Simbahku Pencinta Tinju Inan Esai 1 November 2019 0 5 min read Almarhum KH. Nawawi Abdul Aziz (paling kiri) bersama almarhum KH. Ahmad Warson Munawir, KH.R. Najib Abdul Qadir, dan almarhum KH. Abdul Muhith. Penulis: Inan Seingat saya, sewaktu masih kecil, salah satu rutinitas akhir pekan yang sering dilakukan adalah menginap di rumah saudara. Bangun pagi bersama-sama mereka, duduk manis di depan televisi sembari sarapan dan menonton acara kartun kesukaan. Ya, televisi lokal memang masih banyak diisi dengan acara anak-anak saat itu; berbeda dengan sekarang, tayangannya setiap tahun semakin sulit untuk ditemukan. Di luar kartun, mungkin acara televisi yang sering ditemukan pada hari minggu adalah pertandingan tinju. Acara yang justru bagi sebagian orang dianggap nir-faedah. Bagaimana tidak? Penonton justru bersorak bahagia ketika melihat lawan dari jagonya tumbang kena hantam kepalan tangan. Akal sehat mana yang mengizinkan dua orang saling berhadap-hadapan di atas ring, saling pukul satu sama lain dan tidak akan dihentikan jika salah satunya belum menyerah atau terjatuh? Tapi, percayalah olahraga tinju tidak sebatas itu. Sebab, kalau tinju hanya dipahami seperti itu jelas ada banyak hal yang terlewatkan. Tidak akan banyak tokoh-tokoh besar yang menginspirasi macam Chris John, Manny Pacquiao, dan tentu saja Muhammad Ali yang muncul dari sana. Saya sendiri yakin bahwa setiap olahraga–termasuk juga tinju–bukan ihwal menjaga kesehatan saja. Ada tujuan khusus di sana yang menuntut para pelakunya untuk memiliki komitmen, kesabaran serta ketekunan di atas rata-rata. Sehingga usaha yang dikerjakan oleh mereka pun bukan dalam hitungan hari lagi, namun bisa berbulan-bulan bahkan tahunan. Dengan demikian tinju bukanlah usaha untuk melatih otot, pernafasan, dan mengatur stamina belaka. Kiranya ada tujuan yang lebih besar, saya pikir tinju adalah arena untuk mendisiplinkan emosi diri. Anda bisa bayangkan sendiri bagaimana muka anda dipukuli terus menerus sambil mengatur emosi dan memikirkan strategi untuk melakukan serangan balik terhadap lawan. Dan bila seumpamanya kalah, tentu saja harus ada kebesaran hati yang lebih. Baca juga: Bidah Shalawat Hey Tayo: Seruan Kepada Armada Bus Untuk Bershalawat Agar Dapat Syafaat Dari Nabi Muhammad Seorang kawan, yang juga menekuni bidang olahraga tersebut, pernah bercerita bahwa kesabaran latihannya selama berbulan-bulan hanya untuk mempersiapkan tenaga di atas ring selama beberapa menit saja. Maka saya bisa membayangkan seberapa besar tenaga yang digunakan untuk bisa mengatasi dirinya sendiri; batasan yang selama ini justru dihindari oleh banyak orang. Tak heran jika di kemudian hari ada sosok seperti Muhammad Ali yang kepribadiannya menginspirasi banyak orang, jauh di luar bidangnya. Sosok yang tidak hanya dikenal sebagai juara dunia kelas berat terbanyak (tiga kali: pada tahun 1964, 1974, dan 1978), tetapi juga dikenal karena dukungannya melawan diskriminasi ras di Amerika Serikat. Ali yang memiliki nama kecil Cassius Marcellus Clay, Jr. mengganti namanya dengan Muhammad Ali setelah masuk Islam dan mempelajari pemikiran Malcom X–salah satu tokoh pejuang kesetaraan ras di masa itu, dan ia sendiri turut memperjuangkan hak-hak kaum kulit hitam di periode 60-an. Bahkan pada tahun 1967 sampai 1970 ia sempat mendapat skors dari Komisi Tinju karena menolak mengikuti program wajib militer pemerintah Amerika dalam perang melawan Vietnam. Katanya: “Saya tidak punya masalah dengan orang-orang itu, dan tidak ada satupun orang Vietnam yang memanggil saya dengan julukan nigga.” Sebuah ucapan sindiran untuk pemerintahan yang saat itu memiliki kebijakan rasis terhadap golongan kulit hitam. Berbicara mengenai tinju, boleh jadi simbah adalah salah satu penggemar berat olahraga itu yang pernah saya temui. Seringkali sewaktu menginap di rumahnya, saya mendapati beliau sedang menonton pertandingan di depan televisi — yang saya sendiri pun yakin hanya dinyalakan untuk menonton berita dan acara olahraga. Baca juga: Jadi Ulama itu Berat, Kamu Tidak Akan Kuat, Jadi Ubaru Saja Dengan begitu antusiasnya beliau melihat pertandingan di layar kaca dari awal sampai akhir. Sebelum acara dimulai tak jarang beliau mewanti-wanti untuk diingatkan kalau-kalau lupa akan adanya jadwal pertandingan. Bahkan sampai menggeser channel televisi yang sedang ditonton oleh anggota keluarga lain ketika pertandingan hendak dimulai. Pada suatu ketika saya pernah mendapati beliau sedang menonton sebuah pertandingan. Di tengah-tengah acara, kebetulan sinyal televisi mengalami gangguan sehingga gambar di layar menjadi tidak jelas. Berkali-kali beliau memperbaikinya namun hasilnya tetap sama saja. Karena hal itu, beliau pun menggerutu secara perlahan yang kemudian ditutup dengan mematikan televisinya. Dari kejadian kecil tersebut saya pernah menaruh curiga bahwa karakter beliau — sebagaimana yang diceritakan oleh beberapa orang di sekitarnya — berasal dari kebiasaannya menggemari olahraga tinju meskipun tidak pernah secara langsung terjun ke sana. Beliau ini memang terkenal disiplin dan galak. Ada kejadian tentang seorang murid yang mendatangi rumahnya dan bertanya mengenai amaliyah (doa-doa) supaya lancar menghafal Alquran. Lantas beliau menyuruh muridnya untuk menunggu barang sebentar. Selang beberapa saat, beliau pun keluar dari dalam dengan membawa kayu rotan sambil menghardik: “kalau mau lancar ya nderes, jika cuma berdoa tanpa usaha ya sama aja. Gak ada bedanya!”Seketika itu juga si murid langsung pamitan untuk pergi. Ada pula kisah lain tentang konsistensinya dalam mengajar. Menurut cerita-cerita yang saya dengar, beliau lebih banyak menolak undangan-undangan acara di luar daripada harus meninggalkan murid-murid yang mengaji di surau sebelah rumah. Kalaupun ada undangan yang memang tidak bisa diwakilkan atau terpaksa harus hadir, dengan senang hati beliau akan mendatangi acara tersebut meski tidak bisa berlama-lama. Pernah suatu ketika murid-murid menebak bahwa kegiatan ngaji setelah subuh diliburkan sebab menjelang adzan beliau tak kunjung datang. Namun, tepat setelah solat subuh ternyata beliau hadir dan ngaji pun tidak jadi dibatalkan. Baca juga: KH. Munawwir Abdul Fattah dan Amal Saleh Sampai di sini, alih-alih berkesimpulan bahwa beliau terinspirasi oleh karakter para petinju favoritnya atau menyamakan beliau dengan Muhammad Ali, buru-buru saya menghilangkan dugaan tersebut. Karena saya sendiri menyadari bahwa beliau memang bukan Muhammad Ali dan demikian pula sebaliknya. Namun, keduanya adalah sosok yang mampu menginspirasi orang-orang di sekitarnya sesuai dengan kadar masing-masing. Secara pribadi, keduanya adalah teladan bagi saya. Dari mereka saya mendapatkan pelajaran mengenai tanggung jawab, ketekunan, dan kekonsistenan. Bahwa menjadi pribadi yang tangguh adalah hal yang memang berat untuk dilaksanakan. Tak cukup dengan usaha setengah-setengah apalagi hanya main-main. Berulang kali beliau menekankan untuk selalu konsisten. Dalam suatu kesempatan beliau pernah berpesan kepada guru saya yang juga salah satu muridnya: Kamu tidak usah takjub saat melihat orang berbelanja banyak kitab tapi uangnya tak pernah berkurang sedikitpun (karena karomah yang dimilikinya). Kagumlah pada orang yang membelanjakan habis uang tersebut untuk membeli kitab namun tidak pernah menyesal karena hatinya tetap dalam keadaan istiqamah. Pada akhirnya, ketika memahami suatu hal, tidak ada penampakan utuh yang benar-benar dapat kita tangkap untuk kemudian kita sampaikan kembali. Begitupula saat orang-orang bersinggungan dengan panutannya, sosok yang menginspirasinya, maka akan muncul kisah besar tentang kontribusi dan jasa-jasa mereka. Mendengarkan cerita mengenai kebesaran mereka memang selalu menyenangkan tetapi juga meninggalkan residu. Selalu saja ada hal kecil yang terlewatkan di situ. Mungkin saya termasuk orang yang mengambil remah-remah kecil itu. Karena saya justru mendapatkan kesan yang mendalam tentang beliau dari hal-hal yang cukup sederhana. Ya sesederhana seperti saat beliau melihat pertandingan olahraga yang mengajarkan kedisiplinan dan ketangguhan itu. *Tulisan ini terbit pertama kali di medium.com/@inananan Komentar Facebook 0