Simakan dan Tadarus Alquran Ala Nabi dan Sahabat

Tradisi Simakan Alquran Santri Pesantren An Nur di Dlanggu, Klaten Jawa Tengah. Tahun 2017. Fotografer: Niam

Istilah simakan dan tadarus tentunya tidak asing lagi dalam tradisi pesantren, apalagi jika itu diundang oleh warga sekitar, bayangannya pasti makan enak.

Secara historis, tradisi simakan dan tadarusAlquran sudah terjadi masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana yang telah dicatat oleh Imam Bukhari dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, tepatnya pada pembahasan fadhailul a’mal.
Suatu hari, Nabi meminta Ibnu Mas’ud untuk membacakan Alquran untuknya. Ibnu Mas’ud menjawab “Wahai Rasulullah, saya harus membacakan Alquran untuk engkau, padahal kepada engkaulah Alquran diturunkan”.
Sungguh aku ingin mendengar Alquran itu dibaca orang lain”. Jawab Nabi.
Sejurus kemudian, Ibnu Mas’ud membacakan surat Annisa’ hingga sampai pada ayat “fakaifa idza ji’na min kulli ummatin bi syahidin wa ji’na bika ‘ala ha’ulai syahidin”. Ibnu Mas’ud menoleh ke arah Nabi, tiba-tiba Nabi sudah berlinang air mata.
Ibnu Mas’ud termasuk salah satu sahabat nabi yang paling sering disuruh untuk membacakan Alquran di hadapan Nabi. Selain para sahabat, nabi mendaras Alquran tidak tanggung-tanggung, yakni dengan malaikat Jibril, yakni setiap bulan ramadhan.
Pasca Nabi wafat, tradisi simakan dan tadarus Alquran juga dipraktikkan oleh kalangan sahabat, salah satunya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dengan menceritakan bahwa Abu Darda’ pernah melakukan tadarus Alquran dengan beberapa sahabat lain secara bersama-sama.
Tadarus Alquran secara bersama-sama merupakan suatu hal yang diutamakan oleh ulama-ulama, baik salaf maupun khalaf. Bahkan di dalam kitab Tibyan, Abu Zakariya menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan tadarus Alquran di Masjid Damsyiq adalah Hisyam bin Isma’il ketika pemerintahan Abu Mulk.
Abu Zakariya juga menambahkan bahwa pada masa sahabat, pembacaan Alquran dilakukan oleh sejumlah sahabat yang berkumpul dan dibaca secara bergantian, yakni ketika yang satu membaca beberapa ayat dari Alquran, maka yang lain mendengarkan bacaan tersebut. Kemudian yang lain juga secara bergiliran meneruskan bacaannya.
Menurut Yusuf Qaradhawi dalam salah satu karyanya berjudul Berinteraksi dengan Alquran, tadarus Alquran tidak hanya sekedar membaca, tetapi juga usaha untuk mengetahui dan memahami makna serta pesan yang terkandung, hukum-hukum, dan etika yang diajarkan oleh Alquran. Selain itu tadarus Alquran juga berfungsi untuk berbagi pendapat dengan mengajukan pertanyaan, kemudian yang lain menjawab dan mengoreksi jawaban tersebut.
Alquran mampu bertahan selama berabad-abad sebagai rujukan utama umat Islam bukan hanya karena dipelajari dan disampaikan di berbagai lembaga pendidikan, tetapi juga karena Alquran menjadi pusat aktifitas ibadah. Ingrid Mattson menjelaskan bahwa setiap hari Alquran dibaca setidaknya dalam shalat lima waktu yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim dan juga shalat-shalat lain.
Di beberapa komunitas muslim tradisional, dikenal tradisi perayaan seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, serta perayaan awal bulan Rajab dan Muharram. Perayaan semacam itu dianggap tidak sempurna jika tidak disertai pembacaan ayat-ayat Alquran.
Namun, di beberapa kawasan dunia Islam, perayaan-perayaan seperti itu mulai ditentang oleh kalangan reformis dan semakin terpinggirkan akibat perubahan aktifitas keagamaan komunal. Perayaan yang masih bertahan di banyak kawasan adalah perayaan Ramadhan, bulan suci yang di dalamnya setap muslim diwajibkan berpuasa dan memperbanyak ibadah, termasuk membaca Alquran.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat tradisi simakan dan tadarus Alquran pada zaman Nabi dan para sahabat. Tradisi tersebut merupakan kebiasaan para ulama terdahulu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara Alquran.
Membaca Alquran adalah amal yang sangat mulia dan akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Sebab, yang dibacanya itu merupakan kitab suci Ilahi. Alquran adalah bacaan yang paling baik bagi seorang mukmin di kala senang maupun susah. Membaca dan mendengar Alquran bukan hanya menjadi amal ibadah, tetapi juga merupakan obat penawar bagi orang yang gelisah jiwanya, begitu yang dijelaskan oleh Yunus Hanis Syam di dalam bukunya Mukjizat Membaca Alquran.
Jadi, tradisi simakan dan tadarus Alquran yang dilaksanakan di pesantren bukanlah tradisi yang tidak mempunyai dasar dari hadis, justru tradisi itulah yang bisa menumbuh-kembangkan rasa cinta kita terhadap Alquran.

Penulis: Didik Saepudin, Santri Nurul Iman Sorogenen Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Komentar Facebook
0
Baca juga:  Pendidikan Wirausaha Santri Membangun Ekonomi Pesantren