahkan hari ini saat aku dania tak lagi mampu bercerita. Cerita tentang peristiwa angin, juga tentang layang-layang itu. Jika Daamatak berkehendak sedikitpun akan layang-layangnya agar terbang tinggi, maka aku justru berharap angin itu memutus tali layangku, agar layang-layangku bercengkerama bersama angin lalu jatuh di tempat yang berbeda. Zaida. Aku adalah perempuan itu. Dan layang-layangku akan sampai padanya. Pada lelaki sederhana tanpa angan dan cita-cita, bahkan membunuh masa depannya.

*** 
Zaida, kaukah itu? 
Kau terbang terlalu tinggi 
Wujudmu mengecil, kabur ditiup angin 
Aku masih di sini, menunggumu 
Hingga kau bosan dan kembali, di sini 
Di tempat ini, saat angin belum membawamu pergi 
Oh, apa saja yang kau temukan di sana, perempuanku? 
Keberadaan kah? Toh nyatanya kau malah menjelma menjadi sosok yang lupa 
Sudahkah tempat itu menjamin kebahagiaanmu? 
Ataukah aku yang pura-pura lupa 
Bahwa kau adalah masa depan mereka 
Mereka, para pencetus perubahan itu 
Tidak, Zaida. Aku tetap di sini 
Menatap akhir petualanganmu 
Meski akhirnya aku redam oleh cemburu 
Toh waktu sudah pasti berlalu 
-Daama 
***
Aku tertegun membacanya. Surat itu adalah catatan masa lalu, sebelum angin membawaku. 
Daama, kepada siapa aku harus bertanya? 
Bahwa kau adalah selembar kertas yang selalu kusimpan 
Ingatkah dulu, saat aku merengek mengajakmu pergi 
Kau hanya tersenyum tanpa kata 
Lalu aku memakimu! Mengutukmu! 
Jika kau tak ubahnya benda mati yang sia-sia tercipta 
Kemudian aku menyebutmu sebagai boneka permainan 
Aku memanggilmu dengan nama baru 
“Jamid”. Ya, jamid! 
Kau gila dengan masamu! 
Sampai aku berani menyumpahimu 
Matilah kau sebab jamidmu! 
-Zaida 
*** 

Perempuan itu, bagaimana aku akan lupa. Senyumnya masih saja menjadi hiasan mataku, meski bertahun-tahun aku tak lagi menatapnya. Ah! Kau! Andai saja kau bukan perempuan gila.

Dan Zaida, 
Apa arti senyummu waktu itu? 
Jika hari ini kau lupa, bahwa aku adalah bagian dari lembar masa lalumu 
Biar saja! Aku lelah memanggilmu untuk kembali 
Di sini, di masa, di mana kita akan tetap bersama 
Dan, jika saja kau tak mengikuti arah angin itu? 
Biar, aku tetap di sini, di masa yang termabnikan oleh hukum penciptaku 
Lalu, bagaimana kabar penciptamu? 
-Daama 
***

Syeikh Ibnu Malik[3],dalam kitabnya Alfiyah, mengatakan jika anak Adam terlahir dari satu masa, yaitu Madhi[4]. Ia berangkat dari masa lalu yang sama. Masa lampau itu membesarkannya dalam ruang lingkup kemabnian. Ia tak punya kesempatan untuk memilih. Bahkan, keberadaannya sebagai manusia sudah lebih dulu ditentukan oleh penciptanya. Ya, pencetus itu menghendakinya untuk diam di tempat. Dialah pemilik masa seutuhnya. Siapa saja yang ia kehendaki untuk terus berjalan, maka si pejalan tersebut harus rela menjadi musafir dalam karyanya dengan tanpa embel-embel memilih. Memilih berhenti sebelum melangkah, atau dengan bangga menjelma menjadi sosok penakluk masa. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa setelah manusia pilihan tersebut merangkak meninggalkan masa lalu dan hukum yang mengikatnya, maka ia akan hidup di sebuah masa dimana ia memiliki hak untuk berproses menentukan tugasnya, sebagai manusia, juga sebagai hasil karya ditangan pembaca. Masa kedua tersebut adalah masa mudhori’, di mana manusia kerap berubah-ubah hatinya atau mu’rob. Dan pada masa itu mereka mulai bertanya-tanya “kemana masa akan membawaku?.

Baca juga:  Eric dan Kiai Setempat

Dikutip dari kitab kaylani ‘iziy[5], seorang ulama besar shorof[6]; Syeikh Abu hasan Ali Ibnu Hisyam al-Kaylani turut mengatakan bahwa, perjalanan anak Adam di tentukan oleh angin perubahan yang membawanya. Kemana, siapa, dan di mana ia nanti menjelma, adalah tergantung bagaimana ia menentukan jati dirinya. Sebagai madhikah? Sebagai mabni[7]kah? Sebagai mu’rob[8]kah?Sebagai jamid[9]kah? Atau sebagai muthasarif[10]kah?. Sebagai siapa, kemana, dimana, dan bagaimana adalah ke-Aku-an yang tak perlu ditanyakan. Sebagian manusia merasa cukup hanya dengan duduk santai, lalu menerima takdir apa adanya. Mereka adalah jenis manusia-manusia jamid. Manusia-manusia yang malas berproses. Sebagian yang lain merasa kurang jika hanya menjadi bebatuan saja. Kemudian mereka berjalan menerobos masa, mengarungi lautan sighat[11]. Hingga pada suatu ketika mereka menemukan wajah-wajah baru, bentuk-bentuk rupa yang baru dan tempat-tempat yang tak sama, di mana para pejalan berebut tempat untuk mendapatkan posisi pertama, yaitu sebagai subjek tunggal dari perubahan, dan sebagai karya yang dimenangkan.

Baca juga:  Jum'atan Plus

Oleh sebab itu, syeikh Ibnu Malik kembali mengatakan bahwa setelah era Madhi dan Mudhori[12]’anak manusia akan kembali memasuki sebuah lorong waktu di mana ia akan menemukan jati dirinya. Masa itu tak lain dan tak bukan adalah masa depan, atau era mustaqbal[13]. Saat itu manusia berhak menentukan apa saja, memerintah apa saja, siapa saja sesuai ingin dan angannya. Dan masa itu berada dalam sebutan “Amr”[14].

*** 

Perempuan itu masih dalam posisi yang sama. Duduk termenung tanpa sedikit pun menggeser kursinya. Secangkir kopi di depannya semakin dingin. Andai kopi tersebut diberi kesempatan untuk bertanya, mungkin ia akan bertanya “kenapa empuku enggan mencicipiku? Ataukah karna selembar kertas itu yang membuatnya menjadi pembaca berulang-ulang. Serumit apakah tulisan di dalamnya sampai kau lupa menegukku barang setetes saja.”

Daama, berapa masa telah kulalui 
Bayangmu masih menari-nari di pelupuk mata 
Berapa tempat kerap kusinggahi 
Hatimu tetaplah persinggahan abadi 
Berapa banyak pejalan menyapaku 
Sapaannya tak semesra sapaanmu 
Atau karna ini, Daama? 
Kau berat melepasku? 
Bila kau anggap aku lupa akan asalku? 
Maka atas sebab apa kau enggan berpaling dariku 
Kau tetap di bawah pohon itu 
Memegang erat tali layangku 
Demikian, Daama. Aku sudah menentang masa 
Membuatmu semakin membatu, tak mampu mengejarku 
Bila pagi tiba dan kau bermain-main dengan aroma kopimu 
Daama, di situ pula aku merasakan cecapanmu 
Pada cangkir yang berbeda 
Pada aroma yang tak sama 
Apakah cinta selalu berbicara tentang satu tema? 
Daama, usah kau gundah gulana 
Bukankah layang-layang tetap layang-layang? 
Daama, bila aku perempuan gila? 
Maka lelaki waras mana yang sudi menantiku 
Atau, usah kita bicara lagi akan kegilaan itu 
Dan Daama, jika penciptamu menghukummu dengan belenggu kejamidan? 
Kenapa kau tak lari saja bersamaku 
Kita nikmati belaian angin yang mesra 
Kita kunjungi tempat-tempat itu berdua 
Dan kita arungi lautan sighot bersama 
Kita ubah masa depan kita yang berharga 
Bukankah kau dan aku terlahir sama? 
Kita berangkat dari satu masa yang juga sama 
Lalu kapan kau mau bicara? 
Menunggu kita tergulung usiakah? 
Daama, bila kau masih menunggu layang-layang itu 
Maka layang-layang itu sekarang ada dimana-mana, kemana-mana 
Dan untuk siapa saja yang angin bertiup padanya 
-Zaida 
*** 

Dan kau tetap diam, Daama. Ya, akulah perempuan itu. Aku sudah beruban sebab surat kecilmu. Aku sudah begini karena memang sudah seharusnya begini. Dan kau begitu, sebab sudah seharusnya begitu. Dan penciptaku? Pencetus perubahan itu sudah menentukan masa depanku. Dan aku disini, tetap mencintaimu, seperti adamu disana. Terimakasih Daama. Aku hanya lakon sebuah karya yang di kehendaki sebagai pejalan untuk menembus batas waktu. Akulah perempuan gila itu. Perempuan muthasharif. Ya, perempuan yang terbang bersama angin. Dan maaf Daama, hanya sampai disini aku membaca suratmu:

“kau genggam mesra tanganku, seperti dhomir muttasil yang tak pernah beranjak dari makhalnya”.

*** 

Kemudian aku terbangun. Dan kitab kuning itu masih erat kupegang. Tarkib-tarkibnya masih jelas terbaca. Di lembar selanjutnya kutemukan lafadz Daama[15]dan Zaida[16] terjajar rapi. Ah! Aku hanya bermimpi. Seperti mimpi-mimpi di hari kemarin.

Baca juga:  Patah Jadi Dua

Yogyakarta, 22 oktober 2015

Catatan
[1]Alfiyah Ibnu Malik bab al-Mu’rob wa al-Mabni bait 19
[2]Iqtibas; adalah plagiasi; mengutip sebuah karya dengan tanpa menyebutkan sumbernya, dalam balaghah plagiat/iqtibas diperbolehkan baik dalam mengutip ayat al-qur’an maupun hadits.
[3]Pakar Nahwu dari spanyol (baca; andalusiy). Beliau adalah syeikh muhammad bin Abdillah Ibnu Malik al-andalusiy.
[4]Madhi (fi’il Madhi) adalah masa yang mengikat kalimah fi’il tersebut yang berarti “masa lampau
[5]Syeikh Abu hasan Ali Ibnu Hisyam al-Kaiylani(kaiylani Iziy) hal.2
[6]Sharaf adalah ilmu tata bahasa arab yang mempelajari asal-usul lafadz, bentuk-bentuk bina’, tashrif serta kaidah-kaidah i’lal
[7]Mabni; tetap
[8]Mu’rob; berubah-rubah, kalimat fi’il yang terikat hukum mu’rob adalah fi’il mudhori’.
[9]Jamid adalah lafadz yang tidak bisa di tashrif sesuai kaidah wazan hanya samapai pada bentuk madhi dan mudhori’ saja.
[10]Muthasorif ; adalah lafadz-lafadz yang dapat di tashrif sesuai kaidah wazan.
[11]Seighot ; bentuk; perubahan tashrif dari bentuk madhi sampai isim zaman makan
[12]Mudhori’; adalah bentuk kalimah fi’il yang maknanya sedang melakukan pekerjaan; proses.
[13]Mustaqbal/istiqbal; masa yang akan datang; masa depan; adalah zaman yang mengikat keberadaan fi’il amar juga mudhori’
[14]Amar; fi’il amar; adalah kalimat fiil bentuk perintah.
[15]Lafadz ini;دام merupakan fi’il jamid (Hanya madhinya saja yang beramal) Meskipun bisa ditashrif dalam bentuk lain, karena madhinya saja yang digunakan dalam af’alu an-Naqisoh, secara leksikal bermakna; selamanya.
[16]Lafadz ini sering di gunakan oleh para pakar nahwu sebagai contoh dalam berbagai pembahasan. Menurut cerita, ulama’ nahwu menggunakan lafadz tersebut karena berharap agar para pembelajar tata bahasa Arab semakin bertambah kefahamannya dalam belajar ilmu nahwu, (zaid; tambah/bertambah; seighot isim fa’il musytaq dari madhi زائد-زاد-يزيد-زيدا). Zaida; bentuk muanats dari mudzakar Zaid.

Penulis: Rachel Pradya Paramitha, Alumni Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta

Komentar Facebook
0