Meneladani Rasulullah, Sampai di mana Kita? Muti'atul Chasanah Esai 16 November 2021 0 5 min read Ketika berbicara tentang Rasulullah saw, sosok utusan Allah swt yang menjadi penutup dan penyempurna sejarah perjalanan panjang kenabian, tak ada salahnya sejenak kita menyelami tentang kepribadian beliau yang perlu diteladani dan dijadikan refleksi bagi diri kita masing-masing. Kita tahu, bahwa banyak sekali hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil dari setiap episode kehidupan sang Kanjeng Nabi, mulai dari kepemimpinannya, kisah perjuangan dakwahnya, kehidupan spiritualnya, hingga interaksinya kepada sesama makhluk Allah swt lainnya. Kepribadian yang tergambar dari sosok insan yang bernama Muhammad saw ini memang seakan sudah tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata lagi. Akhlaknya, tutur katanya, dan segala hal melekat dalam dirinya telah terangkai dalam bingkai kesempurnaan. Sampai-sampai, tidak ada manusia di alam semesta ini yang menyerupai atau bahkan menandingi kesempurnaan dan kemuliaan yang beliau miliki. Aisyah ra dalam salah satu riwayatnya, mengibaratkan sosok Nabi Muhammad saw laksana Al-Quran berjalan. Artinya, seluruh pola perilaku Rasulullah saw merupakan cerminan atau sejalan dengan nilai-nilai dalam Al-Quran. “Apa yang diucapkan dan dilakukan Rasulullah bukan berasal dari keinginan hawa nafsunya, melainkan bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al-Qur’anul Karim.” Begitu mulianya Baginda Nabi Muhammad saw, tak heran jika kita sebagai umat Islam dapat merasakan kerinduan dan cinta yang luar biasa, meskipun nyatanya kita semua belum pernah berjumpa dengan beliau. Mungkin perasaan cinta dan rindu itu muncul karena sejatinya memang terjalin kasih antara Rasulullah saw dengan kita sebagai umatnya, terlepas dari kewajiban kita untuk beriman kepada beliau. Bagaimana tidak? kenikmatan Islam yang kita rasakan saat ini tentu saja berkat kerja keras beliau dalam berdakwah. Gemilang peradaban Islam dan ilmu pengetahuan pun juga tak lepas dari peran perjuangan sang Nabi saw. Bahkan yang lebih luar biasa lagi, menjelang wafat beliau masih sempat-sempatnya memikirkan umat beliau dan menyebut “Ummati, Ummati, Ummati”. Dengan penuh harap, beliau ingin menyaksikan banyak umatnya di surga kelak. Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw memang bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai rahmatan lil alamin, atau bentuk karunia, rahmat dan rasa kasih sayang yang diberikan kepada makhluk-Nya di seluruh alam semesta. Rahmatan lil alamin menunjukkan bahwa kehadiran Rasulullah saw adalah untuk mewujudkan rasa kedamaian dan ketentraman bukan hanya bagi seluruh umat manusia, namun juga hewan, tumbuhan, dan makhluk Alah swt lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al Quran, Surah Al Anbiya’ ayat 107, yaitu : Baca juga: Agama yang Dikapitalisasi: Gejala Lumrah atau Lu Marahوَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعاٰلَمِينَ Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Ayat di atas, rasanya cukup untuk menjadi jawaban atas perilaku Nabi yang penuh dengan kemuliaan. Beliau hadir di muka bumi ini sebagai figur yang mempunyai empati, simpati, dan kepedulian yang luar biasa terhadap lingkungan sekitarnya. Beliau bahkan tidak bisa bersikap acuh tak acuh ketika melihat atau menghadapi situasi ketidakadilan dan kesengsaraan yang dirasakan oleh umatnya yang beriman. Hal inilah yang kemudian dapat menjadi dasar mengapa Allah swt menempatkan posisi beliau sebagai manusia yang sangat berakhlakul karimah. Sebagaimana dalam riwayat Abu Hurairah ra., Rasulullah saw menegaskan bahwa, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Muslim). Sudah jelas sekali bahwa keberadaan Rasulullah saw di dunia ini bukan hanya sekedar untuk pelengkap saja, namun benar-benar mempunyai tujuan yang mulia. Di samping misi kenabiannya, beliau mempunyai tugas untuk menyempurnakan akhlak manusia. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita sudah benar-benar bisa menjadi bagian dari keberhasilan sang Nabi dalam menyempurnakan akhlak umatnya tersebut? Sayangnya, kita seringkali tidak sadar atau bahkan lupa untuk menerapkan akhlak sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Lebih parah lagi, jika kita menyaksikan realitas yang ada dalam masyarakat umum, dimana telah banyak terjadi pergeseran nilai dan perilaku yang luar biasa memprihatinkan. Pilar-pilar akhlak dan etika makin tergerus oleh budaya dan kultur yang terpengaruh oleh perubahan zaman. Dalam menyikapi berbagai tantangan zaman yang ada saat ini, agaknya kita perlu merefleksikan diri kembali. Di tengah minimnya kualitas moral yang ada di masyarakat, jangan sampai kita lengah atau bahkan terpengaruh oleh realitas kehidupan yang ada. Justru sebagai umat yang beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya, kita perlu membentengi diri dan berusaha memberantas dekadensi moral yang terjadi. Baca juga: Klasifikasi Amal ketika Hidup atau MatiHal ini menjadi penting, karena kita tahu bahwa betapa Islam sangat mengutamakan akhlak, sebab ia dapat menjadi kunci seorang hamba meraih ridha Allah SWT. Selain itu, orang yang memiliki akhlak juga akan lebih mudah diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga, disinilah kita perlu menjadikan Nabi Muhammad sebagai sosok teladan dalam kehidupan. Untuk dapat meneladani sosok Nabi Muhammad saw, memang bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, dengan menjadikan beliau sebagai figur teladan dalam segala aspek kehidupan, setidaknya hal itu dapat menjadi bentuk realisasi dari kecintaan kita kepada sang Nabi. Allah swt berfirman dalam QS. Al Ahzab ayat 21, yakni : لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ Artinya : “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah“ Di antara kesempurnaan akhlak dan kepribadian Rasulullah saw, terdapat empat dasar yang wajib kita teladani, diantaranya adalah Sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyiarkan), dan fathanah (cerdas). Terkait dengan kejujurannya, mustahil sekali Rasulullah saw berbuat dusta, munafik, atau hal-hal yang semacamnya. Beliau senantiasa menjaga kejujuran dalam setiap perkataan dan perilakunya sejak kecil. Bahkan berkat kejujurannya tersebut, beliau diberi julukan al-amin, yang berati selalu dapat dipercaya. Sungguh, perbuatan jujur ini menjadi salah satu sifat mulia yang harus kita pegang erat dalam kehidupan, mengingat kejujuran merupakan perbuatan yang tidak mudah dilakukan. Dari segi kepemimpinan Nabi Muhammad saw, kita dapat belajar tentang sifat beliau yang mampu bertanggung jawab dan memegang amanah dengan baik. Beliau juga tidak menggunakan status kepemimpinan dengan semena-mena. Kemudian, dalam aspek dakwah beliau, kita dapat mengambil hikmah toleransi yang beliau terapkan ketika mengemban tugas ketika menyiarkan agama Islam Beliau senantiasa menyebarkan Islam dengan penuh kedamaian dan tidak pernah memaksakan umat lain untuk memeluk ajaran yang beliau sampaikan. Baca juga: Inilah Lima Cara Menjadi Wali Menurut Ibnu Athaillah As-SakandariDalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah saw juga menampakkan akhlak mulianya, salah satunya adalah mudah memaafkan. Beliau tidak pernah berbuat dengki apalagi dendam kepada orang yang telah mengganggu beliau. Padahal beliau termasuk orang yang maksum, terhindar dari segala dosa, namun beliau tidak pernah memanfaatkan statusnya tersebut untuk berbuat maksiat dan membalas keburukan orang lain. Justru, ketika ada orang atau suatu kaum yang menghina, mencela, atau bahkan menyakitinya, beliau hanya membalasnya dengan senyuman. Beliau sangat sabar ketika menghadapi perlakuan-perlakuan buruk dari orang lain yang membencinya tersebut. Di samping, kesabaran dan ketulusannya, Nabi Muhammad saw adalah sosok yang sangat dermawan. Beliau sangat berempati ketika melihat orang-orang yang kesusahan, tanpa melihat kedudukan dan status orang tersebut. Beliau juga rajin sekali beribadah, berdoa, dan memohon ampun kepada Allah swt. Padahal, jelas-jelas kita tahu bahwa beliau sebagai Nabi dan rasul sudah dijanjikan surga oleh Allah swt, namun beliau masih tetap rajin mengerjakan ibadah sebagaimana umatnya. Seperti dalam suatu hadits, Aisyah ra. menceritakan bahwa suatu ketika menjelang subuh, ia menemukan kaki Nabi Muhammad saw bengkak-bengkak akibat sangat lama dalam melaksanakan shalat tahajud. Aisyah pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, “Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang?” Rasulullah pun menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR Bukhari Muslim). Masih banyak sekali sifat-sifat dan kepribadian Nabi Muhammad saw yang dapat kita lihat dari kisah-kisah dan hadist Nabi saw. Tentu dari sekian banyaknya keteladanan beliau, tidak dapat kita bahas secara menyeluruh dalam tulisan ini. Namun, setidaknya dengan mengetahui hal-hal mengenai keteladanan Nabi di atas, harapannya dapat menambah keimanan dan rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, dengan bertambahnya iman dan cinta kita kepada Nabi saw, yang menjadi tugas besar adalah bagaimana kita dapat semaksimal mungkin meneladani rasulullah, akhlak dan kepribadian beliau dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a’lam bish shawab. Komentar Facebook 0