Kisah Luqman Hakim dan Komentar Warganet yang Maha Benar

ILUSTRASI: detikx/ediwahyono

Di era milenial ini, tidaklah asing dengan istilah netizen, bahkan bagi seseorang yang berlatar belakang santri sekalipun.

Perlu diketahui sebelumnya bahwa netizen merupakan peralihan bahasa yang diambil dari lakuran kata “warga” dan “internet” dalam bahasa Inggris “citizen of the net”. Kata netizen dalam bahasa Indonesia kemudian diserap dan dibakukan menjadi warganet.

Warganet, dalam perkembangannya disebut sebagai seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya atau internet.

Secara umum warganet memiliki berbagai fungsi yang sangat bebas, di mana ia memiliki hak dan wewenang sesuai dengan kehendaknya sendiri dalam berkomentar.

Hal tersebut, tidak peduli jika dari sekian banyak komentar yang ada, terdapat kebenaran atau pun hoaks. Pokoknya komentar dulu, soal kebenaran nanti urusan belakang.

Di sisi yang lain, jika hal tersebut ditinjau secara yuridis, sebenarnya komentar-komentar yang mengarah pada ujaran kebencian dapat dikenakan pasal dan pidana. Sebagaimana yang termaktub pada UU ITE 2016.

Namun, saya yakin tidak semua warga Indonesia ini membaca Undang-undang tersebut, sehingga komentar-komentar ngawur tetap saja bersliweran memenuhi jagat maya, yang menyebabkan komentar-komentar tersebut seolah menjadi hakim yang menentukan kebenaran atau kekeliruan dalam menilai sebuah permasalahan.

Baca juga:  Maulid Nabi: Kami Hanyalah Orang Yang Mengharapkan Syafaatmu Kelak Di Hari Kiamat

Hal ini bisa berbahaya, sebab dawuh-dawuh dari warganet yang bersliweran tersebut bisa menjadi alat yang mengerikan melebihi bom atom yang meledak di Hiroshima Nagasaki, Jepang.

Intinya, isu-isu hari ini sering kali ditentukan oleh viral atau tidaknya sebuah informasi tersebut di internet. Yang terpenting viral dulu, soal benar-salah urusan nanti.

Tidak jarang sebuah fakta kebenaran akan hilang dengan sendirinya ketika warganet datang dengan segala dakwaannya. Misanya aksi bullying, tindak provokatif yang menyebabkan perpecahan, komentar-komentar intoleran, adu domba antar umat Islam dan lain sebagainya. Semua itu terjadi karena tidak dapat menanggapi dawuh-dawuh warganet secara bijak.

Dalam kehidupan nyata sendiri, hujatan-hujatan juga sering kita temukan. Misalnya ketika hujan tiba dengan intensitas deras, ada saja yang menggerutu, “udane kok deres banget sih”.

Ketika hujan yang datang dengan intensitas ringan, “udane kok ora sing deres sisan to”.

Ketika hujan tak kunjung turun pun akan terkena hujatan. “jane kepiye sih kok ora udan-udan, padahal wis wayahe udan.” Begitu seterusnya.

Nah, sekarang bagaimana kita harus menyikapi komentar-komentar warganet yang semakin brutal tersebut?.

Bagi saya, salah satu yang dapat dilakukan adalah mengambil hikmah dari kisah fenomenal dan inspiratif Luqman Hakim dan seekor keledai.

Baca juga:  Gejala Muslim Generasi Milenial: Ngaji Tak Perlu ke Kiai, Cukup Buka Youtube Saja

Suatu hari, Luqman dan anaknya pergi ke sebuah pasar dengan mengendarai seekor keledai. Ketika itu Luqman naik dipunggung keledai dan anaknya berjalan mengikutinya. Orang-orang yang melihat kejadian itu banyak yang memberikan komentarnya:

“Lihatlah orang tua itu, ia tidak merasa kasihan kepada anaknya, enak-enakan naik keledai sementara anaknya disuruh berjalan kaki mengikutinya”. Mendengar hal itu, Luqman kemudian turun dan menaikkan anaknya menunggangi keledai.

Orang-orang yang dilewatinya tiba-tiba berkomentar “Lihatlah anak itu, dia anak yang durhaka. Orang tuanya disuruh berjalan kaki, sedangkan dia enak-enakkan menaiki keledai”. Mendengar hal demikian Luqman kemudian ikut menaiki keledai, jadilah keledai itu ditunggangi oleh dua orang.

Pelan-pelan mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba segerombolan orang lain pun berkomentar lagi:

“Hai teman-teman, lihatlah! Ada dua orang menaiki seekor keledai. Keledai itu sangat tersiksa, sungguh mereka tak punya hati”. Mendengar gunjingan tersebut Luqman dan anaknya bergegas turun, berjalan sambil menuntun keledai.

Mereka masih tetap melanjutkan perjalanan, dan tiba-tiba orang lain berkomentar “Lihatlah mereka, betapa bodohnya, untuk apa membawa keledai jika tidak ditunggangi?.”

Luqman dan anaknya diam saja, sambil menuntun keledainya.

Baca juga:  Inilah Lima Cara Menjadi Wali Menurut Ibnu Athaillah As-Sakandari

Sepulang dari pasar, Luqman kemudian menasehati putranya tentang beberapa ucapan, komentar, dan gunjingan orang-orang yang dialamatkan kepada mereka.

“Wahai anakku, sesungguhnya kita tidak bisa terlepas dari gunjingan orang lain”.

”Lalu bagaimana kita menanggapinya?” Tanya sang anak.

“Orang yang berakal” Luqman mulain memberi nasihat “tidak mengambil keputusan berdasarkan ocehan orang lain, namun petunjuk Allah, barang siapa yang mendapat petunjuk kebenaran dari Allah, maka dengan itulah seseorang yang berakal mengambil keputusan.”

Kisah gunjingan terhadap Luqman dan anaknya di atas, tidak berbeda dengan dawuh-dawuh warganet saat ini. Sikap cerdas diperlukan guna menanggapai hujatan-hujatan yang tiada hentinya.

Jika kita tidak cerdas dalam menanggapi dawuh-dawuh yang maha benar tersebut, maka kita bisa terpengaruh tergesa-gesa menilai sesuatu tanpa tahu benar atau tidaknya hal tersebut.

Lihatlah pokok permasalahannya terlebih dahulu dengan teliti, konfirmasikan kepada orang-orang yang ahli dalam bidangnya, konsultasikan kepada orang yang kita anggap dapat memberi pencerahan. Bukan ikut-ikut ber­komentar secara serampangan tanda landasan yang jelas.

Mari menjadi warganet yang dewasa dan bijak.

Penulis: Ahmad Rifa’i al-Abd

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar Facebook
0